Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Risiko Likuiditas? Pengertian, Penyebab, dan Contohnya

Risiko Likuiditas

Ada banyak risiko yang harus Anda hadapi saat berinvestasi. Risiko-risiko tersebut merupakan hal yang tidak bisa dihindari, namun bisa dikendalikan dengan cara menjadikan tingkat risiko sebagai salah satu tolok ukur dalam memilih sebuah saham. Salah satu di antara risiko-risiko tersebut adalah risiko likuiditas (liquidity ratio). 

Pengertian Risiko Likuiditas

Risiko likuiditas adalah risiko yang timbul akibat sebuah perusahaan kekurangan aset yang likuid, seperti kas atau setara kas. Bagi perusahaan sektor perbankan, hal ini bisa terjadi akibat banyak nasabah yang tiba-tiba menarik simpanannya dan bank tersebut tidak mampu menyediakan dana yang dibutuhkan. 

Adapun bagi perusahaan sektor lainnya, risiko kekurangan likuiditas berarti ketidakmampuan perusahaan tersebut untuk membayar kewajiban jangka pendeknya (seperti utang) dengan tanpa mengurangi kinerja operasional perusahaan. 

Contoh mudahnya seperti ini, Anda membuka sebuah bisnis menggunakan modal dari pinjaman bank dengan tenor 5 tahun. Anda akan menghadapi risiko likuiditas apabila bisnis tersebut tidak bisa menyediakan uang tunai atau setara uang tunai yang dapat digunakan untuk membayar angsuran atau melunasi pinjaman bank tersebut ketika jatuh tempo. Akibatnya, Anda harus menjual peralatan dan barang-barang kantor untuk melunasi pinjaman tersebut. Apabila masalah likuiditas ini dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin bank akan menyita aset perusahaan dan menutup bisnis Anda. 

Penyebab Risiko Likuiditas

Risiko likuiditas adalah hal yang sangat penting bagi perusahaan. Sebab, tentunya investor maupun kreditur akan memberikan bantuan permodalan hanya kepada perusahaan yang memiliki risiko likuiditas baik. Salah satu cara untuk memperbaiki risiko likuiditas perusahaan adalah dengan mengidentifikasi penyebab adanya risiko tersebut. Berikut ini di antara beberapa penyebab timbulnya risiko ini:

1. Jumlah kas keluar lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kas masuk

Kreditur maupun investor umumnya ingin menerima pengembalian pinjaman dan investasi dalam bentuk uang tunai atau setara kas. Oleh karena itu, apabila jumlah kas yang masuk ke dalam perusahaan dalam bentuk laba atau pendapatan lebih rendah dibandingkan kas yang dikeluarkan untuk membayar beban, maka perusahaan tersebut sedang menghadapi risiko likuiditas. 

2. Perubahan kondisi pasar

Risiko likuiditas juga bisa disebabkan oleh adanya perubahan yang tidak terduga pada kondisi pasar. Misalnya, perusahaan Anda menyimpan uang kas dalam bentuk dolar. Ketika nilai tukar dolar terhadap rupiah jatuh (rupiah semakin mahal), maka uang kas yang awalnya cukup untuk membayar pinjaman rupiah, menjadi kurang. 

Dalam perbankan, krisis likuiditas akibat kondisi pasar ini sudah beberapa kali terjadi. Krisis ekonomi membuat nasabah penyimpan menarik uangnya dari bank secara bersamaan. Pada akhirnya, bank yang tidak bisa memenuhi kebutuhan nasabah tersebut ditutup alias dilikuidasi. 

3. Kesalahan manajemen keuangan

Risiko likuiditas juga bisa disebabkan oleh kesalahan perusahaan dalam mengatur keuangan mereka. Misalnya, perusahaan terlalu banyak melakukan belanja modal, sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban jangka pendek mereka atau perusahaan mengambil investasi berisiko tinggi dengan dana pinjaman, sehingga ketika investasi tersebut tidak menghasilkan keuntungan, perusahaan juga tidak bisa melunasi utang. 

4. Sumber pendanaan yang terbatas

Banyak perusahaan atau bisnis yang menghadapi masalah likuiditas karena sumber permodalan yang terbatas, misalnya modal hanya dari pemilik saja. Akibatnya, ketika dana dari sumber tersebut habis, sementara perusahaan masih perlu bertumbuh, pertumbuhan perusahaan jadi terhambat. 

