Lompat ke konten
Daftar Isi

Suspensi Saham: Pengertian, Berapa Lama, Penyebab, Contoh

Suspensi saham

Salah satu tugas Bursa Efek Indonesia sebagai penyelenggara pasar modal Indonesia adalah melakukan kebijakan suspensi saham. Kebijakan ini dilakukan supaya investor tidak membeli saham gorengan atau berinvestasi ke emiten yang memiliki kinerja buruk. 

Beberapa emiten besar seperti, PT Garuda Indonesia dan PT Mahaka Media sempat terkena kebijakan ini. Tapi, apa sebenarnya suspensi saham itu dan bagaimana pengaruhnya terhadap harga saham secara keseluruhan? Mari kita bahas satu per satu. 

Pengertian Suspensi Saham

Suspensi saham adalah kebijakan penghentian kegiatan jual beli saham sebuah perusahaan. Kebijakan mengenai suspensi saham ini diatur dalam Surat Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia nomor Kep-00086/BEI/10-2011.

Dalam peraturan tersebut tertulis bahwasanya kebijakan suspensi saham bisa diterapkan atas permintaan pihak emiten sendiri, sanksi dari BEI atau perintah dari OJK. Pada dasarnya, suspensi BEI hanyalah sanksi tingkat keempat yang diterapkan lembaga tersebut kepada perusahaan setelah peringatan tertulis, denda dan teguran. Jika sebuah perusahaan terkena sanksi suspensi BEI, maka transaksi jual beli saham di perusahaan tersebut akan dibekukan selama beberapa waktu. 

Berapa Lama Suspensi Saham?

Durasi pemberlakuan suspensi BEI ini bermacam-macam mulai dari berhari-hari, berminggu-minggu, sampai sekitar 24 bulan (2 tahun). Lama atau tidaknya suspensi BEI tergantung dengan kemampuan emiten terkait menyelesaikan masalah yang menjadi akar penyebab terjadinya suspensi. 

Semakin cepat perusahaan menyelesaikan masalahnya, maka semakin cepat pula larangan transaksi bisa dicabut. Apabila sebuah emiten gagal menyelesaikan masalahnya dalam 24 bulan tersebut, maka perusahaan tersebut terancam untuk delisting paksa dari bursa.

Penyebab Sebuah Saham Bisa Terkena Suspensi

Sebuah saham bisa terkena suspensi apabila:

1. Unusual Market Activity (UMA)

Penyebab yang pertama adalah ketika BEI mencurigai adanya tindakan jual beli yang tidak wajar dalam sebuah saham. Tindakan jual beli yang tidak wajar ini biasanya ditandai dengan kenaikan harga saham yang tiba-tiba dan tajam selama beberapa waktu tertentu. 

Meskipun saham yang terindikasi UMA belum tentu saham gorengan, namun BEI menerapkan sanksi ini supaya kondisi pasar saham tersebut jadi lebih santai dan wajar kembali. Selain itu, kebijakan ini juga dilakukan supaya investor lebih awas dengan saham yang kenaikan harganya tidak wajar. 

2. Adanya indikasi ketidakwajaran pada laporan keuangan

Penyebab suspensi yang kedua adalah terdapat indikasi ketidakwajaran pada laporan keuangan yang diterbitkan oleh emiten terkait. Indikasi ketidakwajaran ini bisa dilihat dari:

  1.  jumlah ekuitas yang tercatat pada laporan keuangan minus.
  2. Adanya perbedaan antara data pada laporan keuangan dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hal ini bisa terjadi apabila emiten dan kantor jasa akuntan publik yang memeriksa laporan keuangannya bekerja sama.
  3. Opini yang diberikan oleh auditor publik pada laporan keuangan perusahaan tersebut.

BEI akan menerapkan suspensi pada saham perusahaan terkait apabila lembaga ini mendapati perusahaan tersebut mendapatkan opini berikut ini dari akuntan publik:

  1.  Disclaimer (tidak menyatakan pendapat) dan atau adverse (opini audit tidak wajar) selama dua tahun berturut-turut atau 
  2. Opini wajar dengan pengecualian (WDP) selama 3 tahun berturut-turut.

Ketiga opini di atas secara langsung dan tidak langsung mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam pencatatan laporan keuangan perusahaan. 

3. Hal-hal lain yang harus segera diperbaiki oleh emiten terkait

Kebijakan suspensi BEI juga bisa diterapkan kepada sebuah emiten jika BEI menilai bahwa emiten tersebut punya hal yang harus diperbaiki. Hal-hal tersebut seperti, gagal membayar obligasi, terindikasi melakukan penggorengan saham, pelanggaran terhadap aturan BEI, menyalahgunakan dana hasil IPO dan lain sebagainya. 

Contoh Suspensi Saham di Indonesia

Berikut dua contoh saham yang pernah mengalami suspensi:

PT. Garuda Indonesia (GIAA)

Seperti yang telah disebutkan di atas, saham yang dirilis oleh PT Garuda Indonesia adalah salah satu contoh utama dalam penerapan kebijakan suspensi saham dari BEI ini. Perusahaan penerbangan milik negara ini terkena sanksi suspensi BEI sejak 18 Juni tahun 2021 lalu. 

Alasannya adalah Garuda gagal membayar sukuk yang mereka terbitkan. Sebelumnya, perusahaan berkode saham GIAA ini juga pernah terkena suspensi pada tahun 2019. Alasannya adalah karena adanya indikasi ketidakwajaran dalam laporan keuangan tahun 2018 yang mereka terbitkan. 

PT Garuda Indonesia adalah perusahaan penerbangan yang memiliki sejarah panjang di negeri ini. Perusahaan ini tercatat listing di Bursa Efek Indonesia pada 11 Februari 2011 dengan harga saham 750 rupiah per lembar. 

Namun sayangnya, hingga 10 tahun listing di bursa, harga saham perusahaan ini tidak pernah sekalipun melebihi harga IPOnya. Bahkan sebelum terkena sanksi suspensi, harga saham GIAA masih berada di sekitar angka 200 rupiah per lembar. 

Hingga tulisan ini dibuat, BEI belum mencabut sanksi suspensi atas perusahaan ini dan bahkan Desember 2021 lalu BEI menyatakan ancaman delisting bagi Garuda jika pada Juni 2023 perusahaan ini belum juga menyelesaikan masalahnya. 

PT DCI Indonesia Tbk (DCII)

Salah satu perusahaan yang terkena suspensi BEI cukup lama adalah PT DCI Indonesia (DCII). Tercatat saham yang listing di BEI sejak tahun 2011 ini terkena suspensi BEI sejak 17 Juni 2021 sampai 10 Agustus 2021. 

BEI menutup sementara perdagangan saham ini karena menilai adanya unusual market activity. Hal ini mengingat bahwasanya harga saham perusahaan penyedia jasa hosting ini terus meningkat dari awal tahun 2021.

Puncaknya, kenaikan harga saham perusahaan ini mencapai 414% dari 11.475 per lembar pada tanggal 28 Mei 2021 menjadi 59.000 per lembar pada tanggal 16 Juni. Padahal pada awal tahun 2021, saham DCII dijual dengan harga hanya 800-an rupiah per lembar.

Hal ini menyebabkan perusahaan ini langsung meroket menjadi salah satu perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar dengan nilai lebih dari 140 triliun rupiah. Pasca dibuka kembali pada 10 Agustus lalu, harga saham perusahaan ini memang mengalami fluktuasi. 

Namun penurunan harga saham DCII masih belum menyentuh harga semula (sebelum 28 Mei). Per 24 Januari 2022, saham PT DCI Indonesia Tbk ini dijual dengan harga 43.800 per lembar dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar 104,4 triliun rupiah. 

Beberapa ahli menyebutkan bahwa fenomena kenaikan harga saham DCII ini adalah anomali dalam pasar modal Indonesia dan anomali ini akan sulit ditiru oleh perusahaan lainnya.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *