Benjamin Graham dan muridnya, Warren Buffett mengajarkan bahwa sebaiknya memilih saham yang undervalue, yaitu saham perusahaan yang sebenarnya memiliki kinerja bagus tapi masih belum banyak dilirik oleh investor. Akibatnya, ketika Anda berinvestasi di saham tersebut, potensi nominal keuntungan yang bisa Anda peroleh akan semakin besar.
Masalahnya adalah, bagaimana cara untuk menentukan saham mana yang sedang dalam kondisi undervalue? Untuk membantu investor, dalam beberapa dekade terakhir ini para ekonom dan ahli statistik telah mengembangkan berbagai rumus yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah saham sebuah perusahaan sedang mengalami undervalue atau overvalue. Salah satu diantaranya adalah Tobin’s Q atau Q ratio
Pengertian Tobin’s Q (Q Ratio)
Tobin’s Q adalah rasio perbandingan antara jumlah nilai pasar aktiva perusahaan dengan biaya pengganti aktiva tersebut (replacement cost). Nama lain dari teori ini adalah Q ratio. Adapun yang dimaksud dengan replacement cost adalah biaya yang dibutuhkan untuk mengganti aset yang ada dengan harga pasar aset tersebut.
Misalnya untuk membeli flashdisk 16 GB saat ini Anda membutuhkan biaya sebesar Rp50.000, meskipun beberapa tahun lalu Anda membelinya dengan harga Rp100.000. Dalam kasus ini, menentukan replacement cost sangat mudah karena adanya harga pasar tertentu yang bisa digunakan, namun dalam beberapa kasus, menentukan hal ini akan susah karena satu dan lain hal.
Meskipun teori ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang ekonom asal Amerika Serikat bernama James Tobin pada tahun 1970, namun teori ini pertama kali diperkenalkan oleh NIcholas Kaldor pada tahun 1966.
Rumus Tobin’s Q
Rumus persamaan ini cukup sederhana, yaitu:
- Tobin’s Q= Total nilai pasar perusahaan tersebut: Total nilai aset perusahaan
Namun karena sulitnya memperkirakan nilai total aset perusahaan dengan benar (mengingat banyak aset yang terdepresiasi dan mengalami amortisasi), maka para ahli seringkali menggunakan rumus pengganti, yaitu:
- Tobin’s Q= (Nilai pasar ekuitas perusahaan + Nilai pasar utang atau obligasi perusahaan): (Nilai buku ekuitas perusahaan + nilai buku utang atau obligasi perusahaan)
Tidak jarang juga para ahli mengasumsikan bahwa nilai buku dan nilai pasar utang atau liabilitas perusahaan adalah sama, sehingga rumus di atas dapat dimodifikasi lagi menjadi:
- Tobin’s Q= Nilai pasar ekuitas perusahaan : Nilai buku ekuitas perusahaan
Bagi perusahaan publik, variabel nilai pasar ekuitas perusahaan dapat diperoleh dengan mengalikan harga saham perusahaan tersebut dengan jumlahnya yang beredar di pasaran.
Cara Menghitung Tobin’s Q
Berikut ini cara sederhana untuk menghitung Q ratio:
- Hitung nilai kapitalisasi pasar perusahaan tersebut. Caranya adalah dengan mengalikan harga saham perusahaan dengan jumlah saham perusahaan tersebut yang beredar di pasaran. Nilai ini kemudian dimasukkan ke dalam variabel nilai pasar ekuitas perusahaan.
- Cek nilai total aset perusahaan di laporan keuangan. Variabel ini untuk menghitung nilai buku ekuitas perusahaan tersebut. Ini artinya, Anda akan menggunakan rumus yang pertama.
- Bagi nilai kapitalisasi pasar perusahaan dengan nilai total aset perusahaan tersebut.
Contoh:
Sebuah perusahaan memiliki total aset sebesar 80 miliar rupiah dan memiliki 10 juta lembar saham yang dijual dengan harga sebesar Rp1.000 per lembar. Maka, nilai Tobin’s Q perusahaan tersebut adalah:
Tobin’s Q= Total nilai pasar perusahaan tersebut: Total nilai aset perusahaan
Tobin’s Q= (1.000 x 10.000.000) : 80.000.000.000
Tobin’s Q= 10.000.000.000 : 80.000.000.000
Tobin’s Q= 0,0125
Ini artinya, saham perusahaan tersebut sedang dalam fase undervalue.
Berapa Nilai Tobin’s Q Yang Baik?
Q ratio dikatakan rendah apabila hasilnya berkisar antara 0-1, dan dikatakan tinggi apabila lebih dari 1. Nilai Tobin’s Q yang rendah mengindikasikan kalau nilai pasar aktiva perusahaan lebih rendah dibandingkan dengan nilai replacement cost-nya.
Ini artinya, nilai perusahaan tersebut undervalued. Sebaliknya kalau nilai Q ratio tinggi, maka nilai pasar aktiva perusahaan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan nilai penggantinya, sehingga nilainya overvalue.
Dari logika tersebut, mungkin terbersit dalam benak Anda bahwa nilai Tobin’s Q yang sama dengan 1 adalah nilai terbaik. Karena nilai pasar dan nilai buku ekuitas perusahaan tersebut setara. Padahal, jarang sekali terjadi kondisi dalam sebuah bisnis atau bahkan negara yang mengalami hal tersebut.
Data Q ratio Amerika Serikat dari tahun 1945-1955 misalnya tidak pernah menyentuh angka 1. Setelah itu, nilai rasio Q di negara ini malah tembus angka 2 kecuali pada tahun 2009, yaitu ketika negara ini terkena krisis finansial.
Kekurangan Tobin’s Q
Meskipun kelebihan rasio ini adalah menggunakan total aset perusahaan secara keseluruhan tidak seperti matriks keuangan lainnya, namun bukan berarti Tobin’s Q tidak memiliki kekurangan. Kelemahan rasio ini adalah:
- Replacement cost yang susah dihitung. Seperti yang telah disebutkan di atas, replacement cost mencakup seluruh aset perusahaan, termasuk aset yang tidak tampak, seperti hak cipta. Oleh sebab itu, variabel yang satu ini relatif susah untuk dihitung.
- Dalam sejarahnya, rasio ini pernah gagal dalam memprediksi keuntungan investasi secara akurat. Rasio ini disebut-sebut cukup akurat untuk memperhitungkan kondisi investasi di Amerika Serikat sepanjang tahun 1970-an. Namun, Q ratio gagal untuk memprediksi outcomes investasi di negara ini pada akhir dekade tersebut.
Selain itu, pada zaman modern ini, harga saham sebuah perusahaan dapat berubah dalam hitungan menit atau bahkan detik saja. Oleh sebab itu, memperkirakan kondisi under atau overvalue sebuah perusahaan hanya berdasarkan penghitungan Tobin’s Q dalam satu waktu tentu tidak akan komprehensif. Bagi para trader, indikator yang satu ini juga terbilang kurang cocok, mengingat mereka memanfaatkan perubahan harga saham dalam jangka waktu yang sangat pendek ini.
Menentukan kondisi saham sebuah perusahaan apakah under atau over value memang membutuhkan analisis yang komprehensif. Tidak hanya Tobin’s Q, untuk menentukan kualitas saham berdasarkan nilainya, investor juga dituntut untuk menggunakan indikator lain, seperti Price to Earning Ratio (PER) dan Price Earning to Growth Ratio (PEG ratio) selama beberapa periode serta pengamatan bisnis yang mendalam.