Jenis-Jenis Risiko Likuiditas

Secara umum, risiko likuiditas terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Likuiditas pendanaan atau akuntansi

Risiko ini timbul apabila perusahaan tidak memiliki aset likuid yang cukup untuk membayar kewajiban jangka pendek mereka. Misalnya, sebagian besar aset perusahaan berbentuk rumah atau properti lainnya, sehingga ketika tanggal jatuh tempo utang jangka pendek sudah tiba, dan perusahaan tersebut tidak memiliki kas yang cukup, maka mereka terpaksa harus menjual rumah atau properti lain yang dimiliki. 

2. Risiko likuiditas pasar

Risiko likuiditas pasar ini timbul apabila seseorang atau sebuah perusahaan terpaksa menjual asetnya dengan harga yang lebih rendah dibandingkan harga normal di pasaran demi mendapatkan uang tunai secara cepat dan memenuhi kebutuhannya. 

Pada contoh perusahaan yang menjual tanah dan rumah di atas misalnya. Karena tanggal jatuh tempo utang sudah tiba, maka tidak menutup kemungkinan perusahaan harus menjual tanah dan rumahnya dengan harga yang lebih rendah di pasaran. 

Cara Mengatasi Risiko Likuiditas

1. Mengidentifikasi kesenjangan likuiditas

Identifikasi kesenjangan likuiditas dapat dilakukan dengan cara membandingkan aktiva lancar dengan kewajiban lancar perusahaan tersebut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran penuh mengenai “seberapa cukupkah aktiva lancar (jenis aktiva yang paling likuid) untuk membayar kewajiban jangka pendek perusahaan”. Anda bisa mengidentifikasi hal ini menggunakan rasio likuiditas.

2. Meningkatkan cadangan kas

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwasanya uang tunai atau kas adalah aset yang paling likuid dan paling disukai oleh bank atau investor saat menerima pembayaran dari perusahaan. Maka dari itu, penting untuk meningkatkan cadangan kas atau setara kas. 

Bagi bank, peningkatan cadangan kas ini semakin penting karena nasabah tentunya membutuhkan uang mereka secara tunai. Maka dari itu, tidak heran jika saat ini ada peraturan yang khusus menyebutkan cadangan aset minimum yang harus dimiliki oleh perusahaan. 

Bagi investor, cara meminimalisir risiko likuiditas tidak hanya bisa dilakukan dengan mengidentifikasi emiten dengan kondisi likuiditas bagus menggunakan liquidity ratio, tetapi juga memilih instrumen investasi yang tepat. Sebab, setiap instrumen investasi memiliki tingkat likuiditasnya tersendiri. 

Saham dan obligasi misalnya, membutuhkan proses pencairan selama 2-7 hari kerja. Belum lagi apabila mengingat bahwa harga saham dan obligasi juga berfluktuasi, sehingga ada kemungkinan investor terpaksa merugi dengan menjual saham dan obligasi miliknya dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar.

Hal ini berbeda dengan reksa dana pasar uang yang membutuhkan waktu 2 hari kerja saja atau deposito yang bisa dicairkan secara langsung namun terkena biaya penalti apabila tidak sesuai dengan tanggal jatuh tempo. Ini artinya bahwa, saham dan obligasi memiliki risiko likuiditas yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan reksa dana pasar uang atau deposito. 

Contoh Analisis Kasus Risiko Likuiditas

Misalnya, perusahaan A dan B memiliki data keuangan sebagai berikut:

Perusahaan A:

Pendapatan = Rp15.000.000.000

Utang jangka pendek= Rp1.300.000.000. 

Kas = Rp1.000.000.000. 

Perusahaan B:

Pendapatan =Rp14.000.000.000

Utang jangka pendek: Rp1.500.000.000

Kas: Rp2.000.000.000

Menggunakan cash ratio, rasio likuiditas kedua perusahaan tersebut adalah:

Perusahaan A:

Rasio kas = Rp1.000.000.000/Rp1.300.000.000= 0,769. 

Ini artinya, uang kas perusahaan saja tidak cukup untuk membayar utang jangka pendek perusahaan tersebut, sehingga mereka harus menggunakan aktiva lancar lain, seperti perlengkapan, peralatan dan lain sebagainya untuk membayar utang. 

Perusahaan B:

Rasio kas = Rp2.000.000.000/Rp1.500.000.000= 1,3

Ini artinya, uang kas perusahaan saja sudah cukup untuk membayar utang. Dari contoh ini dapat terlihat bahwasanya pendapatan yang lebih besar tidak seharusnya menjadi satu-satunya tolok ukur dalam memilih saham terbaik.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *