Apa Itu Value Investing?
Value investing adalah strategi menanamkan modal pada saham-saham yang dihargai di bawah nilai intrinsiknya (undervalued).
Banyak investor yang memanfaatkan strategi ini ketika harga saham diremehkan oleh pasar. Mereka berpendapat bahwa pergerakan harga saham yang tidak sesuai dengan fundamental jangka panjang perusahaan sering kali memicu reaksi berlebihan dari pasar saham.
Dalam hal ini, investor melihat reaksi berlebihan tersebut sebagai kesempatan untuk membeli saham dengan harga rendah dan menjualnya kembali untuk mendapatkan keuntungan di masa depan.
Salah satu tokoh terkenal yang melakukan value investing adalah Warren Buffett, yang juga dipengaruhi oleh guru investasi Benjamin Graham.
Cara Kerja Value Investing
Value investing saham memiliki konsep dasar yang sederhana, yaitu dengan mengetahui nilai sebenarnya dari saham, Anda dapat menghemat anggaran dalam jumlah besar dengan membeli saham saat harga sedang ‘diobral’ atau lebih rendah dari nilai intrinsiknya.
Anda bisa melakukan perhitungan nilai intrinsik saham dan memastikan apakah emiten tersebut diperdagangkan di bawah nilai intrinsiknya.
Misalnya, ketika membeli laptop yang didiskon, pembeli cerdas menikmati kualitas yang sama dengan harga normal. Saham bekerja dengan cara yang sama, di mana harga saham perusahaan dapat berfluktuasi meskipun nilai perusahaan tetap sama. Namun, nilai investasi tetaplah sama.
Investor value investing diibaratkan sebagai pembeli cerdas yang tidak membeli laptop dengan harga normal karena akan mengalami penurunan nilai dalam beberapa tahun ke depan. Mereka juga percaya bahwa saham dapat mengalami penurunan nilai yang sama.
Meskipun tidak dapat diprediksi seperti program Waktu Indonesia Belanja atau obral barang elektronik, saham tetaplah tidak dapat dijual dengan harga yang diiklankan. Oleh karena itu, value investing menjadi proses yang memerlukan usaha, di mana investor cerdas harus mencari sendiri rahasia dari berbagai saham yang dihargai rendah oleh pasar saham.
Investor tersebut yakin bahwa pengejaran saham murah akan mengembalikan modal investasi mereka dengan hasil yang memuaskan. Perlu diingat bahwa value investing pertama kali dikembangkan oleh Benjamin Graham dan David Dodd pada tahun 1934, tetapi menjadi populer setelah Graham menulis tentangnya dalam bukunya yang berjudul The Intelligent Investor (1949).
Di Indonesia, value investing dipopulerkan oleh Teguh Hidayat dan Rivan Kurniawan.
Hubungan Nilai Intrinsik dan Value Investing
Dalam istilah investasi, nilai saham yang murah atau diobral adalah saat saham tersebut dianggap diremehkan oleh pasar (undervalued). Para value investor berharap dapat mencari keuntungan dari saham yang mereka anggap sangat murah tersebut.
Para investor tersebut menggunakan berbagai macam metrik dalam upaya mereka mencari nilai intrinsik dari saham tersebut.
Nilai intrinsik adalah kombinasi penggunaan analisa keuangan, seperti mempelajari performa keuangan perusahaan, keuntungan, pendapatan, kas masuk dan profit serta beberapa faktor fundamental lainnya seperti citra perusahaan, bentuk bisnis, target pasar dan sisi kompetitifnya.
Beberapa metrik yang digunakan untuk memberi penilaian saham perusahaan termasuk:
Price-To-Book (P/B) Atau Book Value
Indikator PBV mengukur nilai aset perusahaan serta membandingkannya dengan harga saham. Jika harga saham lebih rendah dibandingkan nilai asetnya, maka saham tersebut dianggap rendah, meskipun perusahaan tersebut sedang tidak berada pada kondisi keuangan yang buruk.
Price-To-Earnings (PER)
Indikator PE Ratio mengukur bagaimana rekam jejak pendapatan perusahaan untuk menentukan apakah harga saham tidak merefleksikan semua pendapatan, atau saham yang dianggap berharga rendah.
Arus Kas Bebas (Free Cash Flow)
Indikator free cash flow digunakan dengan mengacu pada uang kas yang didapatkan dari pendapatan atau kegiatan operasional perusahaan, setelah dipotong dari biaya-biaya yang sudah dikeluarkan.
Arus kas bebas adalah uang yang tersisa setelah perusahaan melakukan pengeluaran untuk kegiatan operasional, pembelian jumlah besar yang disebut capital expenditures (pembelian aset seperti peralatan besar atau mengembangkan pabrik).
Jika sebuah perusahaan telah menerapkan arus kas bebas, maka perusahaan tersebut memiliki sisa uang untuk diinvestasikan, membayar hutang, membayar dividen, atau memberi bonus kepada para pemegang saham lain, dan juga melakukan buyback saham.
Tentu saja, masih banyak metrik lain yang dapat dipergunakan untuk analisis ini. Analisa tersebut adalah analisa hutang, ekuitas, penjualan dan pertumbuhan pendapatan.
Setelah melakukan analisa melalui metric ini, para value investor dapat memutuskan untuk pembelian saham dengan perbandingan nilai. Perbandingan yang dilakukan adalah antara harga saham saat ini dibandingkan dengan nilai intrinsik perusahaan tersebut. Jika perbandingan ini dirasa menarik, maka investor akan langsung membelinya.
Margin Keamanan (Margin of Safety)
Investor value pastinya ingin memiliki ruang untuk salah saat mereka mengestimasi harga saham. Karena itulah, mereka sering mengatur ‘margin of safety’, berdasarkan toleransi risiko secara khusus.
Prinsip margin of safety, sebagai salah satu kunci untuk berinvestasi secara sukses, berdasar pada prinsip yaitu membeli saham dengan harga murah dapat memberikannya kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh profit, saat investor menjualnya kembali.
Margin of safety juga menjamin bahwa investor tidak kehilangan banyak uang, jika saham tersebut tidak memberikan hasil yang diharapkan sebelumnya.
Investor value juga menggunakan interpretasi yang sama. Jika saham seharga Rp1.000.000 dan dia membelinya dengan harga Rp700.000, maka ia akan untung Rp300.000, hanya dengan menunggu harga stok mencapai Rp1.000.000 untuk true value yang dimilikinya.
Investor berharap bahwa perusahaan dapat bertumbuh dan memiliki kans untuk memiliki saham dengan harga lebih tinggi. Karena itulah, investor juga memiliki kesempatan untuk mendapatkan uang. Jika harga saham naik menjadi Rp1.200.000, maka investor dapat meraih keuntungan Rp500.000, karena sebelumnya ia membeli saham yang sedang diobral atau turun harga. Tetapi, jika sebelumnya investor tersebut membeli seharga Rp1.000.000, maka investor hanya mendapatkan profit sebesar Rp200.000.
Benjamin Graham, pioner value investing saham, hanya membeli saham yang memiliki harga dua per tiga atau kurang dari harga intrinsiknya. Langkah ini adalah bentuk margin of safety yang menurutnya sangat jitu untuk memperoleh keuntungan investasi, meski dengan jumlah investasi yang sangat minim dan dengan risiko yang sangat kecil.
Hipotesis Pasar Efisien
Value investors tidak percaya akan validitas hipotesis pasar efisien. Hipotesis ini menyatakan bahwa harga saham sebuah perusahaan sudah cukup memberikan informasi lengkap akan profil keuangan perusahaan. Padahal, penganut value investing meyakini bahwa saham dapat memiliki penurunan harga karena beberapa alasan.
Semisal, saham dapat mengalami penurunan harga karena faktor krisis ekonomi. Jika krisis ekonomi terjadi, para investor yang panik akan menjual saham mereka secara besar-besaran. Atau, harga saham bisa membumbung tinggi karena investor terlalu gembira karena adanya teknologi baru yang belum terbukti.
Bias psikologis dapat mendorong kenaikan atau penurunan harga saham berdasarkan berita terkini, seperti adanya penurunan pendapatan yang tidak terduga, penarikan produk, atau litigasi. Saham juga dapat dinilai rendah karena diperdagangkan di ‘bawah tangan’ dimana hal ini berarti saham tidak terpublikasi oleh analis ekonomi dan media massa.
Jangan Ikut-ikutan!
Value investor memiliki karakter oposisi, dimana mereka tidak ikut-ikutan analisa pasar saham terkini. Mereka tidak hanya menolak hipotesis pasar efisien, tetapi juga mereka kerap melakukan penjualan saham atau menahan saham apabila investor lainnya sedang ramai membeli saham. Saat investor umumnya menjual saham, value investor justru melakukan pembelian atau penahanan saham.
Value investor tidak akan mau membeli saham yang tengah populer karena pasti sangat mahal. Namun, mereka memilih untuk berinvestasi membeli saham perusahaan yang tidak ternama, namun memiliki keuangan stabil.
Para investor ini juga mempertimbangkan saham dari perusahaan tidak ternama, bahkan saat harga saham-saham tersebut anjlok. Para investor ini yakin bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dapat pulih dari kemunduran finansial, jika fundamental mereka tetap kuat, serta memiliki produk dan layanan yang masih berkualitas.
Value investor hanya mempertimbangkan nilai intrinsik saham dan membeli saham tersebut apa adanya. Para investor ini hanya berpikir tentang persentase kepemilikan di sebuah perusahaan. Mereka biasanya memilih perusahaan yang mereka yakini memiliki prinsip kuat serta keuangan sehat, terlepas dari apa yang dikatakan atau dilakukan investor pada umumnya.
Ketekunan dan Kesabaran: Senjata Dalam Value Investing
Menghitung nilai intrinsik murni dari saham tidak sekedar membutuhkan analisa finansial, tetapi juga subyektifitas yang tidak berat sebelah. Hal ini berarti bahwa estimasi ini lebih condong pada insting dibandingkan dengan penghitungan ilmiah. Dua investor yang berbeda dapat menganalisa nilai data yang sama persis dari sebuah perusahaan, dan memiliki pendapat yang berbeda.
Beberapa investor yang hanya melihat kondisi finansial terkini tidak mempercayai estimasi pertumbuhan di masa mendatang. Sedangkan beberapa value investor justru hanya berfokus pada potensi pertumbuhan perusahaan di masa mendatang, atau estimasi arus kas perusahaan tersebut. Atau bahkan melakukan penilaian berdasarkan kedua faktor tersebut.
Value investor ternama seperti Warren Buffett dan Bill Ackman dikenal dengan analisa jitu laporan keuangan serta menganalisa peningkatan penilaian untuk mengidentifikasi kasus-kasus di mana pasar telah salah menilai saham.
Terlepas dari pendekatan yang berbeda, logika yang mendasari penilaian investasi adalah membeli aset dengan harga di bawah nilainya saat ini. Kemudian investor memegang aset tersebut untuk jangka panjang serta mendapatkan keuntungan ketika aset tersebut kembali ke nilai intrinsik atau bahkan di atasnya. Tetapi, keuntungan ini tidak terjadi begitu cepat.
Investor tidak bisa berharap membeli saham seharga Rp200.000 pada hari Rabu dan menjualnya seharga $400.000 pada hari Jumat. Sebaliknya, investor harus menunggu bertahun-tahun sebelum investasi saham mereka membuahkan hasil. Bisa jadi, investor berisiko akan kehilangan uang.
Namun, kabar baiknya adalah sebagian besar investor dapat menikmati keuntungan modal jangka panjang yang dikenakan pajak pada tingkat yang lebih rendah, dibandingkan keuntungan investasi jangka pendek.
Seperti halnya semua strategi investasi, investor harus tekun dan sabar untuk berpegang pada filosofi investasi. Beberapa saham yang ingin dibeli mungkin saja sedang sangat mahal, karena perusahaannya sedang memiliki keuangan yang kuat. Tetapi, bisa jadi investor harus menyimpan dulu uang mereka, hingga ada peluang yang lebih menarik, dibandingkan membeli saham-saham mahal tersebut.
Benjamin Graham, pakar value investing menyatakan bahwa saham yang dianggap rendah memiliki harga paling tidak sepertiga di bawah nilai intrinsiknya.
Mengapa Saham Dihargai Murah
Jika Anda tidak mempercayai hipotesis market efisien, maka Anda dapat mengidentifikasi alasan mengapa saham diperdagangkan di bawah nilai intrinsik. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan harga saham turun adalah sebagai berikut:
1. Pergerakan pasar saham dan mental ikut-ikutan
Kerap terjadi dimana investor tidak melakukan investasi secara rasional. Hal ini dikarenakan adanya bias psikologi, dibandingkan dengan dasar penting dari pasar saham. Saat ada harga saham yang sedang naik di pasar saham, maka mereka ikut-ikutan membeli.
Mereka beranggapan bahwa jika mereka telah berinvestasi 12 pekan lalu, mereka akan dapat meraih keuntungan 15% saat ini. Dan mereka sangat khawatir jika hal ini tidak terjadi.
Sebaliknya, jika harga saham sedang anjlok, atau keseluruhan pasar saham sedang mengalami penurunan, maka fenomena yang terjadi adalah penjualan saham besar-besaran. Alih-alih menyimpan kerugian mereka dan menunggu pasar saham berubah, mereka terpaksa menerima kerugian dengan menjual saham.
Perilaku investor seperti ini sangat masif sehingga mempengaruhi harga saham individu, serta memperburuk pergerakan pasar ke atas dan ke bawah. Hal inilah yang menyebabkan pergerakan berlebihan.
2. Musiman
Perlu diketahui bahwa tidak ada perusahaan yang aman dari fluktuasi perekonomian yang naik turun, baik musiman, tahunan ataupun daya beli konsumen. Semua ini dapat mempengaruhi tingkat keuntungan dan harga saham perusahaan. Tetapi, hal ini tidak mempengaruhi nilai perusahaan dalam jangka panjang.
3. Saham yang “tidak keren”
Perhatikan apa yang Anda dengar di berita tentang pasar saham. Anda mungkin menemukan peluang investasi yang sangat bagus untuk saham-saham yang undervalued. Bisa jadi, berita ini tidak muncul pada pemantauan mereka yang berkapitalisasi kecil atau saham asing.
Sebagian besar investor menginginkan nilai saham besar dari perusahaan di bidang teknologi yang baru berdiri, dibandingkan saham dari produsen lama yang bergerak di bidang produksi barang-barang yang digunakan harian.
Contohnya, saham BBCA atau ANTM jauh lebih diminati dibandingkan saham konglomerat kelas kakap seperti UNVR atau INDF.
4. Market crash
Market crash terjadi saat pasar saham mengalami penurunan dan pasti terjadi bubble. Namun, karena level anjlok tidak dapat tidak dapat diprediksi, maka para investor langsung panik dan melakukan penjualan secara masif. Hal ini juga pernah terjadi di tahun 2008 saat terjadi bubble properti.
5. Kabar negatif
Bahkan perusahaan dengan finansial solid pun dapat menghadapi kemunduran, seperti litigasi dan penarikan barang. Namun, jika sebuah perusahaan mengalami satu peristiwa negative, bukan berarti bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki nilai fundamental atau sahamnya tidak akan bangkit kembali.
Dalam banyak kasus, ada beberapa segmen atau divisi yang mempengaruhi profitabilitas perusahaan. Tapi hal ini bisa berubah jika perusahaan memutuskan untuk melepas atau menutup bisnis mereka.
Analis tak punya rekam jejak bagus dalam memprediksi masa depan. Investor yang panik menjual sahamnya ketika pendapatan sebuah perusahaan lebih rendah dibandingkan ekspektasi analis.
Namun, value investor dapat mendeteksi apa yang menyebabkan penurunan serta menampik berita negatif tersebut dan membeli saham dengan diskon yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena mereka dapat mengenali nilai jangka panjang perusahaan.
Strategi Value Investing
Cara paling tepat dalam value investing untuk membeli saham harga rendah adalah dengan melakukan penelitian kepada perusahaan, serta membuat keputusan yang masuk akal. Pahami bedanya investasi dan spekulasi agar Anda tidak secara tidak sadar menjadi spekulan.
Salah satu value investor ternama, Christopher H. Browne merekomendasikan investor untuk menanyakan kepada perusahaan, apakah perusahaan tersebut berniat meningkatkan pendapatan melalui metode-metode berikut ini:
- Menaikkan harga pada produk yang dihasilkan
- Meningkatkan skema penjualan
- Mengurangi pengeluaran
- Menutup divisi yang tidak menguntungkan
Browne juga menyarankan pelaku value investing untuk melakukan penelitian kepada kompetitor perusahaan tersebut, demi mengevaluasi prospek kemajuan di masa mendatang. Namun, kesimpulan dari semua penelitian tersebut biasanya spekulatif, tanpa adanya data numerik yang mendukung.
Dengan kata lain, tidak ada program piranti lunak yang tersedia untuk dapat menyimpulkan hasil penelitian secara akurat. Hal ini tentu membuat penilaian investasi saham menjadi seperti penilaian tebak-tebakan.
Karena alasan inilah Warren Buffett merekomendasikan para value investor untuk menginvestasikan saham pada industri dimana investor bekerja, atau saham perusahaan barang yang sering dipergunakan seperti mobil, pakaian, peralatan rumah tangga dan makanan.
Satu hal yang dapat dilakukan investor adalah memilih saham perusahaan yang memiliki barang dan jasa yang memiliki tingkat permintaan tinggi. Meski sulit untuk memprediksi kapan produk baru dan inovatif dapat merangkul pasar saham, tetapi cukup mudah untuk menentukan seberapa lama sebuah perusahaan mengembangkan bisnisnya, sekaligus mempelajari bagaimana perusahaan tersebut beradaptasi akan tantangan dari waktu ke waktu.
1. Insider trading atau ‘pemain dalam’
Biasanya, mereka yang memiliki posisi sebagai manajer, direktur senior perusahaan dan posisi penting lainnya serta pemegang saham memiliki setidaknya 10% dari saham sebuah perusahaan.
Manajer dan direktur perusahaan memiliki pengetahuan khusus tentang perusahaan dimana mereka terlibat. Jadi jika mereka membeli saham perusahaan tersebut, tentu masuk akal untuk mengasumsikan bahwa perusahaan tersebut bisa jadi memiliki prospek menguntungkan.
Sama halnya dengan investor. Mereka yang memiliki setidaknya 10% saham perusahaan tidak akan membeli terlalu banyak jika mereka tidak melihat potensi keuntungan.
Penjualan saham yang dilakukan oleh insider atau orang dalam tidak selalu mengindikasikan adanya hal negatif tentang keuangan perusahaan. Bisa jadi para insider tersebut hanya membutuhkan dana tambahan untuk alasan pribadi, bukan karena adanya permainan insider trading.
Namun demikian, jika penjualan secara masif dilakukan oleh orang dalam, situasi seperti ini bisa jadi memerlukan analisis mendalam lebih lanjut, tentang alasan di balik penjualan masif. Penjualan secara masif tersebut bisa menjadi indikator negatif dalam value investing.
2. Analisis laporan penghasilan
Value investor harus dapat melihat keuangan perusahaan untuk melihat bagaimana kinerjanya serta membandingkannya dengan industri yang bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Hal ini dilakukan dengan membaca laporan keuangan yang menyajikan hasil kinerja tahunan dan triwulanan perusahaan.
Perusahaan harus mengajukan laporan ini kepada badan keamanan di Bursa Efek. Laporan ini dapat ditemukan di situs resmi mereka. Calon investor dapat banyak belajar dari laporan tahunan perusahaan, yang akan menjelaskan produk dan layanan yang ditawarkan, serta ke mana tujuan perusahaan.
3. Analisis laporan keuangan
Semua pelaku value investing harus tahu bahwa laporan keuangan berpengaruh pada harga saham.
Neraca perusahaan dapat menunjukkan gambaran jelas tentang kondisi keuangan sebuah perusahaan. Neraca terdiri dari dua bagian, yakni daftar aset perusahaan dan juga daftar kewajiban serta ekuitasnya. Daftar aset terdiri dari kas besar dan kas ekuivalen perusahaan, investasi, piutang atau uang yang terhutang dari pelanggan, inventory, dan aset tidak bergerak seperti pabrik dan peralatan.
Daftar kewajiban (liabilities) mencantumkan hutang perusahaan dan kewajiban yang masih harus dibayar baik hutang jangka pendek maupun dan hutang jangka panjang.
Bagian ekuitas pemegang saham menunjukkan jumlah total uang yang diinvestasikan di perusahaan, jumlah saham yang beredar, serta jumlah perusahaan yang memiliki laba ditahan. Saldo laba ini yakni jenis rekening tabungan di mana menyimpan keuntungan kumulatif yang diperoleh dari perusahaan. Laba ditahan digunakan untuk membayar dividen dan dianggap sebagai indikator bahwa perusahaan tersebut memiliki keuangan sehat serta menguntungkan.
Laporan pemasukan menunjukkan jumlah pemasukan yang didapatkan, pengeluaran perusahaan, serta keuntungan. Investor dapat menentukan nilai perusahaan apabila ia melihat laporan pemasukan tahunan, dibandingkan laporan pemasukan triwulanan. Hal ini dikarenakan banyak perusahaan yang mengalami fluktuasi dalam volume penjualan sepanjang tahun.
Banyak penelitian menemukan fakta bahwa nilai saham lebih unggul dibandingkan dengan saham pertumbuhan serta saham di pasar secara keseluruhan, dalam jangka panjang.
Value Investing Pasif
Menjadi value investor tanpa membaca laporan keuangan memang dapat dilakukan. Value investing pasif merupakan strategi pasif dengan membeli dan menahan saham yang sudah dianalisa oleh ahli investasi lain seperti reksa dana tertentu.
Dalam kasus value investing, reksa dana tersebut adalah reksa dana yang membeli saham value, atau melacak pergerakan investor terkenal seperti Warren Buffet. Investor dapat membeli saham perusahaan induknya, Berkshire Hathaway, yang memiliki atau mempunyai bunga di lusinan perusahaan yang telah diteliti dan dievaluasi oleh timnya.
Risiko Value Investing
Sama halnya dengan strategi investasi lainnya, pasti ada risiko kehilangan dana dalam value investing saham, terlepas dari strategi yang berisiko rendah atau tinggi. Berikut adalah risiko yang mungkin terjadi, dan mengapa kerugian dapat terjadi.
1. Membeli saham overvalued atau terlalu tinggi
Pembelian saham overvalued atau nilai lebih tinggi adalah risiko utama dari para value investor. Investor tersebut dapat berisiko kehilangan sebagian atau seluruh uang mereka jika Anda membeli dengan harga lebih tinggi.
Hal yang sama berlaku jika investor membeli saham yang mendekati nilai pasar yang wajar. Membeli saham yang nilainya terlalu rendah berarti risiko kehilangan uang dari investor berkurang, bahkan ketika perusahaan sedang tidak dalam kondisi bagus.
Patut diingat bahwa salah satu prinsip dasar value investing adalah membuat margin of safety ke dalam semua investasi. Hal ini berarti membeli saham dengan harga sekitar dua pertiga atau kurang dari nilai intrinsiknya. Value investor ingin mengambil risiko sesedikit mungkin untuk aset yang berpotensi dinilai terlalu tinggi. Sehingga mereka mencoba untuk tidak membayar lebih untuk investasi.
2. Pentingnya angka yang akurat
Banyak investor mempelajari laporan keuangan perusahaan sebelum berinvestasi. Jadi, jika Anda mengandalkan analisis Anda sendiri, pastikan Anda memiliki informasi terbaru tentang pergerakan saham, serta Anda harus memiliki hitungan akurat. Jika tidak, Anda mungkin salah berinvestasi, atau kehilangan peluang investasi menguntungkan.
Jika Anda belum yakin dengan kemampuan Anda untuk membaca dan menganalisis laporan keuangan, terus pelajari subjek ini dan jangan melakukan perdagangan apa pun sampai Anda benar-benar siap.
Salah satu strateginya adalah membaca catatan kaki. Catatan kaki selalu ada dalam tabel 10-K atau 10-Q yang menjelaskan laporan keuangan perusahaan secara rinci. Catatan kaki menyesuaikan dengan laporan keuangan, serta menjelaskan metode akuntansi perusahaan, serta menguraikan hasil yang dilaporkan. Jika catatan kaki tidak dapat dipahami atau informasi yang disajikan tampaknya tidak masuk akal, Anda mungkin lebih baik untuk tidak membeli saham perusahaan tersebut.
3. Tidak memperhitungkan kelemahan analisis rasio
Di awal tulisan, telah disebutkan cara penghitungan rasio finansial yang membantu investor untuk mendiagnosa keuangan perusahaan. Namun, cara tersebut bukanlah satu-satunya cara untuk menentukan rasio finansial.
Berikut adalah faktor yang mempengaruhi bagaimana analisis rasio:
- Rasio dapat ditentukan menggunakan angka sebelum atau sesudah pajak
- Beberapa rasio tidak memberi hasil akurat, hanya estimasi.
- Earning per Share atau EPS perusahaan dapat berbeda-beda, tergantung bagaimana perusahaan mendefinisikan pendapatan.
- Perbandingan antara perusahaan yang berbeda menggunakan rasio bisa menyulitkan, meskipun investor menggunakan rasio yang sama. Hal ini dikarenakan banyak perusahaan memiliki praktik akuntansi yang berbeda.
- Tidak melakukan diversifikasi
Berinvestasi pada saham individu merupakan strategi berisiko tinggi. Sebaliknya, kita selalu mendapatkan saran untuk berinvestasi di berbagai saham perusahaan, atau indeks saham, sehingga kita memiliki eksposur ke berbagai perusahaan serta beberapa sektor ekonomi.
Namun, beberapa value investor percaya bahwa Anda dapat memiliki portofolio yang terdiversifikasi, meskipun Anda hanya memiliki sedikit saham. Hal ini berlaku apabila Anda memilih saham yang mewakili industri serta sektor ekonomi berbeda. Christopher H. Browne, seorang value investor serta pakar investasi, merekomendasikan investor untuk memiliki minimal 10 saham. Hal ini diungkapkan dalam buku value investing berjudul “Little Book of Value Investing.”
Menurut Benjamin Graham, Anda harus memilih 10 sampai 30 saham jika Anda ingin mendiversifikasi kepemilikan Anda.
4. Kerugian tidak terduga
Dalam laporan pemasukan perusahaan, pasti ada catatan tidak terduga. Biasanya, hal ini terjadi di luar kontrol perusahaan, dan dapat disebut sebagai pengeluaran tak terduga. Contoh dari pengeluaran tak terduga ini termasuk gugatan konsumen, restrukturisasi atau bahkan bencana alam. Jika Anda tidak menyertakan hal ini saat menganalisa harga saham, Anda mungkin dapat mempelajari bagaimana performa perusahaan di waktu yang akan datang.
Namun demikian, Anda perlu berpikir kritis tentang kerugian tak terduga ini, dengan menggunakan penilaian Anda. Jika sebuah perusahaan memiliki pola dengan melaporkan kerugian tak terduga yang sama dari tahun ke tahun, mungkin hal ini tidak terlalu luar biasa. Jika terjadi kerugian tak terduga setiap tahun, hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut memiliki masalah finansial. Seharusnya, hal tak terduga tidak boleh terjadi secara terus menerus. Anda pun harus berhati-hati dengan pola penghapusan upaya tagih secara perdata atas piutang perusahaan.
Para pakar lainnya, mengungkapkan hal berbeda pada buku edisi kedua “Value Investing for Dummies”. Mereka mengatakan bahwa jika Anda ingin mendapat keuntungan besar dari investasi, pilih sedikit saham saja. Mereka justru berkata bahwa memiliki saham banyak dalam portofolio justru hanya akan memberikan jumlah balik modal yang sedang. Tentu, nasehat ini diperuntukkan bagi pemula, bukan investor handal.
5. Dengarkan emosi anda
Cukup sulit untuk mengabaikan emosi saat membuat keputusan investasi. Bahkan jika Anda dapat mengambil sudut pandang kritis saat mengevaluasi angka, rasa khawatir sekaligus senang jika mendapatkan modal kembali yang besar pasti ada. Apalagi, jumlah besar untuk membeli saham menggunakan sebagian dari tabungan Anda.
Lebih penting lagi, setelah Anda membeli saham tersebut, Anda mungkin tergoda untuk menjualnya jika harganya turun. Patut diingat bahwa inti dari value investing adalah menahan diri untuk tidak panik dan ikut-ikutan menjual saham. Jadi jangan sampai terjebak dalam fenomena membeli saat harga saham naik dan menjual saat harga turun. Perilaku ini dijamin dapat membuat Anda rugi.
Buku Value Investing
Berikut adalah rekomendasi buku yang dapat Anda baca jika tertarik belajar value investing:
- The Intelligent Investor oleh Benjamin Graham
- Value Investing: From Graham to Buffett and Beyond oleh Bruce C.N. Greenwald
- The Warren Buffett Way oleh Robert Hagstrom
- The Little Book of Value Investing oleh Christopher H. Browne
- Beating The Street oleh Peter Lynch
Kesimpulan
Value investing adalah strategi jangka panjang. Warren Buffett, contohnya, membeli saham untuk menahannya tanpa ada batasan waktu. Ia pernah berpendapat, “Saya tidak pernah punya keinginan untuk mencari uang dari pasar saham. Saya hanya membeli saham saat sesi perdagangan selesai, dan tidak akan menjualnya kembali dalam jangka waktu lima tahun.”
Anda mungkin tergoda untuk menjual saham, saat tiba waktunya untuk melakukan pembelian besar-besaran, atau Anda hendak pensiun dari dunia jual beli saham. Namun dengan memiliki beberapa saham dan memegangnya dalam jangka waktu lama, Anda dapat menjual saham hanya saat harga saham tersebut melebihi nilai pasar standar, dan harga yang sudah Anda keluarkan saat membeli saham tersebut.