Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Apresiasi Mata Uang? Cara Kerja, Penyebab & Dampaknya

Apresiasi mata uang

Pernahkah Anda berpikir mengapa nilai tukar dollar terhadap rupiah selalu berubah-ubah? Dulu sebelum krisis moneter, 1 dollar hanya setara dengan 2.500 tapi saat ini 1 dollar sama dengan Rp15.000 yang mana ini artinya, untuk membeli barang-barang dari luar negeri menjadi lebih mahal. 

Perubahan harga ini utamanya disebabkan oleh hukum permintaan dan penawaran alias kalau permintaan rupiah naik terhadap dollar, maka nilai tukar rupiah terhadap dollar akan naik atau menguat juga. Fenomena kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat inilah yang disebut dengan apresiasi. 

Apa itu Apresiasi Mata Uang

Apresiasi mata uang adalah kondisi kenaikan nilai tukar (kurs) mata uang sebuah negara terhadap mata uang negara lain. Misalnya, pada tanggal 1 Juli 1 dollar sama dengan Rp15.000, lalu pada tanggal 1 Juli, 1 dollar sama dengan 14.000 rupiah, maka nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dollar mengalami apresiasi atau penguatan. 

Kebalikan dari apresiasi adalah depresiasi, sehingga dapat dikatakan kalau nilai tukar rupiah terhadap USD naik dari 15.000 ke 14.000, maka dollar sedang melemah (terdepresiasi). Informasi mengenai fluktuasi kurs ini kini dapat dengan mudah Anda dapatkan dengan cara memasukkan kata kunci IDR to USD jika mencari kurs rupiah terhadap dollar atau USD to IDR jika sebaliknya. Untuk mencari informasi mengenai nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain, Anda tinggal mengganti kata USD dengan kode mata uang negara tersebut. Contoh USD diganti dengan RMB untuk mengetahui kurs rupiah terhadap renminbi (yuan China)

Penyebab Apresiasi Mata Uang

Secara umum, penyebab apresiasi mata uang adalah peningkatan permintaan mata uang tersebut terhadap mata uang negara lain. Namun, apabila dijelaskan lebih lanjut, faktor-faktor yang menyebabkan nilai mata uang suatu negara terapresiasi adalah:

1. Surplus perdagangan

Faktor pertama yang membuat mata uang suatu negara terapresiasi adalah adanya surplus perdagangan. Surplus perdagangan adalah kondisi ketika jumlah ekspor lebih banyak daripada jumlah impor. 

Ketika mengekspor suatu barang ke luar negeri, Anda akan menerima pembayaran dalam bentuk dollar. Namun supaya uang dollar tersebut dapat digunakan di Indonesia, Anda harus menukarnya dengan rupiah di bank. Akibatnya, permintaan terhadap rupiah naik dan permintaan terhadap dollar turun, sehingga kurs rupiah terhadap dollar menguat. 

2. Kenaikan suku bunga acuan

Suku bunga acuan adalah salah satu instrumen kebijakan moneter yang seringkali digunakan untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Dengan meningkatnya suku bunga acuan sebuah negara, diharapkan akan lebih banyak investor asing yang berinvestasi di negara tersebut, sehingga permintaan mata uang itu naik, begitu pula nilai tukarnya. 

Misalnya, The Fed (bank sentral Amerika Serikat) meningkatkan federal funds rate (suku bunga acuan AS) sebanyak 0.5 bps dari 1,5% menjadi 2%. Menyikapi kebijakan ini, Bank Indonesia juga turut menaikkan suku bunga dari 3,5% menjadi 4%. Harapannya adalah, investor asing tidak beralih dari rupiah ke dollar dan semakin banyak investor asing yang menjual dollar dan menukarnya dengan rupiah, supaya nilai tukar rupiah terhadap dollar tetap stabil. 

3. Kondisi perekonomian nasional

Meskipun suku bunga dapat menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, namun suku bunga bukan satu-satunya faktor. Faktor lainnya adalah kondisi fundamental perekonomian Indonesia sendiri. 

Investor asing cenderung akan berinvestasi ke Indonesia kalau kondisi sosial politik negeri ini sedang aman dan tentram, sehingga bisnis lancar, proses birokrasi investasi yang membaik dan hal-hal fundamental bisnis lainnya. Dengan tanpa kondisi fundamental yang baik, kenaikan suku bunga acuan belum tentu akan menarik investor asing.

Dampak Apresiasi Mata Uang

Meskipun terjadi di pasar uang internasional, namun apresiasi rupiah dapat mempengaruhi ekonomi riil Indonesia. Beberapa dampak tersebut antara lain:

1. Impor terasa lebih murah

Misalnya, pada tanggal 1 Januari nilai tukar dollar ke rupiah adalah Rp15.000, lalu pada tanggal 2 Januari, rupiah terapresiasi sehingga kini 1 dollar sama dengan Rp10.000. Jika Anda membeli jam tangan swiss seharga $1.000 pada tanggal 1, maka Anda membutuhkan uang Rp15.000.000, namun jika Anda membelinya pada tanggal 2, maka Anda hanya perlu mengeluarkan Rp10.000.000. 

Nilai impor yang terasa lebih ringan ini akan membuat semakin banyak komoditas impor yang masuk ke Indonesia. Di satu sisi hal ini adalah hal yang baik, mengingat banyak bahan baku industri yang harus impor, namun di sisi lain hal ini harus dikontrol, sebab impor yang terlalu banyak dapat menyingkirkan produk dalam negeri dan pada akhirnya melemahkan rupiah. 

2. Ekspor jadi kurang kompetitif

Kebalikan dari impor, harga ekspor komoditas dari Indonesia akan terasa lebih mahal bagi masyarakat luar negeri. Misalnya, standar gaji TKI asal Indonesia adalah sebesar Rp18.000.000. 

Ketika 1 dollar sama dengan Rp15.000, perusahaan yang mempekerjakan TKI tersebut hanya perlu mengeluarkan uang sebesar $1.500 setiap bulannya. Namun ketika 1 dollar sama dengan Rp10.000, mereka harus mengeluarkan uang sebesar $1.800 untuk gaji karyawan asal Indonesia setiap bulan. 

Lalu, bagaimana pengaruh tingkat kompetisi harga ini pada jumlah ekspor? Hal ini tergantung dengan jenis barang dan jasa yang diekspor. Jika barang dan jasa tersebut mudah diganti dengan barang yang sama dari negara lain dengan harga yang lebih murah, maka permintaan produk ekspor asal Indonesia akan menurun. Namun, jika barang dan jasa ini susah diganti (tenaga kerja ahli misalnya), maka jumlah ekspor relatif tidak akan terganggu. 

3. Defisit perdagangan

Kebalikan dari surplus perdagangan adalah defisit perdagangan. Defisit ini terjadi apabila nilai impor lebih banyak dibandingkan dengan nilai ekspor. Defisit perdagangan yang berlarut-larut lambat laun bisa membuat cadangan devisa negara tertekan dan menurunkan nilai rupiah. 

Namun, apresiasi rupiah tidak selalu diikuti dengan defisit perdagangan. Hal ini tergantung pada besaran perubahan nilai ekspor dan impor yang terjadi akibat apresiasi tersebut. 

Contoh Apresiasi Mata Uang

Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sempat menguat hingga 22%, yaitu dari 1 dollar sama dengan Rp12.000 sebelum tahun 2008 menjadi sekitar 8.000 rupiah pada periode tahun 2011. Menurut catatan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

  1. Perekonomian Amerika Serikat masih belum stabil pasca krisis finansial tahun 2008. Perlu diingat bahwasanya pada masa krisis tersebut, The Fed menerapkan kebijakan quantitative easing alias menerapkan suku bunga acuan hampir sebesar 0%. Akibatnya, banyak investor asing yang memindahkan aset investasinya dari dollar ke mata uang lain yang lebih menguntungkan. 
  2. Meskipun belum stabil, namun ekonomi AS menunjukkan perbaikan. Salah satu tanda perbaikan ini adalah banyaknya masyarakat Amerika Serikat yang mengimpor barang dari negara lain, termasuk Indonesia. Akibatnya, permintaan rupiah pun menguat. 
  3. BI menerapkan suku bunga acuan hingga 6,75% yang mana nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga acuan negara-negara lainnya. 
  4. Pemerintah rajin menerbitkan obligasi. Obligasi adalah salah satu instrumen investasi yang bisa dibeli oleh warga negara asing. Dengan suku bunga yang tinggi dan obligasi yang baru terbit, tentu investasi di Indonesia tampak menggiurkan.

Meskipun namanya apresiasi, namun tidak selamanya kenaikan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing akan berdampak baik bagi perekonomian. Oleh sebab itu, Bank Indonesia dituntut untuk menjaga stabilitas nilai tukar, sehingga perekonomian dalam negeri bisa lebih stabil.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *