Untuk memutar roda bisnisnya, perusahaan tidak hanya harus mengeluarkan sejumlah biaya yang secara langsung bisa mempengaruhi proses produksi, seperti biaya bahan baku dan tenaga kerja. Perusahaan juga harus membayarkan sejumlah uang kepada pihak ketiga baik itu dalam bentuk pajak maupun bunga dan mencatat penurunan nilai aset.
Tujuannya adalah, supaya investor atau stakeholder lainnya dapat menemukan gambaran penuh mengenai kinerja sebuah perusahaan di laporan keuangan mereka. Penghitungan pendapatan perusahaan sebelum dikurangi dengan biaya lain-lain tersebut disebut dengan EBITDA.
Pengertian EBITDA
EBITDA atau earnings before interest, taxes, depreciation, and amortization adalah indikator keuangan yang digunakan untuk menghitung pendapatan perusahaan sebelum pendapatan tersebut dikurangi dengan pajak, beban bunga, depresiasi dan amortisasi.
EBITDA banyak digunakan pada industri-industri yang berfokus pada pengembangan aset, seperti industri konstruksi, atau industri yang memiliki banyak pabrik. Dengan menjadikan EBITDA sebagai salah satu variabel keuangan dalam industri tersebut, investor dan stakeholder lainnya dapat mengetahui bagaimana beban yang tidak tampak seperti depresiasi dan amortisasi dapat berdampak pada keuangan perusahaan. EBITDA hampir sama dengan laba kotor, akan tetapi yang membedakan adalah adanya penghitungan biaya-biaya non tunai dalam variabel ini.
Indikator keuangan ini pertama kali dikembangkan oleh Joe Malone pada tahun 1970-an untuk mendukung pendapatnya mengenai penggunaan pinjaman untuk mendongkrak pertumbuhan perusahaan demi meminimalisir nominal pajak. Indikator ini terbukti berguna ketika gelombang akuisisi menggunakan utang (leveraged buyout/ LBO) banyak terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1980-an.
Komponen EBITDA
1. Earnings atau penghasilan
Variabel E dalam EBITDA merupakan kepanjangan dari earning atau pendapatan. Pendapatan di sini tidak hanya diperoleh dari kegiatan operasional perusahaan, tetapi juga diperoleh dari sumber lainnya, seperti pendapatan bunga atau pendapatan yang timbul sebagai akibat dari diskon pajak. Sebelum menghitung EBITDA, umumnya total pendapatan ini dikurangi dengan biaya-biaya operasional terlebih dahulu.
2. Interest atau beban bunga
Dalam kaitannya dengan bunga, sebuah perusahaan bisa mendapatkan pendapatan bunga jika uang kas mereka disimpan di bank dan harus membayar beban bunga apabila mereka meminjam ke bank. Adapun yang dimaksud dalam variabel bunga di EBITDA ini adalah beban bunga yang harus dibayarkan perusahaan.
Namun demikian, tidak semua perusahaan mencantumkan nominal beban bunga yang harus mereka bayar di laporan keuangan. Hal ini karena setiap perusahaan memiliki struktur modal yang berbeda, misalnya, perusahaan A perlu membayar bunga karena mengikuti program kredit sebuah bank, namun perusahaan B tidak, karena bank menyalurkan dananya ke perusahaan tersebut dalam akad investasi.
3. Pajak
Perusahaan termasuk ke dalam wajib pajak kelompok badan usaha. Ini artinya, sebuah perusahaan baik besar maupun kecil wajib untuk melaporkan dan membayar pajak. Setidaknya ada 3 jenis pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan, yaitu pajak pendapatan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak bumi bangunan (PBB).
Besar kecilnya pajak bisa ditentukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (tergantung dengan jenis pajak). Besar kecilnya pajak juga tidak menentu tergantung banyak hal, seperti jumlah barang yang terjual atau jumlah karyawan perusahaan. Selain pajak, umumnya pemerintah juga menarik biaya lain yang termasuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), seperti retribusi.
4. Depresiasi
Depresiasi adalah penyusutan nilai pada aset tetap, seperti gedung, kendaraan, komputer dan lain sebagainya. Sederhananya, depresiasi-lah yang menyebabkan harga jual barang bekas lebih rendah dibandingkan dengan harga jualnya ketika masih baru. Dalam keuangan perusahaan, hal ini perlu dihitung, sebab terkait dengan masa guna aset-aset tersebut.
5. Amortisasi
Amortisasi adalah penyusutan pada aset-aset yang sifatnya tidak berwujud, seperti hak paten, hak cipta, hak kekayaan industri dan lain sebagainya. Hal ini perlu dicatat sebab, untuk mendapatkan hak-hak tersebut di atas, seringkali sebuah perusahaan harus mengeluarkan biaya dan kepemilikan atas hak-hak tersebut memiliki batas waktu, sehingga perlu diperbaharui.
Rumus EBITDA
Rumus EBITDA cukup sederhana, yaitu:
EBITDA = Laba bersih + pajak + beban bunga + nilai depresiasi dan amortisasi
Apabila perusahaan yang Anda inginkan tidak mencantumkan variabel EBITDA dalam laporan keuangannya, Anda bisa menghitung variabel ini secara mandiri dengan mudah. Variabel komponen, seperti laba bersih, beban bunga dan pajak dapat Anda temukan di laporan laba rugi. Adapun variabel nilai amortisasi dan depresiasi umumnya dapat dicari di bagian “catatan laba operasional” atau diperoleh di “laporan arus kas”.
Lain daripada itu, jika perusahaan Anda sudah memiliki variabel EBIT (earnings before interest, taxes), Anda tinggal menambahkan nilai depresiasi dan amortisasi. Sebab, EBIT berarti pendapatan perusahaan tersebut sebelumnya telah dikurangi dengan depresiasi dan amortisasi namun belum dikurangi dengan beban bunga dan beban pajak.
Contoh Cara Menghitung EBITDA
Sebuah perusahaan memiliki total penjualan senilai Rp100.000.000. Dengan nilai cost of good sold atau harga pokok penjualan sebesar Rp65.000.000, biaya overhead sebesar Rp7.500.000, beban bunga sebesar Rp1.000.000, biaya amortisasi dan depresiasi sebesar Rp3.500.000 dan biaya pajak sebesar 5% dari laba bersih, maka nilai EBITDA perusahaan ini adalah:
Nama | Jumlah |
Pendapatan | 100.000.000 |
Harga pokok penjualan | 65.000.000 |
Biaya overhead | 7.500.000 |
Beban bunga | 1.000.000 |
Beban depresiasi dan amortisasi | 3.500.000 |
Laba sebelum pajak | 23.000.000 |
Pajak | 1.150.000 |
Laba setelah pajak | 21.850.000 |
EBITDA | |
Laba setelah pajak | 21.850.000 |
Pajak | 1.150.000 |
Beban bunga | 1.000.000 |
Beban depresiasi dan amortisasi | 3.500.000 |
EBITDA | 27.500.000 |
Kekurangan EBITDA
EBITDA merupakan salah satu indikator keuangan yang bermanfaat untuk menganalisis keuangan perusahaan. Namun demikian, indikator ini memiliki beberapa kekurangan, Di antaranya:
- EBITDA bukan merupakan indikator keuangan yang diterima secara umum (non-generally accepted accounting principles). Hal ini bisa berakibat pada cara penghitungan EBITDA antara satu perusahaan dengan perusahaan lain bisa berbeda.
- Nilai EBITDA cenderung lebih besar dibandingkan dengan laba bersih perusahaan. Sebagaimana pada contoh di atas, nilai indikator ini umumnya lebih besar dibandingkan dengan laba bersih perusahaan. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan EBITDA digunakan oleh perusahaan untuk “menutupi” nilai keuntungan yang sebenarnya oleh investor. Maka dari itu, tidak heran jika SEC (OJK-nya Amerika Serikat) melarang perusahaan untuk menghitung EBITDA per share.
- EBITDA tidak memperhitungkan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk belanja modal (capital expenditure).
EBITDA hanyalah salah satu indikator keuangan dari sekian banyak indikator keuangan lain yang bisa Anda gunakan sebagai alat analisis. Gunakan EBITDA bersamaan dengan indikator keuangan tersebut untuk menghasilkan analisis keuangan yang lebih komprehensif.
Wahh sangat mendalam sekali penulisannya
Superrr !!