Lompat ke konten
Daftar Isi

Deflasi: Pengertian, Contoh, Penyebab

Deflasi

Dalam artikel yang telah lalu, kita telah membahas mengenai apa itu inflasi dan apa penyebabnya terhadap perekonomian secara umum. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa inflasi (kebalikan deflasi) adalah fenomena yang umum dalam dunia ekonomi meskipun kurang disukai masyarakat. Hanya saja, inflasi harus dikontrol dengan baik supaya tidak menekan daya beli masyarakat.

Sebaliknya, meskipun disukai masyarakat karena adanya penurunan harga, deflasi juga harus dikontrol. Bahkan kalau bisa tidak terjadi. Mengapa demikian? Simak ulasannya berikut ini:

Pengertian Deflasi

Deflasi adalah penurunan biaya barang dan jasa secara keseluruhan dalam suatu perekonomian.

Deflasi adalah kebalikan dari inflasi, di mana inflasi adalah kenaikan harga barang-barang secara serentak dalam periode waktu tertentu.

Deflasi dan disinflasi merupakan dua konsep yang berbeda. Disinflasi, berbeda dengan deflasi, berkaitan dengan peningkatan harga barang-barang. Meski demikian, kenaikan harga dalam konteks disinflasi lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Sebagai contoh, jika inflasi mencapai 5% pada tahun 2019, kemudian turun menjadi hanya 3% pada tahun 2020, fenomena ini disebut sebagai disinflasi.

Apabila masih terkontrol, adanya deflasi akan menguntungkan masyarakat karena ini artinya mereka hanya perlu mengeluarkan uang yang lebih sedikit untuk mendapatkan barang dengan jumlah yang sama.Akan tetapi apabila dibiarkan berlarut-larut, deflasi juga bisa membuat ekonomi lesu. Pasalnya, jumlah uang yang masuk ke dalam kantong pebisnis atau pemerintah juga akan lebih sedikit. Oleh sebab itu sebagaimana inflasi, deflasi juga harus dikontrol dengan baik.

Contoh Deflasi 

Pada bulan Agustus 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi sebesar 0,21%. Data ini diperoleh dari penurunan harga barang-barang yang termasuk ke dalam indeks pengeluaran konsumen, khususnya kelompok makanan, minuman dan tembakau serta kelompok transportasi. 

Menurut laporan BPS tersebut, ada 79 kota yang mengalami deflasi dari 90 kota yang menjadi tempat pengumpulan data, sementara 11 kota lainnya masih mengalami inflasi. Deflasi terdalam terjadi di Kota Tanjung Pinang, sementara deflasi terdangkal terjadi di Kediri dan Depok.

Data deflasi Indonesia di tahun 2022
Gambar 1: Deflasi Indonesia 2022 (Sumber: BPS)

Sempat membaik pada September 2022, Indonesia kembali mengalami deflasi pada bulan Oktober 2022 dengan nilai 0,11% (BPS). Hal ini karena adanya penurunan harga pada kelompok bahan makanan, seperti telur, daging ayam, dan bahan makanan lainnya. Kali ini kota Gunungsitoli menjadi kota dengan tingkat deflasi terdalam, sementara kota Sampit menjadi kota dengan deflasi terdangkal. 

Pada contoh di atas terlihat bahwasanya deflasi bisa terjadi dalam konteks bulanan alias pada bulan Agustus dan Oktober terjadi deflasi, sementara pada bulan September tidak. Lantas, bagaimana jika deflasi tersebut terjadi selama 12 bulan berturut-turut atau bahkan bertahun-tahun? Well, Jepang pernah mengalami fase deflasi kronis ini pada akhir tahun 1990-an. 

Pada periode tahun 1995- sebelum krisis finansial global, pergerakan harga komoditas di Jepang terus turun menembus angka 0 (deflasi). Penyebab dari penurunan harga secara berkepanjangan ini ada berbagai macam.

Pertama, adanya ekspektasi inflasi yang rendah baik dari bank sentral Jepang maupun masyarakat Jepang itu sendiri. Kedua, adanya masalah pada supply barang-barang di negara tersebut dan masalah produktivitas. Ketiga, adanya faktor lain seperti nilai tukar yen terhadap mata uang lain yang cenderung naik (apresiasi) dan pertumbuhan negara-negara berkembang pada tahun 1990-an.

Penyebab Deflasi

1. Kebijakan moneter

Kebijakan moneter adalah kebijakan ekonomi makro yang ditujukan untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Seperti yang telah kita bahas di artikel sebelumnya, salah satu penyebab inflasi adalah tingginya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Sebaliknya, deflasi disebabkan oleh minimnya jumlah uang yang beredar. 

Penurunan jumlah uang yang beredar ini salah satunya bisa disebabkan oleh kebijakan moneter dari bank sentral yang berupa penerapan suku bunga acuan yang tinggi. Sederhananya, apabila suku bunga acuan tinggi, maka banyak orang yang punya uang akan menyimpan uangnya di bank dan tidak digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, jumlah uang yang digunakan untuk transaksi menurun. 

Dalam kasus deflasi berkepanjangan dari Jepang di atas, peneliti menyebutkan bahwa faktor lain dari segi kebijakan moneter yang bisa mengakibatkan deflasi adalah ekspektasi bank sentral terhadap kondisi ekonomi negara tersebut dan kemampuan otoritas moneter tersebut dalam mensosialisasikan kebijakannya kepada masyarakat. 

2. Penurunan permintaan terhadap barang produksi

Komoditas yang tersedia di pasar dapat dikelompokkan berdasarkan hubungannya dengan pendapatan konsumen, salah satunya dikenal sebagai normal goods. Normal goods merujuk pada jenis barang atau komoditas yang permintaannya akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan konsumen.

Dengan kata lain, jika pendapatan konsumen menurun, permintaan atas barang tersebut juga cenderung menurun. Dalam menghadapi kondisi ini, produsen normal goods biasanya akan merespons dengan menyesuaikan harga produk mereka, biasanya dengan penurunan harga untuk merangsang permintaan.

Contohnya adalah peternak ayam pedaging. Ketika banyak masyarakat yang dipecat dari pekerjaannya sehingga pendapatan mereka menurun, masyarakat akan beralih dari konsumsi daging ayam ke bahan makanan lainnya yang lebih murah. Akibatnya, permintaan terhadap daging ayam akan menurun. Karenda daging ayam adalah barang yang mudah basi, para peternak ayam pedaging lantas menjual daging ayam mereka dengan menurunkan harga. 

Apabila penurunan harga tidak hanya terjadi pada daging ayam saja, tetapi juga banyak komoditas lainnya, maka terjadilah yang disebut dengan deflasi.

3. Tingginya supply

Pada tingkat sektoral, deflasi juga bisa disebabkan oleh tingginya supply komoditas tertentu. Seperti yang kita ketahui bahwasanya harga sebuah barang akan naik kalau supply-nya terbatas tapi demand-nya meningkat. Hal ini berlaku juga sebaliknya, kalau supply sebuah barang meningkat, tapi demand-nya tetap, maka harga barang tersebut akan turun. 

Contohnya adalah harga beras ketika musim panen raya. Ketika musim panen, supply beras naik. Padahal, beras harus dijual segera supaya tidak rusak dan petani juga membutuhkan uang untuk mulai musim tanam yang baru. Akibatnya, harga beras menurun (deflasi). 

4. Sikap pesimis terhadap perekonomian

Sikap pesimistis terhadap perekonomian sebuah negara juga dapat membuat penurunan harga. Dalam kondisi pandemi yang lalu misalnya, masyarakat enggan membelanjakan uangnya karena mereka pesimis mengenai kapan pandemi akan berakhir. Akibatnya, perusahaan harus menurunkan harga barang yang mereka produksi demi menyesuaikan dengan kondisi ekonomi.

Dampak Deflasi

1. Penurunan pertumbuhan ekonomi

Ketika jumlah uang yang beredar di masyarakat berkurang dan masyarakat menjadi enggan untuk berbelanja, hal ini dapat menyebabkan penurunan aktivitas di sektor produksi dan konsumsi. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi nasional dapat mengalami penurunan. Keadaan ini dapat terjadi apabila deflasi bukan hanya berlangsung di satu sektor atau dalam jangka waktu satu bulan saja, tetapi meluas ke sejumlah sektor dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih panjang.

2. Peningkatan pengangguran

rasa enggan masyarakat untuk berbelanja juga akan mengakibatkan rendahnya pemasukan perusahaan. Akibatnya, perusahaan harus memotong beberapa komponen biaya, termasuk diantaranya adalah biaya gaji dengan memberhentikan sebagian pegawai. 

Dalam kancah ekonomi makro, pemberhentian sejumlah pegawai ini meningkatkan jumlah pengangguran. Jumlah pengangguran yang meningkat bisa berdampak sistemik dalam kondisi sosial masyarakat.

3. Penurunan investasi

Kondisi ekonomi yang lesu akan mengakibatkan investor enggan berinvestasi. Bagi investor asing, ekonomi yang lesu tidak akan membuat mereka tertarik menanamkan modalnya di Indonesia karena menganggap investasi di negeri ini akan percuma karena tidak ada yang beli. 

Bagi investor domestik, kondisi deflasi membuat mereka memilih untuk tidak membeli instrumen tinggi risiko seperti saham sebuah perusahaan. Karena, toh percuma membeli saham perusahaan tersebut kalau produksi perusahaan tersebut tidak akan bisa dibeli masyarakat. Selain itu, kondisi deflasi juga akan membuat mereka lebih banyak menyimpan uang dalam bentuk aset yang dinilai lebih aman dan penting, seperti uang kas atau safe haven. 

Cara Mengatasi Deflasi

1. Kebijakan operasi pasar terbuka

Salah satu cara yang banyak dilakukan untuk mengatasi deflasi adalah dengan menambah jumlah uang yang beredar di masyarakat dengan melakukan kebijakan operasi pasar terbuka (open market policy). Untuk melakukan hal ini, bank sentral selaku otoritas moneter bisa menurunkan suku bunga acuan dan membeli surat utang negara (obligasi negara). 

Suku bunga acuan diturunkan dengan harapan banyak masyarakat yang berani mengambil kredit perbankan untuk keperluan bisnisnya atau membeli barang yang mereka butuhkan. Penurunan suku bunga ini juga bisa digunakan oleh masyarakat yang sudah meminjam uang di bank untuk mendapatkan suku bunga yang lebih rendah (khususnya yang mendapat floating rate). 

Adapun pembelian kembali surat utang negara ditujukan untuk menambah likuiditas yang ada di pasaran. Otoritas moneter akan membeli kembali surat utang negara yang sebelumnya mereka jual kepada investor institusi (termasuk bank). Dengan pembelian kembali ini, harapannya bank tidak perlu pusing mengenai cadangan uang kas mereka saat memberikan kredit baru atau melakukan restrukturisasi kredit lama kepada masyarakat.

3. Kebijakan fiskal

Kebijakan fiskal untuk mengurangi deflasi dilakukan dengan cara melakukan berbagai program untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Program-program ini bervariasi, contohnya:

  1. Pemberian diskon pajak untuk objek pajak tertentu. 
  2. Pemberian subsidi untuk komoditas penting, seperti BBM. 
  3. Pemberian bantuan langsung tunai, seperti kartu prakerja dan bantuan langsung tunai (BLT). Sedikit berbeda dengan kartu prakerja, pemberian BLT juga bisa dilakukan untuk menanggulangi dampak inflasi. 
  4. Pembukaan lapangan kerja berbasis padat karya untuk menyerap tenaga kerja yang terkena PHK. Dengan demikian, masyarakat tidak stres karena menganggur dan tetap memiliki penghasilan. 
  5. Pembelian kembali obligasi negara yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan. Perlu diingat bahwasanya ada jenis obligasi yang bisa dibeli kembali sebelum tanggal jatuh temponya tiba. 
  6. Pemberian bantuan berupa sembako secara langsung, dan masih banyak lainnya. 

Sedikit berbeda dengan kebijakan moneter, penerapan kebijakan fiskal harus tepat sasaran kepada golongan masyarakat yang paling terdampak adanya deflasi maupun inflasi. Pemberian BLT misalnya, dapat diberikan kepada masyarakat yang terkena gelombang PHK. Tujuannya supaya mereka tetap bisa membeli kebutuhan sehari-hari dan tidak stres.

Penerapan kebijakan operasi pasar terbuka (kebijakan moneter) dan kebijakan fiskal untuk menanggulangi deflasi harus dirumuskan secara hati-hati dan presisi. Sebab, tidak menutup kemungkinan penerapan kebijakan di atas yang berlebihan atau berlawanan satu sama lain justru akan membuat masyarakat masuk ke dalam jurang krisis yang lebih dalam. 

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *