Lompat ke konten
Daftar Isi

PPN Naik 12 Persen Mulai Tahun 2025, Apa Dampaknya?

Dampak kenaikan PPn

Sebagai salah satu sumber utama pendapatan pemerintah, pajak adalah instrumen kebijakan fiskal utama yang paling mudah dimodifikasi sesuai kebutuhan negara. Dilansir dari laman resmi BPS (2024), penerimaan pajak Indonesia pada tahun 2024 adalah sebesar 2.801 triliun rupiah yang mana lebih dari 811 ribu triliun diantaranya berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Pada tahun 2025, pemerintah ingin meningkatkan pendapatan pajak dari sumber PPN ini dari 11% menjadi 12% untuk setiap pembelian barang dan jasa. Namun demikian, kebijakan peningkatan PPN ini mendulang kontra dari ekonom maupun masyarakat luas. Mengapa demikian? Simak selengkapnya berikut ini:

Penyebab Kenaikan Pajak PPN

Menurut pemberitaan dari Antara (2024), pemerintah menaikkan tarif pajak PPN karena beberapa penyebab:

  1. Meningkatkan pendapatan negara. Sebagai sumber utama pendapat negara, pajak dibutuhkan untuk menjalankan berbagai program pemerintah, mulai dari menggaji PNS sampai membangun infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat. 
  2. Menekan ketergantungan APBN terhadap utang luar negeri. Karena bisa memenuhi kebutuhan negara dengan pendapatan dari dalam negeri, harapannya peningkatan pajak PPN dapat menurunkan ketergantungan APBN terhadap utang luar negeri, sehingga perekonomian negara menjadi lebih stabil.
  3. Menyesuaikan standar PPN dengan luar negeri.  Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam artikel tersebut, rata-rata pajak PPN di negara-negara maju mencapai 15%, sementara di Indonesia “masih” 11%. 

Daftar Barang yang Dikenakan Tarif PPN 12%

Menurut pemberitaan terbaru, tarif PPN 12% tidak diterapkan untuk semua barang dan jasa, melainkan untuk barang dan jasa yang acap kali dikonsumsi oleh masyarakat kalangan menengah atas. Berikut ini daftar barang dan jasa yang dikenai pajak PPN 12 persen:

  1. Beras premium. 
  2. Buah-buahan premium. 
  3. Daging premium, seperti wagyu.
  4. Ikan kualitas premium, seperti ikan salmon. 
  5. Udang premium. 
  6. Jasa layanan pendidikan dan kesehatan premium, seperti sekolah internasional atau kamar rumah sakit kelas VIP.
  7. Listrik rumah tangga dengan kapasitas 3.500-6.600 VA. 

Namun, ada juga barang dan jasa yang dikenakan bebas PPN sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020. Diantaranya adalah:

  • Barang kebutuhan pokok, seperti beras dan gula. 
  • Jasa kesehatan,
  •  Jasa pendidikan.
  •  Jasa sosial.
  • Jasa asuransi.
  • Jasa keuangan.
  • Jasa angkutan umum.
  • Jasa tenaga kerja
  • Penerbitan buku tertentu, seperti kitab suci dan buku pelajaran. 
  • Jasa layanan air bersih.
  • Listrik kecuali untuk rumah tangga dengan daya di atas 3.500.
  • Jasa layanan rumah susun sederhana. 
  • Jasa konstruksi untuk bangunan tertentu, seperti rumah ibadah. 
  • Berbagai keperluan peternakan, seperti bibit perikanan.
  • Minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, LNG dan CNG) dan panas bumi
  • Emas batangan dan emas granula.
  • Produksi senjata. 

Namun demikian, daftar barang yang terkena PPN 12% masih perlu dikonfirmasi dan dirinci lagi mengingat ada banyak barang dan jasa yang terdampak PPN 11%, seperti jasa layanan hiburan (seperti Spotify) hingga jasa investasi. 

Dampak Kenaikan PPN 12% bagi Perekonomian

Secara umum, kenaikan pajak PPN menjadi 12% pada tahun 2025 akan meningkatkan pengeluaran bisnis dan rumah tangga. Misalnya, restoran Anda membutuhkan daging wagyu 1 kg sebesar Rp4.000.000 sebelum pajak. Dengan PPN 11%, harga daging tersebut menjadi Rp4.440.000 per Kg, namun dengan PPN naik 12 persen, Anda harus mengeluarkan biaya sebesar Rp4.480.000 untuk membeli daging dengan kuantitas yang sama. 

Untuk kasus rumah tangga individu misalnya, Anda langganan Spotify Premium Individu sebesar Rp55.000 per bulan belum termasuk PPN. Dengan PPN 11%, Anda harus membayar sebesar Rp61.038. Dengan PPN 12%, harganya menjadi Rp61.588 per bulan. 

Peningkatan pengeluaran pada bisnis ini bisa merembet ke banyak aspek lainnya. Misalnya, untuk menjaga agar biaya produksi tidak naik, sebuah perusahaan memutuskan untuk mengakhiri kontrak dengan beberapa karyawan tertentu (PHK). Atau perusahaan juga bisa membebankan seluruh kenaikan PPN ini kepada konsumen dengan cara meningkatkan harga barang dan jasa yang mereka tawarkan. 

Dalam konteks investasi, kenaikan tarif PPN 12 persen ini akan meningkatkan biaya jasa layanan perusahaan sekuritas. Bukan tidak mungkin, aplikasi investasi yang Anda gunakan yang sebelumnya menetapkan biaya transaksi jual 0,25% naik menjadi 0,27% untuk menutupi kenaikan PPN ini. 

Jika tidak diiringi dengan kenaikan disposable income, kenaikan tarif PPN menjadi 12% ini akan memperburuk daya beli masyarakat. Secara teoritis, karena harga barang dan jasa yang lebih mahal, masyarakat akan lebih banyak menyimpan uangnya dan tidak membelanjakannya. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi justru akan melambat. 

Daya beli masyarakat yang semakin memburuk ini juga dapat mengakibatkan pendapatan negara dari pajak justru tidak meningkat meskipun persentase tarif PPN sudah dinaikkan (counterintuitive). Contoh mudahnya, dengan PPN 11%, konsumsi masyarakat Indonesia mencapai 1 triliun rupiah, sehingga pendapatan pajak ini sebesar 110 miliar rupiah. Namun ketika PPN naik menjadi 12%, konsumsi justru turun menjadi 900 miliar, sehingga pendapatan pajak ini justru turun 2 miliar rupiah menjadi 108 miliar rupiah. 

Beberapa peneliti juga beranggapan bahwa meskipun ada banyak barang dasar yang dibebaskan dari PPN, dampak kenaikan pajak bagi masyarakat kelas menengah ke bawah akan tetap besar karena barang dan jasa yang menjadi objek PPN mayoritas dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah dan kenaikan PPN sejauh ini tidak diikuti dengan kenaikan upah minimum yang sesuai (Kompas, 2024).

 Secara teoritis, kebijakan kenaikan pajak memang bukan kebijakan publik yang populer, mengingat kebijakan ini akan mempersulit bisnis untuk berkembang dan memperburuk daya beli masyarakat. Akan tetapi, peningkatan tarif PPN 12 persen di Indonesia menimbulkan kontra karena dampaknya terhadap perekonomian, melainkan juga karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan tingginya angka korupsi di negara ini, tidak mengherankan jika masyarakat lebih awas terhadap kenaikan pajak PPN menjadi 12% dan penggunaannya. 

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *