Lompat ke konten
Daftar Isi

Sistem Ekonomi Jepang dan Sejarahnya

Sistem Ekonomi jepang

Ketika pertama kali mendengar kata Jepang, apa yang ada dalam benak Anda? Anime? Produsen elektronik? Atau justru penjajah Indonesia? Pada masanya, Jepang memang pernah menjadi penjajah negeri ini sebelum akhirnya menyerah kalah setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. 

Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki tidak hanya membuat negeri sakura ini menyerah kepada sekutu, tetapi juga meluluhlantakkan perekonomian negara ini. Namun demikian, Jepang dapat segera bangkit dan menjadi salah satu negara dengan perekonomian terkuat hingga saat ini. Mengapa demikian? Simak pembahasannya berikut ini:

Dasar-Dasar Ekonomi Jepang

1. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu dasar yang menonjol dari perkembangan ekonomi negara yang satu ini. Setelah menjadi kerajaan yang tertutup selama ratusan tahun, dan mengalami restorasi Meiji, Jepang bertekad untuk memajukan ekonomi dan militernya. 

Salah satu cara utama yang dilakukan oleh negara ini adalah mengirim ribuan generasi mudanya ke Amerika Serikat untuk menimba ilmu dan mempekerjakan sekitar 3.000 warga negara asing (WNA) untuk mengajar mata pelajaran modern di negara tersebut pada akhir tahun 1800-an. Meskipun telah terjadi lebih dari 100 tahun silam, pendidikan yang baik terbukti mampu untuk menjadi dasar yang kuat perekonomian Jepang hingga kini. 

2. Faktor sosial 

Terdapat beberapa faktor sosial yang menjadi dasar pertumbuhan ekonomi Jepang baik setelah restorasi Meiji khususnya setelah perang dunia ke-2. Faktor pertama adalah kerja keras, disiplin dan keseragaman.

Tentunya Anda sudah pernah mendengar atau membaca mengenai etos kerja orang Jepang ini. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir terlihat dampak negatifnya, namun kerja keras masyarakat Jepang ini terbukti mampu menjadikan negaranya menjadi salah satu negara maju di dunia. Hal ini didukung dengan budaya orang Jepang yang mendorong keseragaman. Keseragaman atau uniformity dalam dunia kerja ini contohnya adalah tidak pulang tepat waktu atau lebih dulu jika mayoritas rekan kerja belum pulang. 

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan untuk berpindah tempat tinggal. Pada masa kekaisaran, masyarakat Jepang memiliki nilai yang membuat mereka tidak bisa berpindah tempat tinggal dari satu lokasi ke lokasi lain. Pasca perang dunia ke-2, perlahan-lahan nilai ini mulai hilang dan masyarakat bisa berpindah tempat tinggal kemana saja sesuai dengan yang mereka inginkan. 

3. Perdagangan

Berbeda dengan Indonesia, Jepang adalah negara dengan wilayah yang jauh lebih kecil. Diperkirakan negara ini seluas 377.915 kilometer persegi, sementara Indonesia seluas 1.904.569 kilometer persegi. Ini artinya, sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan Jepang untuk perekonomiannya juga terbatas. 

Sebagai gantinya, negara ini bergantung pada perdagangan baik domestik maupun ekspor impor. Pada awal perkembangannya, hal ini kemudian didukung dengan berbagai faktor tambahan, seperti bantuan dari Amerika Serikat dan institusi keuangan internasional sebagai rekan strategis Jepang, Perang Korea, pengalokasian ulang anggaran militer ke perdagangan dan lain sebagainya. 

4. Inovasi

Dengan sumber daya alam yang sedikit, perubahan musim yang terus terjadi, mau tidak mau selain pada perdagangan ekonomi Jepang juga bergantung pada inovasi yang dihasilkan sumber daya manusianya. Maka dari itu tidak heran jika hasil karya teknologi anak muda dari negeri sakura ini bervariasi, mulai dari robot, semangka kotak, kereta cepat (shinkansen) dan masih banyak lainnya. 

5. Kolaborasi antar pelaku ekonomi

Baik sebelum maupun setelah perang dunia ke-2, perekonomian Jepang cukup bergantung pada perusahaan konglomerasi. Sebelum PD 2, perusahaan konglomerasi ini disebut dengan Zaibatsu, sementara setelah perang dunia ke-2 konglomerasi ini disebut dengan Keiretsu. 

Meskipun sama-sama perusahaan konglomerasi, namun Zaibatsu cukup berbeda dengan Keiretsu. Perbedaan yang pertama adalah pada Zaibatsu, umumnya perusahaan-perusahaan besar dikelola oleh keluarga dan memiliki sistem integrasi vertikal (dari bahan baku, ke bahan jadi di bidang yang sama). Adapun pada Keiretsu, saham-saham perusahaan besar bisa dimiliki oleh publik dan perusahaan besar tersebut bisa berekspansi ke bidang lainnya (horizontal integration).

Perbedaan lainnya adalah, pada Keiretsu kolaborasi antara pemerintah, swasta dan tenaga kerja lebih mapan. Setelah PD 2, masyarakat di Jepang (khususnya laki-laki) mendapatkan jaminan pekerjaan seumur hidup atau tidak bisa dipecat sampai pensiun. Tenaga kerja juga bisa membuat persekutuan tenaga kerja (labour union) yang bisa mendesak perusahaan untuk meningkatkan gaji. 

Di satu sisi, pada masa ini pemerintah Jepang juga cukup aktif membentuk Undang-Undang tentang bisnis, mulai dari larangan monopoli, perlindungan konsumen dan lain sebagainya. Kerja sama yang solid antar  pelaku ekonomi ini membuat perbaikan ekonomi Jepang relatif cepat.

Sejarah Ekonomi Jepang

Sebelum restorasi meiji

Jepang adalah negara atau kekaisaran yang memiliki sejarah panjang. Sebelum berinteraksi dengan negara-negara barat, kekaisaran Jepang sudah lama berinteraksi dengan negara tetangganya, yaitu Korea dan China. Namun memang gejolak ekonomi besar negara ini mulai terasa ketika berinteraksi dengan negara-negara Barat. 

Jepang pertama kali berinteraksi dengan bangsa Portugis pada abad ke-16 dalam bentuk interaksi perdagangan. Bangsa Portugis melihat peluang yang timbul akibat perseteruan China dan Jepang menjual barang-barang dari negeri Tiongkok, seperti porselen dan sutra ke Jepang. Namun karena disinyalir membawa misi kristenisasi, Jepang kemudian menutup diri sepenuhnya dari interaksi dengan bangsa barat pada tahun 1603. 

Interaksi dengan negara barat ini kemudian baru dibuka pada masa Restorasi Meiji pada 1868. Selama lebih dari 250 tahun menjadi negara atau kekaisaran tertutup, ekonomi Jepang boleh dikatakan bergerak dengan sistem ekonomi tradisional. Dalam hal ini, masyarakat memproduksi barang dan jasa dengan mengusahakan tanpa sampah atau pemborosan. Prinsip ekonomi sirkular diterapkan di sini, dimana masyarakat bahkan menjual hasil kremasi untuk pupuk. 

Meskipun pertumbuhan ekonomi kecil dan lambat, namun pada masa-masa ini industri kerajinan dan kesenian Jepang berkembang pesat. Jepang mulai mengekspor keramik juga dan beberapa kerajinan tangan lainnya. Selain itu akibat tertutup selama ratusan tahun, kesenian khas Jepang seperti Kabuki juga bisa bertahan hingga saat ini. 

Restorasi meiji

Jepang kembali terbuka untuk negara-negara barat pada tahun 1868. Sebelum itu, pada tahun 1853 angkatan laut Amerika Serikat di bawah komando Matthew C. Perry membawa kapal perang yang lebih besar ke Jepang untuk mendorong negara tersebut membuka beberapa daerah untuk keperluan perdagangan internasional.

Dari sini, pemerintah Jepang mulai menyadari bahwa selama ratusan tahun negaranya menjadi negara tertutup, kemajuan ekonomi mereka telah tertinggal dari negara-negara barat. Apabila tidak melakukan apapun, maka ancamannya adalah Jepang bisa terjajah oleh negara barat. Akibatnya, mau tidak mau Jepang harus melakukan perubahan. 

Perubahan ini diwujudkan pertama dengan pengembalian tahta atau kekuasaan tertinggi dari shogun ke Kaisar Meiji. Oleh sebab itu, peristiwa ini disebut dengan restorasi Meiji. Tidak hanya memberikan tahta kembali kepada kaisar, restorasi ini juga mengubah banyak aspek sosial dalam masyarakat Jepang, seperti peleburan kelas sosial, pembangunan sekolah-sekolah umum dengan kurikulum barat dan lain sebagainya. 

Restorasi ini tentu tidak akan terwujud dengan tanpa adanya sumber daya manusia yang memadai. Seperti yang telah disebutkan di atas, lebih dari 3.000 orang Eropa dipekerjakan sebagai pengajar di Jepang pada era ini dan ribuan muda mudi Jepang diminta untuk bersekolah di luar negeri. 

Pada masa ini juga, Jepang menjadi konsumen dari mesin dan teknologi barat. Dengan hasil dari sumber daya manusia di atas ditambah dengan mesin dan teknologi terkini, ketika itu Jepang mampu memproduksi barang dan jasa dengan kualitas yang mirip atau bahkan sama dengan kualitas produk dari Eropa, tapi harganya lebih murah. Contoh produk Jepang yang tumbuh dan berkembang pada masa dan dengan cara ini adalah jam tangan Seiko. 

Jam tangan Seiko pertama kali dibuat dengan model pocket watch (jam saku) pada 1895. Sebelum memproduksi jam tangan ini, pendiri perusahaan besar ini telah menjual berbagai jam produksi Eropa dan meneliti berbagai modelnya. 

Selain Seiko, perusahaan-perusahaan yang berkembang pada zaman ini adalah perusahaan Zaibatsu sebagaimana telah disebutkan di atas. Tidak hanya itu, pemerintah Jepang juga berhasil rel kereta api sepanjang 2.250 kilometer, perbankan ala Eropa dan memiliki saluran telegraf yang menghubungkan berbagai kota besar. Pada tahun 1905, Jepang juga berhasil mengalahkan Rusia dalam Russo-Japan war dan mulai mendapatkan penghormatan dalam kancah perpolitikan dunia.

Namun pertumbuhan ekonomi besar-besaran ini juga bukan tanpa efek samping. Pada masa ini banyak peninggalan-peninggalan masa Edo yang dihancurkan atas nama pembaharuan. Pakaian-pakaian khas Eropa juga mulai digunakan dan menjadi trend. 

Setelah perang dunia 2

Negara maju yang dibangun dengan restorasi Meiji secara mengejutkan kalah dari sekutu setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Diperkirakan jumlah korban yang meninggal akibat pengeboman ini adalah sebanyak 129.000–226.000 jiwa. 

Bagi Indonesia, momen ini adalah momen yang tepat untuk mendeklarasikan kemerdekaan. Akan tetapi bagi Jepang, momen penyerahan diri kepada sekutu ini adalah pukulan telak yang mengakibatkan jutaan tentara Jepang yang ada di luar negeri harus dipulangkan. Akibatnya, tingkat pengangguran di negara tersebut meningkat apalagi hal ini diperparah dengan potensi kekeringan dan gagal panen. 

Selama 7 tahun setelah perang dunia ke-2 berakhir, Jepang dikelola oleh tentara sekutu di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur. Pada masa ini beberapa perubahan dilakukan. Diantaranya adalah:

  1. Pelemahan Zaibatsu. Perusahaan-perusahaan konglomerasi diminta untuk menjual sahamnya kepada publik secara sukarela, sehingga mereka tidak menjadi terlalu dominan. Beberapa undang-undang juga diterbitkan untuk mencegah adanya praktik monopoli dan kartel dan mencegah perusahaan-perusahaan konglomerasi ini menjadi sangat besar. 
  2. Penguatan status tenaga kerja. Sebelum masa ini, gaji tenaga kerja Jepang boleh dibilang dibuat rendah oleh perusahaan. Dengan adanya Undang-Undang standar ketenagakerjaan (Labor Standard Act), karyawan di negeri ini bisa berserikat, meminta kenaikan gaji secara kolektif, berdemo, jaminan mendapatkan pekerjaan seumur hidup di perusahaan yang sama.
  3. Penguatan status perempuan dalam politik maupun tenaga kerja. Pemerintahan sekutu juga mendukung keterlibatan perempuan di pasar tenaga kerja dan pemilihan umum. Maka dari itu, tidak heran jika puluhan politisi perempuan terpilih dalam pemilihan umum pada masa ini. 
  4. Beberapa perubahan dalam bidang kebudayaan, pendidikan dan tata negara. Misalnya, status kaisar yang sebelumnya memiliki kekuatan penuh menjadi diatur oleh undang-undang, penghapusan Agama Shinto sebagai agama resmi negara dan perubahan sistem pendidikan yang sebelumnya menganut sistem pendidikan ala Jerman menjadi menganut sistem pendidikan ala Amerika Serikat dengan memasukkan beberapa komponen tentang budaya Jepang. 
  5. Pengalihan dana untuk pertahanan ke investasi dan ekonomi. Setelah perang dunia kedua, boleh dibilang bahwasanya anggaran Jepang untuk pertahanan banyak dikurangi dan bahkan pada tahun 1970, anggaran negara ini untuk pertahanan hanya sebesar 1% dari GDP. 
  6. Jepang membangun aliansi strategis dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat membutuhkan Jepang untuk bertahan melawan komunisme dari Rusia, China dan Korea Utara, sementara Jepang membutuhkan Amerika Serikat sebagai mitra investor dan konsumen produk ekspor mereka.

Beberapa perubahan di atas ternyata efektif untuk Jepang. Negara ini dapat dengan cepat bangkit hingga pada tahun 1949 di terapkanlah Dodge Plan, sebuah rencana kebijakan yang berfokus untuk membuat inflasi di negara ini menjadi terkendali. Kebijakan-kebijakan tersebut seperti balance budget (pengeluaran negara dibuat pas dengan pendapatannya), penghentian aliran dana dari luar negeri dalam bentuk utang, penerapan fixed exchange rate system dan pengurangan subsidi pemerintah. 

Pada awalnya, kebijakan ini memang membuat resesi di Jepang, namun seiring dengan keterlibatan Amerika Serikat di Perang Korea pada 1950-1953, kebijakan tersebut mulai dihapus karena Amerika Serikat membutuhkan Jepang sebagai pangkalan militer yang lebih dekat (dan tentunya murah) untuk ke Korea. 

Hal ini berdampak besar bagi perekonomian Jepang. Sebab dengan adanya pangkalan sekutu di negeri sakura ini, permintaan terhadap perlengkapan perang serta logistik membuat perekonomian negara tersebut kembali berputar. Belum lagi jumlah dollar yang masuk ke Jepang juga membuat negara ini dapat dengan lebih mudah dan murah mengimpor barang.

Akibat dari berbagai program ini, rata-rata pertumbuhan ekonomi Jepang setelah perang dunia kedua mencapai 7,1% setiap tahunnya pada 1945-1956. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ini terus pesat hingga menjadikan Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia selama puluhan tahun sebelum akhirnya digantikan oleh China pada 13 tahun terakhir. 

Perlambatan ekonomi Jepang

Pertumbuhan ekonomi Jepang mulai melambat pada awal tahun 1990-an. Sebelumnya, pada dekade 1980-an, perbankan negara ini menerapkan sistem bank dengan agunan dan umumnya agunan yang digunakan adalah tanah. 

Pada masa ini, bank-bank di Jepang secara agresif memberikan pinjaman dengan tanpa memperhatikan kualitas kondisi keuangan peminjam. Lalu, pada tahun 1989, Bank Sentral Jepang menaikkan suku bunga. Hal ini berakibat pada penurunan harga tanah dan piutang tak tertagih (NPL) di bank-bank umum mulai meningkat. 

Berbagai kebijakan fiskal maupun moneter telah dicoba oleh pemerintah Jepang, namun pada kenyataannya dampak dari asset bubble pada tahun 1990-an ini masih dirasakan negeri ini hingga saat ini. Bahkan, pada awal dekade 2000-an, pertumbuhan ekonomi Jepang tercatat hanya naik 1,2% dan menjadi pertumbuhan ekonomi paling lambat dibandingkan dengan negara maju lainnya.

Menurut Yoshino dan Taghizadeh-Hesary (2015), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu:

  1. Sistem perbankan. Setelah secara agresif memberikan pinjaman pada dekade 1980-an, kini bank-bank di Jepang justru enggan memberikan pinjaman ke startup atau UMKM karena diwajibkan memiliki likuiditas cadangan (reserve requirement) sebesar 8%. Akibatnya, perkembangan inovasi di negara ini juga mandeg khususnya untuk pengusaha kecil. 
  2. Kebijakan fiskal yang tidak efektif. Biasanya ketika perekonomian sebuah negara mandeg akan ada stimulus fiskal, seperti pembangunan infrastruktur dan program lainnya. Masalahnya adalah, pada dekade 1990-an, infrastruktur di Jepang sudah bagus. Selain itu, pemerintah juga membangun infrastruktur di desa. 

Meskipun tampak baik, namun pada kasus Jepang hal ini justru salah sasaran sehingga investasi pemerintah tidak kembali. Sederhananya, tentu akan percuma jika pemerintah membangun jalan yang bagus di desa yang sudah ditinggal oleh penduduknya, karena jalan tersebut tidak akan banyak bermanfaat dan digunakan. 

  1. Kondisi demografis. Jepang adalah salah satu negara di dunia yang memiliki angka harapan hidup hingga 85 tahun. Akan tetapi apabila tingginya angka harapan hidup ini tidak diiringi dengan meningkatnya jumlah individu yang baru lahir (fertility rate), maka hal ini dapat menyebabkan masalah demografis yang besar. 

Seperti yang kita ketahui, ketika masuk usia pensiun tentunya orang tidak akan bekerja secara maksimal, tidak suka mengkonsumsi banyak komoditas dan membutuhkan dana pensiun yang dikumpulkan semasa mereka bekerja. Apabila terjadi dalam jumlah besar, populasi yang menua ini bisa menurunkan produktivitas sekaligus konsumsi di sebuah negara dan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk membiayai pensiun masyarakat. 

Hal ini diperparah dengan kondisi Jepang yang memiliki angka kelahiran rendah dan sistem gaji yang didasarkan pada senioritas. Dengan angka kelahiran yang rendah, maka akan semakin sedikit orang Jepang yang bisa bekerja di masa depan dan hasil pekerjaan tersebut bisa digunakan oleh pemerintah untuk membiayai orang-orang tua. 

  1. Ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer. Sama seperti Indonesia, pemerintah pusat Jepang juga memberikan dana transfer ke pemerintah daerah. Namun menurut Yoshino dan Taghizadeh-Hesary dana transfer ini selain membebani APBN Jepang juga membuat ketergantungan pemerintah daerah ke pemerintah pusat menjadi tinggi. 
  2. Penurunan suku bunga acuan tidak mendongkrak investasi. Umumnya ketika suku bunga acuan di sebuah negara rendah, investor akan mencari alternatif investasi baik itu di saham maupun obligasi, sehingga investasi akan terdongkrak. Akan tetapi hal ini tidak terjadi di Jepang. Suku bunga yang mendekati 0 tidak berhasil menaikkan minat investor untuk berinvestasi ke negeri ini. 

Kedua peneliti ini menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan hal ini. Pertama, yaitu produktivitas yang over capacity pada tahun 1980-an. Kedua, gaji tenaga kerja yang terlalu tinggi dan ada negara lain yang menawarkan gaji rendah. Ketiga, banyak perusahaan Jepang yang beroperasi di luar negeri sehingga produksi lokal menurun. Keempat, susahnya pendanaan terhadap UMKM dan Startup yang membuat kedua jenis bisnis ini susah berinovasi. 

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, inti perekonomian Jepang terletak pada sumber daya manusianya. Dengan sumber daya manusia yang memiliki pendidikan dan pelatihan yang tinggi, negara ini berhasil menjadi negara maju. Akan tetapi, SDM juga harus dikelola dengan baik, sebab kerja keras SDM yang tidak dibarengi dengan kehidupan yang seimbang, justru akan menjadikan beban dan menurunkan kondisi perekonomian.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *