Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Feodalisme? Pengertian, Contoh, dan Cirinya

Sistem Ekonomi Feodalisme

Dalam memahami sistem ekonomi yang populer saat ini, seperti kapitalisme, komunisme dan sosialisme, penting kiranya untuk memahami sistem ekonomi lama yang menjadi akar dari timbulnya sistem-sistem baru tersebut, yaitu feodalisme. 

Sistem ini memang populer di Eropa pada abad pertengahan, namun bukan berarti sistem ekonomi feodal tidak pernah ada di Indonesia. Untuk memahami apa itu feodalisme, mari membaca artikel berikut ini:

Pengertian Feodalisme

Feodalisme adalah sistem tatanan sosial, politik dan ekonomi yang populer di Eropa pada abad pertengahan dan Indonesia pada masa kerajaan. Dalam sistem ini, sumber daya produksi baik itu tanah maupun alat-alat pertanian dikuasai oleh tuan-tuan tanah (baron). 

Tuan-tuan tanah ini biasanya berupa bangsawan atau orang yang berjasa besar pada raja. Tanah milik para tuan ini kemudian dikelola oleh para pekerja atau budak yang disebut dengan vassal. Sebagai gantinya, para vassal ini bisa mendapatkan upah, dipenuhi kebutuhan hariannya dan mendapatkan imbalan yang setimpal. 

Lebih lanjut, meskipun raja pada zaman ini hanya berperan sebagai kepala kerajaan (figurehead) namun tuan tanah juga dituntut untuk setia pada raja. Apabila tuan tanah ini setia dengan raja, maka dia berpotensi untuk diangkat menjadi pejabat sipil atau militer, mendapatkan keuntungan berupa kebebasan pajak dan lain sebagainya. 

Ciri-Ciri Sistem Ekonomi Feodalisme

Menurut Encyclopedia Britannica, sistem ini memiliki ciri sebagai berikut:

  1. Tidak adanya otoritas publik yang mengatur kehidupan sehari-hari. Aturan kehidupan sehari-hari pada pelayan atau budak diatur oleh tuan tanah yang mempekerjakannya. Termasuk dalam hal ini adalah masalah pernikahan dan lain sebagainya. 
  2. Banyaknya konflik antar daerah. Tuan tanah tentunya ingin memperluas daerah kekuasaannya, sehingga tidak heran terdapat banyak konflik bersenjata dalam sistem feodalisme. 
  3. Keterikatan antara budak (pelayan) dan tuan tanah mereka. Tidak jarang, budak atau pelayan tidak hanya bekerja sebagai pengelola lahan milik tuan tanah  mereka, tetapi juga menjadi armada militer yang bisa sewaktu-waktu digunakan.

Joel Kotkin, seorang sosiolog asal Oregon Amerika Serikat dalam wawancaranya bersama John Anderson menyebutkan beberapa karakteristik feodalism sebagai berikut:

  1. Sejumlah kecil orang menguasai sebagian besar kekayaan dan kekuatan suatu negara atau daerah.  Dalam hal ini, tentu saja raja dan para bangsawan. 
  2. Fundamentalisme agama. Joel menyebutkan bahwa di era kegelapan (middle ages),  agama adalah hal yang sulit diperdebatkan. Dalam artian, masyarakat tidak memiliki hak untuk mendebat agama. 

Menurut Maryati dalam bukunya yang berjudul Sosiologi, dalam aspek sosial masyarakat feodal memiliki pola dasar sebagai berikut:

  1. Raja sebagai penguasa tertinggi memiliki hak-hak istimewa dan harus ditaati. 
  2. Di bawah raja adalah kaum bangsawan yang juga harus ditaati. 
  3. Tidak hanya harus ditaati, raja dan para bangsawan tersebut juga harus disegani. 
  4. Adanya kecenderungan sikap sewenang-wenang dari para masyarakat kelas atas kepada masyarakat kelas bawah. 
  5. Sistem mobilitas sosial tertutup. 

Sistem mobilitas sosial tertutup artinya, masyarakat kelas atas cenderung mewariskan sumber daya produksi miliknya kepada keturunannya. Akibatnya, masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya produksi dan terkena sikap kesewenang-wenangan dari tuan tanah mereka akan kesulitan untuk mendapatkan taraf kehidupan yang lebih baik. 

Maka dari itu, tidak heran jika sistem ini mulai hancur ketika masa revolusi industri. Sebab dengan adanya revolusi industri dan pertumbuhan kapitalisme, masyarakat kelas bawah memiliki kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan taraf hidup mereka dan kekayaan seorang tuan tanah bisa hilang apabila tidak dikelola dengan baik. 

Contoh Sistem Ekonomi Feodalisme

Contoh sistem feodalisme di Indonesia terdapat pada masa kerajaan-kerajaan kuno, seperti Majapahit. Pada masa ini, raja dianggap sebagai keturunan dewa, sehingga mendapatkan hak istimewa. Karena bertalian darah dengan raja, para bangsawan juga turut mendapatkan hak istimewa tersebut. 

Dalam sistem ini, daerah-daerah yang dikuasai oleh Majapahit dipimpin oleh seorang adipati atau bupati dan kemudian lurah (di level desa). Daerah-daerah tersebut juga harus membayar upeti dan pajak sebagai tanda kesetiaan kepada negara besar. Selain upeti dan pajak, rakyat dalam masyarakat feodal seringkali juga diminta untuk menjadi tenaga kerja pemerintahan baik itu sebagai tenaga kerja sipil atau menjadi tentara. 

Namun ada kalanya, raja atau pimpinan daerah juga memberikan keringanan, seperti memberikan tanah perdikan atau tanah bebas pajak dan upeti yang biasanya diberikan oleh raja kepada individu-individu yang berjasa atau lembaga pendidikan keagamaan. 

Kelebihan Sistem Ekonomi Feodalisme

Kelebihan utama sistem ekonomi feodalisme adalah kesetiaan terhadap raja yang tinggi, sehingga tatanan sosial lebih terstruktur. Dalam hal ini, masyarakat yang dianggap tidak setia dengan raja bisa dianggap sebagai pemberontak. 

Namun hal ini juga berarti raja dituntut untuk menjadi individu yang tidak hanya arif dan bijaksana namun juga cerdas dalam berpolitik. Sebab, ketidakmampuan raja dalam mengelola negara bisa dimanfaatkan oleh para tuan tanah untuk melakukan pemberontakan.

Kekurangan Sistem Ekonomi Feodalisme

1. Menunjang korupsi, kolusi dan nepotisme

Sistem profit dalam masyarakat feodal menekankan keuntungan yang akan diperoleh jika bisa memuaskan raja, bangsawan atau tuan tanah. Akibatnya, pemberian keuntungan tidak didasarkan pada siapa saja yang berprestasi atau memiliki kinerja baik, melainkan siapa saja yang berhasil memuaskan raja. Dengan sistem profit sedemikian rupa, pintu untuk korupsi, kolusi dan nepotisme terbuka lebar. 

2. Mobilitas sosial tertutup

Seperti yang telah disebutkan di atas, dalam masyarakat feodal orang dengan status sosial rendah memiliki kemungkinan sangat kecil untuk naik kasta. Ini artinya, seberapa besar pun kerja keras Anda atau seberapa pintar pun Anda, Anda akan selamanya miskin. Hal ini karena upah kinerja yang mereka dapatkan sangat kecil dan karena sumber daya produksi dikuasai oleh bangsawan saja. 

3. Meningkatnya perbudakan

Dalam masa ini, tenaga kerja atau vassal tidak jarang dianggap sebagai aset yang berguna untuk mengoperasikan lahan atau membantu tuan tanah saja. Ini artinya, ketika tuan tanah tersebut kalah dalam peperangan atau membutuhkan aset dalam bentuk lain, maka dia bisa “menjual” vassal yang bekerja dengannya. 

Maka dari itu, tidak heran jika pada abad pertengahan banyak orang-orang dari Afrika yang diperjualbelikan sebagai budak di negara-negara Eropa atau Amerika Utara. Meskipun praktik perbudakan ini sudah hilang di permukaan, namun dampaknya masih terasa, seperti adanya diskriminasi berdasarkan ras, masalah pendidikan anak-anak keturunan budak dan lain sebagainya. 

4. Penindasan terhadap hak-hak umat manusia

Tidak hanya perbudakan, sistem feodalisme khususnya feodalisme kuno juga menindas adanya hak-hak umat manusia lainnya, seperti hak kebebasan berpendapat, hak untuk mendapatkan pendidikan dan hak untuk mendapatkan perlakuan hukum yang setara. 

Feodalisme kuno mulai runtuh ketika paham liberalisme dan kapitalisme mulai berkembang di negara-negara Eropa pada abad ke-18. Seiring adanya revolusi industri dan pembagian tenaga kerja (division of labor), dan tentunya pendidikan, masyarakat kelas bawah mulai memiliki pilihan hidup untuk meningkatkan taraf hidup mereka dengan bekerja sebagai karyawan atau tenaga profesional di kota dan tidak terikat lagi dengan tuan tanah dan bangsawan yang mempekerjakan mereka. 

Feodalisme di Zaman Modern

Secara teoritis, raja dan bangsawan saat ini memang nyaris tidak ada, kecuali untuk beberapa daerah tertentu yang memiliki sistem pemerintahan monarki parlementer. Namun, bukan berarti feodalisme telah hilang sepenuhnya. 

Joel Kotlin beranggapan bahwa masyarakat modern semakin lama semakin memiliki karakteristik yang mirip dengan masa feodalisme kuno meskipun dengan tanpa raja atau bangsawan. Hal ini dibuktikan dengan tingginya ketimpangan ekonomi, artinya orang kaya semakin kaya dan orang miskin atau masyarakat menengah tidak bisa meningkatkan taraf ekonominya (middle income trap). 

Secara natural, memang orang kaya memiliki sumber daya yang lebih baik untuk diberikan kepada anak-anaknya dibandingkan dengan kalangan menengah atau miskin. Maka dari itu tidak heran jika kekayaan mereka awet. 

Akan tetapi, sistem saat ini membuat masyarakat kalangan bawah dan menengah terus berkejaran dengan inflasi dan minimnya gaji serta perlindungan pekerja. Hal ini membuat mereka susah untuk mendapatkan sumber daya tambahan demi meningkatkan taraf hidup.

Menurut Joel, masyarakat saat ini juga memiliki tingkat fundamentalisme agama yang kuat, sehingga tidak suka adanya perdebatan. Adapun yang dimaksud dengan agama di sini bukan Kristen atau Islam, melainkan adalah keyakinan terhadap suatu paham, seperti gender, paham politik, isu lingkungan.

Hal ini diperparah dengan adanya penguasaan media oleh individu-individu kaya. Artinya, individu tersebut hanya akan menyebarkan informasi yang sesuai dengan kebutuhannya dan tidak menghendaki adanya pendapat lain. 

Selain itu, individu menengah ke atas juga berpeluang untuk melobi atau bahkan masuk ke dalam pemerintahan untuk “mengontrol” kebijakan agar sesuai dengan keinginan mereka. Joel berpendapat bahwa tidak adanya perbedaan pendapat atau kepentingan antara pemerintah dan pengusaha ini justru akan berdampak buruk bagi demokrasi dana perekonomian.

Masyarakat juga semakin skeptis terhadap pendidikan. Ketika kapitalisme mulai berkembang, pendidikan dipandang sebagai salah satu cara untuk meningkatkan taraf ekonomi. Hal ini sempat terjadi di Indonesia dimana sumbangsih utama Presiden Soeharto adalah membangun perekonomian negeri ini dengan membangun sekolah Inpres sehingga taraf pendidikan dan ekonomi masyarakat Indonesia mulai berbenah dari negara miskin menjadi negara berkembang. 

Namun saat ini fenomena yang terjadi lain. Banyak generasi muda Indonesia dan berbagai negara lainnya yang sudah memiliki pendidikan tinggi (sarjana atau bahkan magister) yang menganggur atau mendapatkan pekerjaan dengan upah di bawah kontribusinya.

Kesimpulan

Feodalisme adalah sebuah tatanan sosial, politik dan ekonomi di masyarakat yang mana sebagian besar kekayaan suatu daerah dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat. Dalam feodalisme kuno, sejumlah kecil masyarakat ini adalah para raja, bangsawan dan tuan tanah. 

Meskipun saat ini raja dan bangsawan sudah tidak banyak dan mayoritas dikendalikan oleh hukum (monarki parlementer), namun beberapa ahli menyebutkan bahwa beberapa karakteristik feodalisme masih ada hingga kini, mulai dari tingkat ketimpangan ekonomi yang tinggi hingga susahnya masyarakat kalangan bawah dan menengah untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *