Dalam beberapa tahun ini, industri keuangan Indonesia diramaikan dengan adanya sistem peminjaman baru yaitu P2P lending. Konsepnya sederhana yaitu menawarkan pinjaman langsung dengan komunikasi melalui teknologi.
Perusahaan fintech lending juga menawarkan sistem pengajuan pinjaman yang lebih mudah dibandingkan bank. Pengguna hanya perlu mengunggah KTP atau kartu identitas lainnya serta beberapa data pribadi untuk mendapatkan pinjaman dengan limit puluhan juta.
Hal yang sering dipertanyakan dari adanya lembaga ini adalah apakah P2P lending legal untuk beroperasi di Indonesia dan bagaimana status hukumnya di mata hukum syariah Islam? Hal ini mengingat bahwasannya seiring meningkatnya popularitasnya, meningkat pula jumlah pemberitaan buruk mengenai lembaga ini. Entah itu mengenai besaran bunganya, caranya untuk menarik uang dan lain sebagainya.
P2P Lending Apakah Haram atau Halal?
Majelis Ulama Indonesia dalam fatwa nomor 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah menyatakan bahwa hukum P2P Lending Syariah adalah “Mubah atau Boleh atau Halal”. Dalam kaidah fikih, hukum Mubah bisa menjadi haram atau wajib apabila ada alasan yang kuat.
Dalam hal ini, hukum lembaga tersebut bisa menjadi haram apabila ada pelanggaran atas syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh MUI di bawah. Misalnya, sebuah P2P Lending Syariah ketahuan menipu atau tidak menyampaikan semua ketentuannya secara utuh (tadlis) kepada calon investor atau peminjam, maka hukum P2P Lending Syariah tersebut secara otomatis akan menjadi haram.
Namun perlu Anda ingat bahwasanya hukum yang disampaikan oleh MUI ini bukan hukum yang mutlak. Maka dari itu, jangan heran apabila ada ulama’ lain yang berbeda pendapat. Ahli ekonomi syariah terkemuka Indonesia Dr. Erwandi Tarmizi dalam bukunya yang berjudul Harta Haram Muamalat Kontemporer sebagaimana yang dikutip oleh Republika misalnya menilai bahwa hukum P2P Lending adalah haram karena termasuk riba Jahiliyyah.
Perbedaan pendapat mengenai hal-hal kontemporer seperti ini wajar adanya dalam hukum Islam. Hal ini karena adanya perbedaan cara pandang dan cara berpikir masing-masing ulama’ atas segala sesuatu yang tidak ada dalam kehidupan sekitar Nabi S.A.W.
Syarat P2P Lending Syariah
Sebagaimana yang telah ditekankan di atas, hukum mubah pada P2P Lending bisa menjadi haram apabila pihak perusahaan pinjaman online tersebut melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh MUI. Lantas apa saja batasan-batasan tersebut?
- Penyelenggaraan P2P Lending bebas dari hal-hal yang dilarang oleh agama Islam seperti, tadlis (penipuan), riba, gharar (ketidakpastian), maysir (judi), zhulm (menyalai hak orang lain aka dhalim).
- Dana yang terkumpul dari investor disalurkan pada industri atau usaha yang halal.
- Akad atau surat kontrak yang dibuat oleh perusahaan P2P Lending wajib adil, seimbang dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
- Akad atau kontrak yang digunakan dalam transaksi adalah akad yang sudah diperbolehkan oleh MUI seperti al-bai’ (jual beli), ijarah (sewa menyewa), mudharabah (investasi), musyarakah (persekutuan), wakalah bi al ujrah (perwakilan dengan sistem upah), dan qardh (pinjam meminjam uang).
- Tanda tangan elektronik yang digunakan wajib valid dan terjamin keotentikannya.
- Pengenaan biaya dari perusahaan lending kepada nasabah peminjam menggunakan sistem upah (ujrah).
- Jika informasi yang diberikan dalam akad maupun sumber lainnya tidak sesuai dengan kenyataan, maka salah satu pihak berhak untuk tidak melanjutkan kontraknya.
Semua platform yang menawarkan P2P lending syariah telah memenuhi syarat-syarat di atas.
Tips Menghindari P2P Lending Haram
1. Pastikan legalitas perusahaan P2P Lending tersebut
Perlu Anda ingat bahwa label syariah pada sebuah perusahaan P2P Lending tidak mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut dapat secara sah beroperasi di Indonesia. Oleh sebab itu sebelum Anda resmi meminjam atau berinvestasi di perusahaan tersebut, pastikan legalitasnya terlebih dahulu.
Anda bisa memastikan legalitas perusahaan ini dengan memastikannya termasuk dalam daftar fintech legal.
Dilansir dari laman Hukum Online, ada setidaknya 3 aturan utama yang harus diikuti oleh P2P Lending legal baik itu yang syariah maupun bukan. Aturan pertama adalah suku bunga harian tidak boleh lebih dari 0,8% per hari, kedua perusahaan lending legal hanya bisa mengakses kamera, mikrofon dan lokasi handphone (bukan gambar, nomor telepon dan lain sebagainya). Ketiga, besaran uang yang ditagih tidak boleh lebih dari 2 kali lipat dari jumlah pokok utang.
Sebaiknya gunakan aplikasi P2P lending yang kami rekomendasikan karena semua perusahaan di dalmanya memiliki track record baik serta terbukti membayar.
2. Pelajari profil perusahaan lending
Tips selanjutnya adalah pastikan Anda tahu profil perusahaan lending tersebut. Tidak hanya legalitasnya, pastikan juga Anda meminjam atau berinvestasi di perusahaan yang jelas lokasinya, siapa direkturnya, bagaimana alokasi pinjamannya, berapa bunganya dan lain sebagainya.
Tujuannya adalah supaya ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atas perusahaan tersebut, Anda memiliki bukti kuat mengenai siapa yang harus ditagih dan pihak yang berwenang bisa datang langsung ke lokasi yang Anda berikan.
3. Baca klausul kontrak atau akad secara rinci
Salah satu kekurangan masyarakat Indonesia yang sering membuat mereka terjerumus dalam hal-hal yang tidak diinginkan adalah kurangnya minat baca, khususnya minat baca terhadap syarat dan ketentuan kontrak. Padahal syarat dan ketentuan ini penting untuk dipahami dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Dalam paragraf di atas diketahui bahwa salah satu hal kunci dalam boleh atau tidaknya P2P lending dalam hukum Islam adalah tidak adanya aspek tadlis, ketidakadilan dan ketidakseimbangan dan penyalahan hukum dalam kontrak ( akad baku) dan apabila diketahui kontrak tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka baik pihak perusahaan lending, peminjam maupun investor berhak untuk mengakhiri kontrak tersebut.
4. Pelajari mekanisme akad syariah
Setidaknya ada 6 jenis akad yang diperbolehkan MUI untuk diterapkan dalam P2P lending syariah. 6 jenis akad tersebut adalah al-bai’ (jual beli), ijarah (sewa menyewa), mudharabah (investasi), musyarakah (persekutuan), wakalah bil ujrah (perwakilan dengan sistem upah), dan qardh (pinjam meminjam uang).
Mekanisme operasi dari 6 jenis akad di atas berbeda. Akad jual beli (bai’) misalnya membutuhkan perpindahan barang (objek akad) dari penjual dan pembeli sementara akad mudharabah adalah akad yang mengikat pemilik modal (shahibul maal atau investor) dengan pihak pelaksana (peminjam). Dalam akad mudharabah ini risiko yang timbul akan dibebankan kepada pemilik modal.
Sama dengan bank syariah, biasanya P2P lending syariah juga menawarkan pinjaman dengan berbagai jenis kontrak sekaligus. Jadi dengan mempelajari mekanisme masing-masing akad di atas, Anda akan jadi tahu akad mana yang menurut Anda masih ada riba didalamnya dan mana yang tidak. Selain itu dengan mengetahui mekanisme operasi akad ini, Anda juga bisa tahu apakah perusahaan tersebut menyalahi aturan MUI atau tidak saat proses transaksi berlangsung.
Pelajaran mengenai mekanisme akad syariah ini saat ini bisa Anda temukan di banyak sumber mulai dari seminar, artikel di internet, buku-buku ekonomi syariah hingga kitab-kitab fiqih secara langsung.