Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Panic Buying? Pengertian, Penyebab & Dampaknya

Seorang wanita sedang memeluk kantong belanja penuh makanan dan barang.

Beberapa tahun lalu, ketika virus Covid-19 menyerang, hampir seluruh negara mengalami fenomena panic buying. Apabila merujuk pada arti secara harfiahnya, fenomena ini menunjukkan kondisi di mana masyarakat memiliki urgensi untuk membeli kebutuhan pokok dan sekunder.

Dorongan pembelian produk ini disebabkan karena adanya ancaman tidak bisa menjalankan aktivitas di luar ruangan, adanya kemungkinan barang tidak diproduksi lagi, dan masih banyak lagi. 

Namun, sebenarnya fenomena panic buying memiliki pengertian yang lebih dari itu. Ada berbagai penyebab dan dampak yang ditimbulkan dari fenomena ini. Mari simak informasi lebih jelasnya di bawah ini!

Apa itu Panic Buying?

Panic buying adalah fenomena di mana seorang konsumen atau masyarakat secara tiba-tiba dan serentak melakukan pembelian atau memborong barang dalam situasi tertentu. Situasi ini biasanya berupa keadaan darurat, seperti bencana alam, penyakit menular, gejolak politik, dsb.

Adanya rasa khawatir konsumen terhadap terbatasnya akses pembelian kebutuhan pokok menjadikan mereka berlomba-lomba untuk membeli produk dalam jumlah banyak. Hal ini dilakukan dengan harapan mereka memiliki persediaan apabila di kemudian hari tidak bisa lagi bertransaksi seperti biasanya. 

Umumnya, konsumen membeli produk kebutuhan sehari-hari, seperti air minum, obat-obatan, makanan, perlengkapan kebersihan, dan lain sebagainya. 

Penyebab Panic Buying

Secara umum, ada beberapa penyebab panic buying yang terjadi di masyarakat, antara lain: 

1. Rasa cemas berlebih

Ketika terjadi situasi yang tidak pasti seperti penyakit menular, gelojak politik, bencana alam, peperangan, dan kondisi mendesak lainnya, seseorang umumnya merasa cemas dan khawatir akan masa depan mereka. Masa depan di sini berkaitan dengan aksesibilitas seseorang untuk merasakan kenyamanan dalam bertransaksi membeli kebutuhan pokok, merasakan fasilitas umum, dan lain sebagainya. 

Masyarakat merasa tidak yakin apakah pasokan barang akan tetap tersedia, terganggu, atau justru tidak ada sama sekali. Ketidakyakinan inilah yang membuat masyarakat merasa perlu untuk memborong barang secara berlebihan agar merasa lebih aman di masa mendatang. 

2. Takut tertinggal atau Fear of Missing Out (FOMO)

FOMO adalah sebuah istilah yang merujuk pada perilaku rasa takut atau kekhawatiran seseorang untuk melewatkan kesempatan yang dianggap penting atau berharga dalam situasi tertentu. Dalam konteks panic buying, FOMO dapat menjadi salah satu faktor yang memicu munculnya fenomena tersebut. 

Ketika seseorang melihat atau mendengar orang lain memborong barang dalam situasi darurat atau kondisi tertentu, mereka juga turut serta merasa takut dan khawatir akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh barang yang sama. Pada akhirnya, mereka pun ikut serta memborong barang kebutuhan yang sama daripada kehilangan akses tersebut di masa mendatang. 

3. Berita dan media massa

Fenomena panic buying tidak hanya disebabkan oleh lingkungan sekitar saja, tetapi juga dipengaruhi oleh rasa takut tertinggal akibat bermedia sosial. Pada zaman serba digital sekarang ini, segala informasi tersebar dengan cepat tanpa batasan waktu dan tempat. 

Jika di suatu negara atau wilayah sedang terjadi fenomena panic buying, pastilah masyarakat di wilayah lain akan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Maka dari itu, secara tidak langsung, mereka juga merasa terdorong untuk membeli barang-barang secara berlebihan. 

Akibatnya, terjadilah perilaku impulsif karena seorang konsumen tidak berpikir secara rasional dan tidak merencanakan pengeluaran secara matang.

Dampak Panic Buying

Tentu ada berbagai dampak yang ditimbulkan dari fenomena panic buying yang dapat merugikan konsumen itu sendiri dan keadaan ekonomi, seperti: 

1. Barang kebutuhan pokok menjadi langka

Dampak langsung yang dirasakan dari terjadinya fenomena panic buying adalah adanya peningkatan permintaan yang tiba-tiba dan berlebihan terhadap suatu barang tertentu. Hal ini dapat mengakibatkan kelangkaan barang di pasar dan toko-toko. Konsumen yang tidak bisa memborong barang dapat menghadapi kesulitan mendapatkan produk yang mereka butuhkan, terutama bagi kelompok rentan seperti orang tua, anak-anak, dan mereka dengan keterbatasan fisik atau keuangan.

2. Terjadinya kenaikan harga (inflasi)

Dalam situasi panic buying, peningkatan permintaan yang tiba-tiba dapat mengarah pada kenaikan harga yang signifikan. Ketika pasokan barang terbatas dan permintaan melonjak, supplier dapat memanfaatkan situasi ini dengan menaikkan harga produk. 

Dampak yang paling terasa adalah kepada konsumen karena mereka harus membayar lebih mahal.

3. Produk terbuang sia-sia

Selain dari segi ekonomi, fenomena ini juga berdampak pada produk yang terbuang sia-sia akibat sudah melebihi masa kadaluarsa. Hal ini disebabkan karena fenomena ini sering kali berfokus pada makanan, minuman, dan kebutuhan harian lainnya. 

Namun, dalam hampir di kebanyakan kasus, barang yang diborong tersebut tidak sepenuhnya digunakan dan akhirnya menjadi pemborosan. Ketika keadaan kembali normal, makanan atau produk yang tidak terpakai atau akan dibuang begitu saja karena tidak bisa lagi dikonsumsi atau digunakan. Tentu hal ini berujung pada pemborosan sumber daya dan lingkungan.

Contoh Panic Buying

Contoh paling nyata dan hampir seluruh negara mengalaminya adalah saat mewabahnya virus Covid-19 beberapa tahun lalu. Pada saat itu, masyarakat tidak diperbolehkan berkontak langsung dengan orang lain dan diarahkan untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan. Hal ini disebabkan karena virus Covid-19 menyebar melalui kontak udara. 

Pemerintah juga menerapkan peraturan di mana masyarakat harus tetap berada di rumah (stay at home) dan menjaga jarak (social distancing). Nah, sebelum peraturan ini disahkan, masyarakat berlomba-lomba memborong barang kebutuhan pokok, seperti masker medis, vitamin, minyak, air mineral, makanan, tissue, dan kebutuhan rumah lainnya. 

Akibatnya, harga jual produk-produk tersebut menjadi mahal dan sulit ditemukan. Konsumen harus membayar harga tinggi untuk membeli masker dan vitamin karena dua barang tersebut sangat diperlukan untuk mencegah penularan virus. Nah, itulah penjelasan lebih mendalam tentang panic buying mulai dari pengertian hingga dampaknya bagi konsumen itu sendiri atau keadaan ekonomi suatu wilayah. Jadi, sebelum bertindak, usahakan Anda memahami terlebih dahulu kondisi sekitar sehingga tidak terjerumus dalam fenomena panic buying, ya!

Lusita Amelia

Lusita Amelia

Lusita Amelia adalah seorang content writer dengan pengalaman menulis berbagai macam jenis artikel. Dia menekuni kepenulisan di bidang investasi, bisnis, ekonomi, dan isu-isu terkini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *