Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Credit Default Swap? Pengertian, Cara Kerja, dan Contohnya

credit default swap (CDS)

Investasi merupakan transaksi keuangan yang berisiko. Maka dari itu, tidak heran jika banyak investor mencoba untuk meminimalisir risiko ini dengan berbagai cara, mulai dari menggunakan uang dingin untuk investasi, melakukan diversifikasi portofolio, hingga membeli instrumen derivatif. 

Instrumen derivatif adalah instrumen investasi yang nilainya tergantung dengan nilai aset lain. Salah satu instrumen derivatif yang sempat ramai diperbincangkan dan digunakan untuk menekan risiko investasi adalah credit default swap atau CDS. 

Pengertian Credit Default Swap

Credit default swap (CDS) adalah salah satu instrumen derivatif yang diperdagangkan oleh lembaga keuangan untuk dibeli oleh investor yang ingin menekan risiko investasi pada instrumen pendapatan tetap, seperti obligasi korporasi atau obligasi negara. 

Sederhananya, cara kerja instrumen ini adalah investor obligasi membeli CDS dari lembaga keuangan. Pembeli (investor) membayar sejumlah uang yang dinamakan premium sebanyak 4 kali dalam setahun kepada lembaga keuangan tersebut. Sebagai gantinya, lembaga keuangan tersebut harus mengembalikan seluruh premi yang dibayarkan oleh investor beserta bunganya, apabila penerbit obligasi tersebut mengalami kejadian yang disebut dengan “credit event”. 

Credit event adalah kejadian luar biasa yang mempengaruhi kinerja perusahaan dan pasar secara keseluruhan, sehingga emiten penerbit obligasi tersebut kesulitan untuk membayar pinjamannya. Credit event ini termasuk:

  1. Gagal bayar (default).
  2. Ada perubahan atau restrukturisasi dalam kontrak obligasi, misalnya emiten ingin melunasi surat utang tersebut lebih cepat dari yang seharusnya. 
  3. Ada penyangkalan terhadap keabsahan kontrak (repudiasi). 
  4. Adanya kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kemampuan bayar emiten. 

Dengan demikian, apabila penerbit obligasi tersebut gagal membayar utangnya (misalnya), maka investor tidak akan mengalami kerugian, sebab telah menerima pembayaran dari pihak penerbit CDS (lembaga keuangan). Sebaliknya, risiko gagal bayar tersebut harus ditanggung sepenuhnya oleh lembaga keuangan tersebut. 

Cara Kerja CDS

Untuk memahami cara kerja instrumen derivatif ini, sebaiknya Anda memahami contoh berikut:

Misalnya, Anda membeli obligasi fixed rate (obligasi FR) sebesar Rp1.000.000 dengan jangka waktu sampai tanggal 25 Desember 2025 dengan bunga 6,25% per tahun. Emiten penerbit obligasi tersebut, dalam hal ini adalah pemerintah, tidak hanya wajib membayar kupon atau suku bunga obligasi kepada investor setiap 6 bulan sekali, tetapi juga wajib mengembalikan uang Rp1.000.000 Anda pada tanggal 25 Desember 2025. 

Lalu pada tanggal 1 Januari 2024 terdapat isu resesi yang berhembus keras. Karena takut uang Anda tidak kembali, Anda lantas membeli CDS dari sebuah lembaga keuangan dengan biaya premi sebesar 80 basis point (bps) setiap tahun (premi CDS memang didenominasikan dalam bentuk basis point). 

Ini artinya, Anda wajib membayar premi sebesar 2.000 per kuartal (80 bps sama dengan 0,008 dari total kredit yang ditanggung). Kalau pada tanggal 25 Desember 2025 pemerintah Indonesia benar-benar gagal mengembalikan uang Rp1.000.000 Anda, maka pihak lembaga keuangan wajib mengembalikan total premi yang telah Anda bayarkan ditambah dengan bunganya. 

Jangka waktu kontrak CDS bervariasi antara 1-10 tahun. Selain itu, CDS juga tidak diperjualbelikan secara terpusat, melainkan over-the-counter (OTC). Ini artinya, investor harus mencari lembaga keuangan penerbit CDS secara mandiri dan tidak melalui bursa. Hal ini juga berlaku pada kontrak yang tercantum dalam CDS tersebut. 

Fungsi CDS

1. Hedging

Hedging atau lindung nilai adalah salah satu motif utama seorang investor atau sebuah lembaga keuangan membeli CDS. Bank misalnya, pembelian CDS oleh bank diperlukan untuk meminimalisir risiko yang diakibatkan karena nasabah bank tersebut mengalami gagal bayar. Dengan membeli CDS, jika nasabah gagal membayar pinjamannya, bank tidak akan kekurangan likuiditas untuk diputar dalam kegiatan operasionalnya. 

2. Arbitrase

Nilai premi CDS tidak bersifat konstan sepanjang waktu dan berkorelasi negatif dengan harga saham. Artinya, apabila nilai premi CDS naik, maka biasanya harga saham akan menurun, begitu pula sebaliknya. 

Salah satu peluang trading akibat fluktuasi harga ini adalah arbitrase. Arbitrase adalah tindakan pembelian sebuah instrumen keuangan dari sebuah pasar aset pada suatu waktu untuk kemudian dijual lagi ke pasar lain pada saat yang sama dengan harga yang lebih tinggi. 

3. Spekulasi

Motif trading lain yang bisa muncul akibat fluktuasi harga CDS adalah spekulasi. Investor (pembeli CDS) akan membeli CDS ketika kemampuan sebuah perusahaan untuk membayar utang menurun. Sebagai ganti dari perlindungan atas risiko default ini, investor harus membayar premi CDS dengan harga yang lebih tinggi. 

Hal ini juga berarti bahwa “kenaikan nilai CDS sama dengan penurunan kemampuan pembayaran pinjaman oleh emiten”. Sebaliknya, kalau nilai CDS turun, berarti kemampuan pembayaran pinjaman oleh emiten meningkat. Dinamika harga seperti ini bisa dimanfaatkan oleh trader untuk berspekulasi.

Jenis-Jenis CDS

Menurut European Central Bank (2009), Credit Default Swap dapat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

  1. Single-name CDS yaitu jenis CDS yang memberikan perlindungan atau proteksi kepada investor atas risiko investasi di satu reference entity saja (satu emiten saja). Reference entity ini bisa berbentuk pemerintah maupun perusahaan dan lembaga lainnya. 
  2. CDS Indices adalah jenis CDS yang terdiri dari beberapa single-name CDS yang kemudian dihitung menggunakan formula tertentu untuk menjadi indeks. CDS indices umumnya dijadikan benchmark atau patokan terhadap perubahan nilai premi single-name CDS. 
  3. Basket CDS adalah jenis CDS yang terdiri dari lebih dari 3 single-name CDS yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan investor. 

Risiko CDS

Meskipun digunakan untuk meminimalisir risiko, namun membeli CDS juga memiliki risiko tersendiri. Risiko ini disebut dengan counterparty risk:

  1. Pembeli CDS menghadapi risiko default baik dari emiten atau reference entity maupun dari lembaga keuangan penjual CDS tersebut. Apabila keduanya bangkrut (default), maka investor akan merugi karena telah membayar premi tapi tidak mendapatkan perlindungan yang mereka inginkan. Jika penjual CDS saja yang bangkrut, sementara emiten tidak, maka investor bisa mencari CDS lagi tentunya dengan harga yang lebih mahal. 
  2. Penjual CDS (lembaga keuangan) menghadapi risiko harus mengembalikan premi investor apabila reference entity bangkrut. Ini artinya, mereka harus kehilangan potensi pendapatan. Untuk menekan risiko ini, akhirnya lembaga keuangan tersebut bisa menerbitkan CDS baru lagi meskipun dengan harga premi yang lebih rendah. 

Credit default swap merupakan salah satu penyebab utama krisis finansial di Amerika Serikat pada tahun 2008. Ketika itu, banyak bank umum berlomba-lomba untuk memberikan kredit perumahan (KPR) kepada individu yang sebenarnya kurang kayak untuk mendapatkan KPR. Untuk mengatasi risiko ini, bank lantas menjual mortgage-backed securities atau kumpulan dokumen KPR tersebut ke investment bank atau bank yang lebih besar. 

Bank yang lebih besar tersebut kemudian menerbitkan CDS yang bisa dibeli oleh investor atau bank lain. Krisis terjadi ketika penerima KPR di atas tidak bisa melunasi cicilan kreditnya. Akibatnya, bank umum penerbit KPR tersebut merugi dan investment bank juga merugi. 

Salah satu contohnya adalah American International Group (AIG). Investment bank yang satu ini menerbitkan CDS yang banyak dibeli oleh bank-bank umum penerbit kredit KPR tersebut. Namun ketika harga rumah naik dan sejumlah besar nasabah tidak bisa membayar kredit, AIG tidak bisa memberi premi dan bunga yang seharusnya diberikan kepada bank umum tersebut. 

Akibatnya, bank-bank umum tersebut merugi, begitu pula AIG. Nilai aset perusahaan ini yang sebelumnya mencapai USD$ 1 triliun berkurang sampai USD$99,2 miliar atau tinggal USD$ 8 miliar saja. Akibat dari krisis ini, popularitas CDS sebagai salah satu instrumen investasi menurun hingga saat ini.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *