Pernahkah Anda mendengar istilah money laundering atau pencucian uang? Meskipun namanya pencucian uang, namun bukan berarti alat tukar ini dicuci menggunakan mesin cuci dan detergen loh ya!. Kegiatan pencucian uang atau money laundering adalah tindak pidana kriminal yang bisa berbahaya bagi bangsa dan negara.
Simak ulasan selengkapnya mengenai tindak pidana ini dalam artikel berikut:
Pengertian Pencucian Uang
Pencucian uang adalah usaha untuk menyamarkan uang yang berasal dari transaksi ilegal dengan menggunakan transaksi legal. Tujuan mencuci uang adalah untuk menutupi asal harta tersebut, sehingga penegak hukum tidak bisa mendeteksinya.
Pencucian uang pertama kali dikenal pada tahun 1920-an ketika para mafia di Amerika Serikat menggunakan uang hasil rampasan, pencurian dan penjualan narkotika untuk membuka usaha laundry (laundromat) di negara tersebut. Dengan demikian, pihak penegak hukum akan mengira kalau kekayaan mereka diperoleh dari pendirian laundromat tersebut alih-alih dari kegiatan ilegal.
Di Indonesia, transaksi ini diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Dalam pasal 3-5 undang-undang tersebut disebutkan bahwa pelaku tindak pidana kejahatan ini berpeluang untuk dihukum selama 5-20 tahun penjara dengan denda sekitar 1 milyar sampai 10 milyar rupiah.
Mengapa Orang Melakukan Pencucian Uang?
Orang yang melakukan tindak pidana pencucian uang biasanya memperoleh uang tersebut dari sumber yang tidak diizinkan oleh negara (ilegal). Sumber yang tidak diizinkan ini bervariasi, mulai dari jual beli narkoba, hasil korupsi, hingga manipulasi pembukuan akuntansi perusahaan. Oleh karena itu, tindak pidana yang satu ini tidak hanya dilakukan oleh para masyarakat kelas menengah saja, tetapi juga orang-orang kaya yang ingin memperkaya diri sendiri.
Jumlah uang yang terlibat dalam tindak pidana ini biasanya sangat banyak, sehingga akan membuat pihak yang berwenang curiga apabila uang sebanyak itu dimiliki oleh seseorang. Akibatnya, orang yang melakukan pencucian uang akan memecah uang yang dimilikinya dan memasukkannya ke dalam bisnis yang legal supaya terlihat sah dan halal.
Mengapa Pencucian Uang Dilarang?
Money laundering dilarang di berbagai negara di belahan dunia karena tindakan ini mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan negara tersebut dan mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Selain itu, money laundering juga dilarang karena adanya potensi pembiayaan aksi kejahatan atau terorisme menggunakan uang dari sumber ini.
Misalnya, untuk pembiayaan proyeknya, seorang teroris A menjual ganja ke luar negeri. Supaya tidak dicurigai pemerintah, sebagian uang dari jual beli ganja tersebut dimasukkan ke dalam sebuah koperasi yang semua anggotanya merupakan teroris. Uang hasil penjualan ganja tersebut kemudian disalurkan kepada anggota dengan dalih untuk memperbaiki usaha mereka, padahal uang tersebut digunakan untuk membeli bahan-bahan dan untuk merakit bom.
Bahaya-bahaya seperti inilah yang membuat transaksi pencucian uang dilarang. Tidak hanya itu, untuk transaksi money laundering kelas atas, biasanya juga melibatkan penggelapan pajak (tax evasion), sehingga menurunkan potensi pendapatan negara juga.
Tahapan Pencucian Uang
Secara teoritis, tindak pidana pencucian uang dilakukan dengan 3 tahap berikut:
1. Tahap placement
Pada tahap ini, uang hasil TPPU dipecah menjadi nominal-nominal yang lebih kecil untuk dimasukkan ke dalam sistem keuangan yang legal. Tahapan ini juga bisa dilakukan dengan cara mencampur uang hasil usaha yang sah dan tidak sah untuk dikirim ke luar negeri. Tujuannya adalah untuk menghindari kecurigaan dari pihak bank maupun pemerintah.
Misalnya, kriminal A memiliki uang haram senilai 10 milyar rupiah. Untuk menghindari kecurigaan aparat, uang tersebut dipecah menjadi 100 alokasi yang lebih kecil dengan nilai masing-masing sebesar Rp100.000.000. Diantara 100 alokasi keuangan tersebut adalah membangun pabrik, mengembangkan restoran, membeli tanah, dimasukkan deposito dan giro, dibelikan saham, dibelikan bitcoin dan ditukar dengan dolar.
2. Tahap layering
Pada tahap ini, transaksi menggunakan uang haram tersebut ditutupi dengan teknik-teknik akuntansi dan transaksi lainnya yang legal. Akibatnya, nilai uang haram tersebut akan tampak samar dan susah untuk dideteksi.
Misalnya, pada alokasi 100 juta khusus untuk pengembangan restoran di atas. Alih-alih mencatatnya sebagai tambahan modal dari pemilik, pengelola restoran tersebut dapat meminta staf nya untuk mencatat uang tersebut sebagai peningkatan penjualan. Sebagai bukti, mereka bisa memalsukan struk pemesanan yang dilakukan oleh pelanggan.
3. Tahap integrasi
Pada tahapan ini, uang haram hasil tindakan ilegal dan uang halal hasil usaha legal sudah susah untuk dibedakan. Akibatnya, para kriminal dapat menggunakan uang “yang telah dicuci” tersebut untuk melakukan kejahatan apapun yang mereka inginkan.
Contohnya, kriminal A yang telah sukses dengan usaha restorannya dapat menggunakan uang hasil dari restoran tersebut untuk menyuap pejabat atau memperluas ladang ganja yang dia miliki dan lain sebagainya. Karena sumber dari uang tersebut “tampak sah”, maka pihak yang berwajib akan kesusahan untuk mendeteksinya.
Meskipun tahapannya sederhana, namun pada prakteknya, tindak pidana pencucian uang tidak selalu mengikuti tahapan-tahapan tersebut. Apalagi saat ini ada aset kripto, seperti Bitcoin dan Metaverse yang tidak diawasi oleh pemerintah. Adanya aset crypto ini memungkinkan para kriminal untuk menyimpan uangnya dalam bentuk cryptocurrency menggunakan market exchanger dari luar negeri, sehingga menyusahkan pihak yang berwenang untuk menyelidikinya.
Contoh Kasus Pencucian Uang
Contoh 1
Salah satu kasus pencucian uang yang sempat membuat geger Indonesia adalah kasus tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Nazaruddin, mantan Anggota DPR dan Bendahara Partai Demokrat sekitar tahun 2009-2014.
Ketika itu, Nazaruddin didakwa menerima suap dari berbagai perusahaan properti, seperti PT Duta Graha Indah (DGI), PT Nindya Karya, PT Waskita Karya, PT Adhi Karya dan berbagai perusahaan properti lainnya untuk memperlancar proyek. Nilai suap tersebut diperkirakan mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Uang tersebut kemudian “disembunyikan” oleh Nazarudin di rekening berbagai perusahaan yang dimilikinya dan rekening milik keluarga dan stafnya. Tindakan Nazaruddin ini mulai terungkap ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan kepada stafnya, Mindo Rosalina Manulang dan beberapa pejabat. Atas kasus ini dan beberapa kasus sebelumnya, Nazaruddin dihukum 13 tahun penjara.
Contoh 2
Contoh lain dari tindak pidana pencucian uang yang dilakukan di luar negeri adalah kasus kriminal Nth Room yang sempat meramaikan jagat maya beberapa tahun lalu. Berbeda dengan kasus Nazaruddin di atas cara kerja money laundering dalam kasus ini menggunakan cryptocurrency sebagai alat bayar.
Pada kasus ini, Cho Ju-bin atau Baksabang pertama menawarkan pekerjaan paruh waktu kepada gadis muda melalui Twitter. Baksabang lantas memaksa para gadis muda tersebut untuk memotret dirinya dengan pose dan pakaian yang tidak pantas. Hasil pemotretan tersebut kemudian dijual oleh Baksabang kepada puluhan ribu orang yang menjadi anggota akun telegram “Doctor’s room”.
Untuk menjadi anggota di ruangan inilah, orang-orang tersebut harus membayar menggunakan cryptocurrency. Hal ini karena dengan menggunakan aset kripto tersebut, baik jejak pengguna maupun Baksabang sendiri akan susah diselidiki. Mata uang kripto tersebut kemudian diambil sedikit demi sedikit dengan cara yang sistematis oleh para anak buah Baksabang.
Akibat dari kasus ini, 103 orang gadis muda menjadi korban, 3757 termasuk anggota dan bawahan Baksabang ditangkap. Baksabang sendiri dihukum penjara selama 42 tahun atas kejahatannya.
Cara Mencegah Pencucian Uang
Tidak hanya perlu dilakukan pemerintah, pencegahan terhadap tindak pidana pencucian uang juga harus melibatkan masyarakat awam. Pasalnya, masyarakat awam yang tidak tahu apa-apa terancam terlibat dalam praktik terkait secara tidak sengaja. Berikut ini beberapa cara untuk mencegah tindak pidana pencucian uang baik untuk masyarakat maupun pemerintah:
1. Membatasi jumlah transaksi dalam bentuk kas
Cara yang pertama adalah membatasi transaksi dalam bentuk uang kas. Hal ini karena transaksi secara offline menggunakan uang kas cenderung lebih susah ditelusuri dibandingkan dengan transaksi menggunakan kartu kredit atau kartu debit.
Jika Anda bertransaksi menggunakan kartu debit atau kartu kredit, pihak bank masih bisa melacak dimana Anda melakukan transaksi tersebut dan siapa Anda. berbeda halnya jika Anda transfer dengan cara menyetorkan uang tunai ke teller. Oleh sebab itu, nominal transaksi secara tunai harus dibatasi.
2. Penerapan prinsip know your customer (KYC)
Alasan lain yang menyebabkan banyak kriminal menggunakan uang kas dan memecah uangnya ke dalam nominal yang lebih kecil adalah karena bank menerapkan sistem KYC. Hal ini membuat bank tidak bisa menerima transaksi-transaksi tertentu dengan tanpa NPWP dan kartu identitas.
Tidak hanya bank, beberapa industri juga tidak memungkinkan orang untuk membeli tanpa NPWP, seperti pembelian mobil baru atau rumah baru.
3. Memperketat aturan aset crypto
Selain bisa digunakan untuk menerima uang haram seperti kasus nth room di atas, mata uang kripto juga bisa jadi instrumen pihak-pihak tertentu yang ingin menggelapkan pajak. Maka dari itu, penting bagi pemangku jabatan untuk memberikan regulasi yang ketat terhadap instrumen investasi baru ini.
4. Menolak uang atau harta dari asal yang tidak jelas
Bagi masyarakat umum, langkah yang perlu dilakukan supaya terhindar dari praktik money laundering adalah dengan menolak uang atau harta yang tidak jelas asalnya. Hal ini khususnya apabila uang dan harta tersebut diberikan dalam jumlah yang besar. Sebab apabila Anda ketahuan menerima uang atau harta tersebut, bukan tidak mungkin Anda akan dikira sebagai rekanan dari kriminal terkait, meskipun sebenarnya Anda tidak tahu apapun.