Dalam beberapa bulan ini, berita mengenai kemungkinan adanya resesi di Indonesia dan dunia tahun depan terus ditayangkan. Meskipun belum pasti, namun diperkirakan krisis atau resesi ini utamanya akan menimpa daratan Eropa.
Sama seperti bisnis pada umumnya, kondisi ekonomi sebuah negara dan dunia juga ada naik turunnya. Kalau naik disebut dengan economic boom, kalau turun disebut dengan resesi atau depresi, tergantung dari seberapa parah penurunan tersebut.
Indonesia sendiri setidaknya pernah mengalami krisis sebanyak dua kali dalam 25 tahun terakhir ini, yaitu krisis moneter tahun 1997-1998, dan resesi akibat pandemi covid19. Selain dua krisis tersebut, sadar atau tidak sadar dunia pernah mengalami berbagai krisis ekonomi dunia yang sedikit banyak juga berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Setiap krisis memiliki keunikan tersendiri. Bahkan, tidak jarang krisis yang sama akan mengakibatkan hal yang berbeda di negara berbeda. Tugas dari generasi saat ini adalah mempelajari sejarah dari krisis tersebut dan mengambil hikmah darinya supaya krisis yang sama tidak lagi terjadi di masa depan. Berikut ini beberapa krisis yang pernah melanda berbagai negara di seluruh dunia.
1. Tulip Mania (1637)
Yup! Sesuai dengan namanya, krisis yang satu ini disebabkan oleh kenaikan harga bunga tulip besar-besaran di Belanda. Seperti yang kita ketahui hingga kini, negara Belanda adalah salah satu negara yang terkenal dengan komoditas bunganya yang indah. Sama seperti komoditas lainnya, bunga-bunga ini juga dijual di pasar dengan mekanisme kontrak, seperti kontrak forward, future dan lain sebagainya.
Tulip adalah salah satu bunga yang paling terkenal di Belanda. Untuk menumbuhkan bunga cantik ini dari biji sampai siap panen, petani membutuhkan waktu hingga 12 tahun lamanya. Karena kecantikannya yang dinilai luar biasa dan hanya tumbuh di musim-musim tertentu saja, ketika itu banyak orang yang datang membelinya dengan mekanisme kontrak future.
Pada saat inilah banyak spekulan masuk ke dalam pasar tulip. Ini artinya, petani tidak menjual tulipnya dengan kontrak ke pembeli langsung atau pengepul, melainkan kepada orang-orang yang hanya mengambil keuntungan dari kenaikan harga tulip saja.
Akibatnya, harga tulip naik tinggi. Bahkan ada sumber yang menyebutkan bahwa harga satu tangkai tulip langka setara dengan 6 kali lipat pendapatan per kapita tahunan penduduk Belanda saat itu. Menurut laman Investopedia, diperkirakan harga tulip paling mahal saat itu saat ini setara dengan 1 juta USD dan umumnya tulip dijual dengan harga 50.000 USD sampai 150.000 USD.
Namun sayangnya pada tahun 1637, banyak penduduk kota Haarlem, sebuah pusat produksi tulip yang terkena penyakit wabah pes yang ketika itu memang sedang menjamur di Eropa dan menewaskan banyak orang. Akibat dari wabah pes ini, pembeli tidak mau mendatangi pasar tulip di negara tersebut, sehingga harga tulip menurun drastis.
Meskipun dinilai bukan termasuk krisis finansial karena dampaknya yang kecil terhadap perekonomian Belanda saat itu, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tulip mania adalah salah satu contoh dampak tindakan spekulasi di pasar komoditas yang paling tua di dunia.
2. The Great Depression (1929)
Boleh dibilang bahwasanya the Great Depression adalah krisis ekonomi dunia terparah pada abad ke-20. Krisis yang terjadi di Amerika Serikat ini membuat setidaknya 1 dari 4 orang penduduk Amerika Serikat menganggur dan butuh 10 tahun bagi negeri Paman Sam tersebut untuk membangun ekonominya kembali.
Tidak hanya di Amerika Serikat, the Great Depression juga sedikit banyak juga berdampak ke negara-negara lain, termasuk Indonesia (dulu dikenal dengan Hindia Belanda). Hal ini karena banyak komoditas dari Hindia Belanda yang diekspor oleh pemerintah kolonial ke negara tersebut.
Sepanjang dekade 1920-an, ekonomi Amerika Serikat berkembang pesat. Hal ini menyebabkan banyaknya spekulan yang masuk ke dalam pasar saham negeri Paman Sam tersebut dan membuat nilai indeks saham melonjak tinggi melebihi nilai intrinsiknya. Puncaknya, terjadi pada bulan Agustus 1929.
Ketika itu, gaji penduduk Amerika Serikat sangat rendah dan mereka menderita utang dalam jumlah besar, sementara banyak utang di bank yang tidak bisa ditagih. Kondisi di pasar riil ini lambat laun menular ke pasar modal. Puncaknya, pada 24 Oktober 1929, tercatat sebanyak 12,9 juta lembar saham dijual hanya dalam waktu sehari saja. Akibatnya, pasar modal Amerika Serikat hancur dan jumlah pengangguran meningkat dari yang awalnya sebanyak 4 juta orang pada tahun 1930 menjadi 15 juta orang pada 1933.
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah Amerika Serikat dibawah pimpinan presiden Franklin D. Roosevelt melaksanakan kebijakan yang dikenal dengan New Deal. Program-program dari New Deal ini fokus kepada keterlibatan pemerintah dalam sektor fiskal maupun moneter sebagai upaya keluar dari krisis, seperti pemeriksaan kesehatan keuangan bank, social assistance untuk pengangguran, pemotongan gaji pegawai pemerintah dan lain sebagainya.
Penerapan kebijakan New Deal ini tidak hanya lambat laun membuat negeri tersebut keluar dari krisis, tetapi juga meningkatkan peranan pemerintah dalam kontrol ekonomi, setelah sebelumnya perekonomian Amerika Serikat murni bergerak menggunakan sistem perdagangan bebas (Laissez-faire).
3. The International Debt Crisis (1981-1989)
Pada dekade 1970-an sampai awal tahun 1980-an, terdapat dua kali kenaikan harga minyak. Bagi negara-negara eksportir minyak, termasuk Indonesia (dulu), kenaikan harga minyak membuat mereka mendapatkan untung besar dan perlu tempat menyimpan uang yang aman dan menguntungkan.
Pada saat yang sama, negara-negara Amerika Latin, seperti Meksiko dan Brazil sedang gencar-gencarnya melakukan industrialisasi, sehingga meminjam banyak uang dari luar negeri sejak dekade 1960-an. Awalnya, negara-negara Amerika Latin ini meminjam uang dari lembaga besar, seperti Bank Dunia. Namun, karena bank-bank komersial Amerika Serikat banyak kedatangan uang dari negara-negara penghasil minyak, dan menawarkan suku bunga yang rendah pada utang jangka pendek, negara-negara Amerika Latin ini lantas meminjam uang dari bank-bank tersebut.
Akibatnya, utang negara-negara Amerika Latin tersebut naik dari $29 miliar pada tahun 1970, menjadi $327 miliar pada tahun 1982. Seperti yang terjadi saat ini, kenaikan harga minyak lambat laun menyebabkan inflasi dan penguatan dolar di Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan fokus kebijakan moneter negeri tersebut adalah menekan inflasi dengan menaikkan suku bunga.
Suku bunga dan nilai tukar dolar yang merangkak naik, utang luar negeri dalam jumlah besar dan mayoritas adalah utang jangka pendek membuat jumlah utang yang harus dibayarkan negara-negara Amerika Latin membengkak.
Akibatnya, banyak dari negara tersebut yang mengajukan penjadwalan ulang pembayaran utang dan tidak bisa mendapatkan pendanaan tambahan. Pada akhirnya, negara-negara Amerika Latin tersebut terkena krisis yang cukup parah hingga tahun 1989. Oleh sebab itu, nama lain dari krisis ekonomi dunia yang satu ini adalah the Lost Decade.
4. 1997 Asian Financial Crisis (1997-1998)
Masyarakat Indonesia mengenal krisis ini sebagai krisis moneter tahun 1998. Krisis ini disebut dengan 1997 Asian Financial Crisis karena pada dasarnya, krisis ini tidak hanya menimpa Indonesia saja, tetapi juga Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan.
Perlu Anda ketahui bahwasanya sebelum krisis ekonomi ini terjadi, Indonesia dan Thailand menerapkan kebijakan nilai tukar fixed rate terhadap dolar. Artinya, 1 dolar akan tetap sama dengan sekian rupiah kecuali jika ada perintah perubahan kurs dari pemerintah.
Di satu sisi, hal ini akan membuat impor atau utang luar negeri jadi lebih mudah karena nilai dolar dapat diperkirakan, namun disisi lain hal ini menuntut negara, terutama otoritas moneter memiliki cadangan devisa yang cukup untuk menyeimbangkan nilai tukar.
Krisis berawal dari Thailand. Negeri Gajah Putih tersebut pada Juli 1997 mengubah sistem nilai tukarnya dari fixed rate di atas, menjadi floating rate alias nilai tukar dolar terhadap baht kini mengikuti pergerakan pasar. Hal ini mereka lakukan karena cadangan devisa negara tersebut tidak cukup untuk membentengi kegiatan spekulasi yang sedang terjadi di pasar modal dan keuangan selama beberapa bulan sebelumnya.
Hanya dalam beberapa minggu setelah Thailand melaksanakan kebijakan tersebut, Indonesia, Malaysia, dan Filipina melakukan kebijakan yang sama. Pada bulan Oktober di tahun yang sama, krisis telah sampai ke Korea Selatan. Hal ini mengakibatkan kurs rupiah terhadap dolar turun dari Rp2.500 untuk 1 dolar menjadi Rp14.900 untuk satu dolar hanya dalam waktu 1 tahun.
Perubahan nilai kurs ini mau tidak mau juga menyentuh sektor riil karena membuat harga barang-barang impor, termasuk minyak dan kebutuhan sehari-hari, jadi lebih mahal dan utang luar negeri jadi susah dibayar.
Harga barang yang melonjak tinggi, ditambah dengan utang luar negeri yang susah dibayar, dan berbagai faktor lainnya membuat pemerintah RI menutup 16 bank. Tak dinyana, penutupan 16 bank ini justru menyebabkan banyak nasabah bank lain khawatir kalau bank-nya ditutup juga. Akibatnya, terjadi penarikan dana besar-besaran yang mengakibatkan bank lain jadi ikut tutup dan harus direstrukturisasi.
Krisis 1998 tidak hanya membuat Bank Indonesia menetapkan nilai tukar rupiah terhadap dolar sesuai dengan kondisi pasar yang berlaku, tetapi juga restrukturisasi besar-besaran pada sektor perbankan (termasuk pendirian Bank Mandiri) dan perubahan kondisi sosial politik, seperti penurunan Presiden Soeharto dari tahta.
5. Dotcom Bubble (2001-2002)
Berbeda dengan krisis ekonomi dunia nomor 4 yang berdampak langsung bagi perekonomian Indonesia, krisis yang diakibatkan oleh dotcom bubble secara tidak langsung berdampak pada negeri ini. Namun demikian, krisis yang satu ini diakibatkan oleh hal yang sebenarnya mirip dengan kondisi ekonomi saat ini, sehingga menarik untuk dipelajari.
Dotcom bubble adalah krisis atau resesi yang terjadi di Amerika Serikat pada awal tahun 2000-an. Ketika itu, internet adalah teknologi baru di negara tersebut dan di seluruh dunia. Teknologi baru ini pada akhirnya membuka peluang bisnis baru berbasis dot com. Sama seperti bisnis berbasis internet saat ini, model bisnis yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan dot com saat itu berkonsep menghubungkan pembeli dan penjual barang dan jasa secara online.
Para perusahaan dot com ini umumnya adalah perusahaan baru atau startup yang dibiayai oleh Venture Capital (VC) dan belum mendapatkan keuntungan (profit). Namun karena hype teknologi internet, kemudahan mendapatkan uang dan iklan mereka ada dimana-mana serta karena berbagai faktor lainnya, investor lantas berbondong-bondong membeli saham mereka. Akibatnya, harga saham perusahaan teknologi tersebut naik. Tercatat, nilai indeks teknologi Nasdaq naik dari 1.000 ke 5.000 sepanjang tahun 1995-2000.
Bubble atau gelembung ini akhirnya meletus ketika dua perusahaan teknologi besar yang sudah mapan, seperti Dell dan Cisco menjual saham mereka. Ditambah dengan kegagalan perusahaan dot com mendapatkan keuntungan, tindakan beberapa perusahaan teknologi besar tersebut memancing kepanikan di pasar. Akibatnya, hanya dalam beberapa minggu, nilai pasar saham Amerika Serikat turun hingga 10% dan pada puncaknya, turun hingga 76,8% pada Oktober 2002.
6. The Great Recession (2008)
Jika ada krisis yang berdampak sama besarnya bagi Amerika Serikat dan dunia selain the Great Depression, maka sejauh ini the Great Recession alias krisis finansial yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008 adalah jawabannya.
Setelah resesi yang diakibatkan oleh dot com bubble, The Federal Reserve System menurunkan suku bunga acuan (federal funds rate). Pada saat yang sama, industri keuangan dan perbankan negara tersebut mencari sumber pendapatan yang mudah, bank menerima proyek pembiayaan KPR untuk nasabah yang sebenarnya tidak layak memperoleh KPR (subprime mortgage).
Sebagai gantinya, bank menerapkan suku bunga kredit yang lebih besar kepada nasabah-nasabah tersebut. Untuk meminimalisir risiko, bank mengumpulkan semacam dokumen KPR dari nasabah yang tinggi risiko tersebut dengan dokumen KPR lain yang berasal dari nasabah yang layak. Bundelan dokumen KPR tersebut kemudian dijual lagi oleh bank kepada institusi keuangan lain dengan nama collateralized debt obligation (CDO) tentunya dengan janji bunga yang tinggi.
Masalah mulai muncul ketika pada Juni 2004 The Fed mulai menaikkan suku bunga kembali. Lambat laun, kenaikan suku bunga ini mengakibatkan harga rumah turun dan banyak penduduk Amerika Serikat, khususnya yang dari nasabah kurang layak, gagal membayar cicilan KPR-nya.
Gagal bayar kredit KPR dalam jumlah banyak ini mengakibatkan efek domino karena dokumen KPR mereka “dijual” lagi oleh bank sebagai instrumen investasi bernama CDO di atas. Akibatnya, tiga lembaga keuangan terbesar di Amerika, yaitu JPMorgan, Bearn Stearns dan Lehman Brothers serta lembaga keuangan yang lebih kecil lainnya bangkrut.
Selain berakibat dalam perekonomian dalam negeri Paman Sam itu sendiri, krisis finansial 2008 juga mempengaruhi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Hal ini karena dolar menjadi mata uang yang banyak digunakan dalam perdagangan, sehingga apapun keputusan the Fed akan mempengaruhi keputusan bank sentral di negara lain.
Salah satu akibat dari krisis ini di negeri ini adalah adanya kasus kontroversial bailout Bank Century. Menurut Wakil Presiden RI saat itu, Boediono, bailout bank tersebut dilakukan karena adanya ketakutan kalau krisis keuangan dunia dapat berdampak ke Indonesia sebagaimana krisis moneter pada tahun 1998.
Pada dasarnya, krisis atau resesi ekonomi adalah dua hal yang sifatnya alamiah. Namun bukan berarti tidak bisa dihindari atau dampaknya dikurangi. Secara sederhana, cara mengurangi dampaknya adalah tetap mempertahankan aspek fundamental dan konservatif dari pengaturan keuangan.
Misalnya, dengan tetap menjaga porsi utang (pribadi maupun luar negeri) supaya tetap terkontrol dan dialokasikan dengan baik, menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat dan presisi, dan yang tidak kalah penting adalah meningkatkan literasi keuangan masyarakat.