Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Sunk Cost? Pengertian, Fallacy, dan Contoh

Sunk cost

Pernahkah Anda mendengar istilah sunk cost? Istilah ini banyak digunakan dalam dunia bisnis, akuntansi dan investasi. Hal ini karena istilah ini secara tidak langsung menggambarkan kemampuan perusahaan untuk dapat beroperasi secara efektif dan efisien. 

Lalu, apa yang dimaksud dengan sunk cost dan apa perbedaannya dengan jenis biaya biasa? Simak ulasan lengkapnya berikut ini:

Pengertian Sunk Cost

Sunk cost adalah istilah yang menggambarkan biaya yang sudah dikeluarkan oleh perusahaan untuk suatu hal, tapi hal yang dibiayai tersebut tidak mendapatkan keuntungan di masa depan, sementara nominal biayanya sudah tidak bisa dirubah.

Misalnya, pada tahun 2006 sebuah perusahaan mengeluarkan biaya sebesar 1 miliar rupiah untuk membangun gedung. Namun alih-alih dapat digunakan untuk operasional dan menambah keuntungan perusahaan, gedung tersebut justru dibiarkan mangkrak tidak terawat. Akibatnya, uang Rp1 miliar tadi masuk ke dalam kategori biaya ini. 

Meskipun terbilang buruk, namun tidak dapat dipungkiri kalau adanya biaya ini dalam sebuah perusahaan seringkali tidak dapat dihindari. Sederhananya, terkadang perusahaan sudah memperhitungkan matang-matang proyek investasi yang dilakukan, akan tetapi karena satu dan lain hal proyek tersebut harus mandeg di tengah jalan, padahal sudah banyak uang yang digelontorkan. 

Jenis-Jenis Sunk Cost

Sunk cost bukan hanya isu yang muncul pada keuangan perusahaan, tetapi juga isu yang sering muncul pada keuangan dan pengambilan keputusan pribadi. Bedanya adalah, pada perusahaan, istilah ini cenderung menyoroti pengeluaran untuk pembelian aset tetap, sementara pada keuangan pribadi, hal ini cenderung pada pengambilan keputusan. 

Aset tetap sebuah perusahaan bisa dikatakan sunk cost apabila aset tersebut tidak dapat dijual kembali sesuai dengan harga aslinya. Misalnya, untuk membangun sebuah gedung, sebuah perusahaan menghabiskan uang 1 miliar rupiah. Namun karena gedung tersebut dibiarkan mangkrak tidak terawat, ketika dijual kembali ia hanya seharga 800 juta rupiah.

Dalam kancah perusahaan, istilah ini juga bisa terjadi ketika sebuah perusahaan telah menandatangani kontrak future untuk membeli barang-barang tertentu, seperti bahan baku dari supplier. Kontrak future adalah perjanjian untuk membeli sejumlah barang pada tanggal tertentu di masa depan dengan harga dan kuota yang telah ditetapkan. 

Biasanya, kontrak ini dilakukan untuk mempermudah perusahaan dalam menyediakan supply bahan baku. Transaksi ini bisa masuk ke dalam sunk cost apabila ternyata perusahaan sebelumnya mengalami over supply bahan baku dan terpaksa harus membeli bahan baku lagi karena adanya kontrak ini. 

Contoh sunk cost dalam kehidupan sehari-hari misalnya, Anda dan pasangan Anda membangun sebuah rumah yang rencananya akan ditempati setelah kalian menikah. Rumah tersebut baru setengah jadi ketika pasangan Anda meninggal mendadak. Maka, biaya untuk membangun rumah tersebut bisa termasuk sunk cost. 

Mengenal Sunk Cost Fallacy

Sunk cost fallacy adalah kesalahan logika yang sering terjadi dalam pengambilan keputusan demi menghindari sunk cost. Biasanya, hal ini terjadi karena perencanaan dan alokasi dana untuk kebutuhan tersebut sudah direncanakan atau sudah dikeluarkan. 

Kesalahan logika ini tidak harus melibatkan uang dan harus terjadi dalam lingkungan bisnis. Kesalahan logika ini bisa terjadi dalam keputusan individu mengenai hal apapun, termasuk kehidupan sehari-hari, investasi, bahkan masalah percintaan. 

Contoh Sunk Cost Fallacy

1. Dalam kehidupan sehari-hari

Salah satu contoh sunk cost fallacy yang paling banyak terjadi adalah ketika Anda membeli tiket untuk menonton sebuah film di bioskop. Baru 10 menit saja Anda menonton film tersebut, Anda tahu kalau film itu jelek. Namun karena Anda sudah terlanjur mengeluarkan uang untuk menontonnya, Anda lantas tetap duduk di dalam studio sampai film berakhir. 

2. Dalam keputusan ekonomi individu

Banyak orang yang memilih untuk membeli barang elektronik baru yang harganya murah, meskipun mereka tahu kalau kualitas barang tersebut kurang baik atau tidak awet. Namun mereka tetap membeli barang tersebut karena takut jika membeli barang baru yang harganya lebih mahal, akan tetap tidak awet juga. 

3. Dalam bisnis

Misalnya, sebuah perusahaan enggan untuk membeli mesin baru seharga Rp100.000 dengan alasan mesin lama masih bisa digunakan. Akibatnya, mesin lama tersebut terus dipakai dan 20 kali masuk bengkel. Setiap kali masuk bengkel, perusahaan harus mengeluarkan uang sebesar Rp10.000. Sekilas nilai ini terlihat lebih murah. Namun kenyataannya kalau dikalikan 20 kali, maka seharusnya lebih murah untuk membeli mesin baru dibandingkan memperbaiki mesin lama.

4. Dalam kehidupan percintaan

Sekali lagi, istilah ini tidak hanya dapat diaplikasikan dalam bisnis, tetapi juga dalam kehidupan percintaan. Contohnya adalah ketika Anda tetap bertahan dengan pasangan Anda hanya karena Anda telah bersamanya sejak 5 tahun lalu, meskipun pada dasarnya hubungan tersebut bersifat toxic. 

5. Dalam kebijakan publik

Salah satu contoh sunk cost fallacy dalam kebijakan publik adalah pengembangan pesawat supersonic Concorde yang dilakukan oleh Inggris dan Prancis pada tahun 1970-an sampai tahun 2003. Di tengah berjalannya pembangunan pesawat tersebut, kedua negara mengetahui kalau proyek ini akan gagal. Namun alih-alih menarik diri dari pembangunan pesawat tersebut, Inggris dan Prancis justru menggelontorkan lebih banyak uang. 

6. Dalam investasi dan trading

Tidak berani melakukan cut loss pada saham atau instrumen investasi lain yang telah mengalami bearish trend selama beberapa waktu adalah contoh sunk cost fallacy dalam dunia trading dan investasi. Sebab, banyak investor yang tidak melakukan cut loss karena “sayang sudah investasi banyak di perusahaan tersebut” dan bukan karena tingginya kepercayaan terhadap kemampuan saham perusahaan tersebut untuk rebound

Penyebab Sunk Cost Fallacy

Adanya kesalahan logika ini umumnya disebabkan oleh faktor-faktor psikologis, seperti:

  1. Takut rugi. Takut adalah sebuah emosi yang kuat. Tidak jarang rasa takut ini membuat orang lebih menghindari kerugian daripada mencari keuntungan, meskipun pada dasarnya nilai kerugian dan keuntungan tersebut sama. 
  2. Bias komitmen. Seseorang bisa saja tetap bertahan pada suatu proyek atau suatu hubungan karena alasan komitmen terhadap rencana yang dibangun sebelumnya meskipun proyek atau hubungan tersebut merugikan.
  3. Takut pemborosan sumber daya. Kesalahan logika ini juga bisa terjadi ketika sebuah perusahaan tetap menjalankan sebuah proyek meskipun proyek tersebut tidak menguntungkan karena takut dicap sebagai perusahaan yang boros sumber daya. 
  4. Alasan personal. Seseorang bisa saja tetap membeli sebuah produk dengan kualitas yang buruk hanya karena keterikatannya secara emosional dengan produk tersebut. 

Cara Menghindari Sunk Cost Fallacy

Umumnya ketika menghadapi sunk cost pada sebuah proyek, seseorang atau sebuah perusahaan diminta untuk tidak melanjutkan proyek tersebut. Namun, sebaiknya perusahaan juga tetap menggunakan data-data proyek tersebut untuk menghindari kejadian yang sama terjadi lagi. Lalu, bagaimana cara menghindari sunk cost fallacy? Berikut ini tipsnya:

  1. Ketahui titik permasalahannya. Dengan menggunakan data proyek yang gagal, Anda bisa mengidentifikasi permasalahan mengapa proyek tersebut masuk ke dalam sunk cost dan memperbaiki masalah tersebut untuk proyek-proyek setelahnya.
  2. Tetap objektif. Dalam memilih keputusan individu maupun perusahaan, Anda dituntut untuk tetap objektif, sehingga dapat melihat kelebihan dan kekurangan dari setiap kesempatan yang ada. 
  3. Percaya pada data. Dalam mengambil keputusan ekonomi, sebaiknya Anda percaya pada data. Data ini bisa berupa hasil evaluasi dari proyek sebelumnya atau bahkan hanya data kompilasi review produk yang Anda kumpulkan sebelum membeli barang tertentu. 

Ubah preferensi risiko. Banyak investor yang membeli saham atau reksa dana saham hanya karena instrumen ini menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi. Investor yang seperti ini biasanya kurang tahu mengenai preferensi risiko mereka pribadi. Akibatnya, ketika harga turun mereka kalang kabut dan dipaksa untuk mengubah preferensi risiko.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *