Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Devaluasi Mata Uang, Penyebab & Dampaknya

Devaluasi

Untuk transaksi ekspor dan impor, negara-negara di dunia membutuhkan alat tukar yang disepakati oleh masyarakat luas. Dulu, alat tukar ini berupa emas, namun saat ini alat tukar yang banyak digunakan dalam perdagangan internasional adalah dolar Amerika Serikat. 

Saat Anda membeli barang impor, itu artinya Anda membeli dolar Amerika Serikat. Ini karena, untuk membeli barang tersebut, Anda harus menukar rupiah dengan dolar terlebih dahulu. Sebaliknya jika Anda melakukan ekspor, Anda menjual dolar karena dari aktivitas ekspor Anda akan mendapatkan uang dollar dan harus menukarnya dengan rupiah supaya bisa digunakan di Indonesia. 

Oleh karena itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar menjadi sangat penting. Kalau kurs rupiah ke dolar menguat, misalnya dari 14.500 ke 14.000, maka itu artinya Anda perlu sedikit biaya untuk impor tapi harga barang-barang ekspor dari Indonesia akan tampak lebih mahal di pasar dunia. Sebaliknya, kalau kurs rupiah tertekan, impor akan jadi lebih mahal tapi ekspor jadi lebih kompetitif.

Untuk menjaga ekspor Indonesia agar lebih kompetitif inilah, Bank Indonesia sempat beberapa kali melakukan kebijakan moneter bernama devaluasi. Pahami apa itu devaluasi dan apa bedanya dengan depresiasi dengan membaca artikel berikut:

Apa itu Devaluasi Mata Uang?

Devaluasi artinya adalah kebijakan penurunan nilai tukar mata uang dengan mata uang lain secara sengaja oleh otoritas moneter. Berbeda dengan depresiasi, devaluasi dilakukan oleh negara-negara yang menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate). 

Perlu Anda ingat bahwasanya tinggi rendahnya nilai tukar mata uang sebuah negara terhadap mata uang negara lain bergerak sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Pada sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate), pemerintah suatu negara melakukan intervensi dari pergerakan nilai tukar ini dengan cara memperjualbelikan cadangan devisa supaya nilai tukar mata uang negara tersebut tetap. 

Sistem ini memiliki beberapa kelebihan, seperti importer dan eksportir bisa bertransaksi dengan tanpa takut perubahan nilai tukar, sistem ekonomi yang lebih stabil dan menekan tindakan spekulasi di pasar forex. Namun kekurangannya adalah, otoritas moneter tidak bisa sembarangan mengubah suku bunga acuan dan untuk membuat nilai tukar stabil ini, otoritas moneter membutuhkan cadangan devisa yang besar. Akibatnya, dalam beberapa kasus, otoritas moneter perlu melakukan penyesuaian nilai tukar dengan kebijakan devaluasi atau revaluasi (kenaikan nilai tukar). 

Contoh Devaluasi Mata Uang

Indonesia tercatat pernah melakukan kebijakan devaluasi sebanyak 7 kali. Salah satu di antaranya adalah kebijakan devaluasi yang terjadi pada tanggal 21 Agustus 1971. Ketika itu, Menteri Keuangan Ali Wardhana menurunkan nilai tukar dari 1 dolar sama dengan 415 rupiah menjadi 1 dolar sama dengan 625 rupiah. 

Menurut Tempo, hal ini dilakukan karena Presiden Richard Nixon memutuskan untuk melepaskan keterikatan dollar dengan emas, sehingga nilai tukar dollar menjadi free float (mengambang sesuai dengan kondisi pasar),  dan karena adanya tekanan akibat kenaikan harga minyak dunia. 

Terakhir, Indonesia melakukan devaluasi pada tahun 1986. Sejak Oktober 1997 hingga saat ini, sistem nilai tukar mata uang negara ini menjadi free float, karena jumlah cadangan devisa kala itu tidak mencukupi untuk menangkal jatuhnya kurs rupiah terhadap dollar. Namun demikian, Bank Indonesia selaku otoritas moneter masih bisa melakukan intervensi pada tingkat tertentu jika dibutuhkan. 

Penyebab Devaluasi Mata Uang

1. Meningkatkan ekspor

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwasanya penurunan kurs akan mengakibatkan ekspor suatu negara akan tampak lebih kompetitif dibandingkan dengan negara lain. 

Misalnya, Indonesia mengekspor kelapa sawit ke pasar luar negeri dengan harga satu tandan segar kelapa sawit sama dengan 30.000 rupiah atau 2 dolar (1 dolar = 15.000 rupiah). Kalau nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun jadi 1 dolar sama dengan 16.000, maka pembeli sawit di pasar internasional hanya perlu mengeluarkan uang sekitar 1,8 dollar untuk mendapatkan 1 tandan kelapa sawit segar yang sebelumnya seharga 2 dollar. 

2. Mengurangi defisit perdagangan

Kebalikan dari ekspor, impor barang akan menjadi lebih mahal jika terjadi penurunan nilai tukar. Misalnya, Anda ingin membeli tas Gucci seharga 1.000 USD. Ketika kurs rupiah terhadap dollar sebesar Rp15.000, maka untuk mendapatkan tas tersebut Anda harus mengeluarkan uang Rp15.000.000. Tapi kalau rupiah melemah menjadi 16.000 per dolar, maka tas tersebut baru bisa Anda dapatkan kalau Anda mengeluarkan uang Rp16.000.000. 

Ketika nilai ekspor lebih kecil dibandingkan impor, maka suatu negara dikatakan sedang mengalami defisit perdagangan. Defisit perdagangan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena memiliki dampak jangka panjang. Dengan melakukan devaluasi, pemerintah berharap nominal ekspor akan naik dan impor (karena jadi lebih mahal) akan menurun, sehingga defisit perdagangan dapat ditekan.

Dampak Devaluasi Mata Uang

Sama seperti kebijakan ekonomi lainnya, kebijakan devaluasi mata uang juga memiliki “efek samping”, sehingga harus diterapkan secara hati-hati. Efek samping tersebut, seperti:

  1. Peningkatan biaya impor. Tidak semua industri bisa langsung menghentikan impor ketika biaya impor naik. Ada industri yang membutuhkan impor bahan baku, sehingga kenaikan biaya impor dapat menyebabkan harga barang-barang yang diproduksi oleh industri ini akan naik juga. 
  2. Peningkatan ekspor dapat meningkatkan permintaan agregat dan peningkatan permintaan agregat dapat menyebabkan inflasi. Misalnya, ada peningkatan ekspor marmer ke luar negeri. Dalam jangka menengah dan panjang, peningkatan ekspor ini dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan produksi marmer, sehingga membeli lebih banyak bahan dan merekrut lebih banyak tenaga kerja. Pembelian lebih banyak bahan dan perekrutan ini nantinya memiliki efek berganda pada perekonomian nasional dan menyebabkan inflasi. 
  3. Pembayaran utang luar negeri jadi lebih mahal. Misalnya, Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar USD$1.000.000. Ketika kurs dollar terhadap rupiah adalah 15.000, maka pemerintah hanya perlu mengeluarkan uang Rp15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah) untuk membayar utang. Namun jika Bank Indonesia memutuskan untuk melakukan devaluasi dengan menurunkan nilai tukar dari 15.000 menjadi 16.000, maka untuk melunasi utang luar negeri, pemerintah membutuhkan uang Rp16.000.000.000 (lima belas miliar rupiah).

Perbedaan Devaluasi dan Depresiasi

Meskipun sama-sama bermakna penurunan nilai tukar, namun devaluasi berbeda dengan depresiasi. Devaluasi dilakukan secara sengaja oleh otoritas moneter untuk mengatasi berbagai penyebab di atas dan dilakukan ketika suatu negara menganut sistem fixed exchange rate. Di sisi lain, depresiasi terjadi karena pergerakan permintaan dan penawaran mata uang tersebut dan terjadi ketika suatu negara menganut sistem free float exchange rate, seperti Indonesia saat ini.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *