Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Depresiasi Mata Uang? Penyebab, Dampak & Contohnya

Depresiasi

Secara bahasa, depresiasi berasal dari Bahasa Inggris “depreciation” yang berarti penurunan nilai suatu aset dalam satu periode waktu tertentu. Istilah ini banyak digunakan dalam dunia ekonomi dan bisnis. Selain pada akuntansi dan pembukuan keuangan, depresiasi juga digunakan dalam perubahan nilai tukar mata uang. Berikut ini selengkapnya. 

Apa itu Depresiasi Mata Uang?

Depresiasi mata uang adalah kondisi yang terjadi ketika nilai tukar sebuah mata uang terhadap mata uang negara lain mengalami penurunan. Misalnya, rupiah dikatakan sedang terdepresiasi apabila nilai tukarnya terhadap dolar menurun dari 15.000 rupiah untuk satu dolar menjadi 16.000 rupiah untuk satu dolar. 

Kebalikan dari depresiasi adalah apresiasi atau kenaikan nilai tukar mata uang sebuah negara terhadap mata uang negara lain. Ini artinya, jika kurs rupiah terhadap dolar melemah dari 15.000 ke 16.000, maka rupiah dikatakan “terdepresiasi atau melemah”, sementara dolar dikatakan mengalami “apresiasi” atau menguat. 

Meskipun sama-sama penurunan nilai tukar, namun depresiasi berbeda dengan devaluasi. Penurunan nilai tukar mata uang disebut dengan devaluasi kalau penurunan tersebut disengaja oleh otoritas moneter di sebuah negara yang menganut sistem fixed exchange rate atau kurs tetap,  sementara depresiasi terjadi kalau penurunan tersebut disebabkan oleh hukum permintaan dan penawaran di pasar internasional. Biasanya, depresiasi juga dialami oleh negara yang menganut sistem floating exchange rate atau kurs mengambang.

Misalnya nilai tukar rupiah terhadap dolar disebut mengalami depresiasi jika saat ini kursnya sekitar Rp15.000 tapi esok hari berubah menjadi 16.000. Penurunan ini disebut devaluasi jika Bank Indonesia menetapkan nilai tukar rupiah terhadap dolar besok akan berubah dari 2.500 untuk 1 dolar menjadi 3.500. 

Penyebab Depresiasi Mata Uang

Secara garis besar, penyebab perubahan kurs mata uang sebuah negara adalah jumlah permintaan dan penawaran mata uang tersebut. Namun apabila lebih dirinci lagi, perubahan nilai ini bisa disebabkan oleh:

1. Selisih impor dan ekspor

Selisih antara impor dan ekspor mempengaruhi nilai mata uang sebuah negara. Hal ini karena ketika melakukan impor, Anda membutuhkan uang negara lain. Ini artinya, permintaan mata uang negara tersebut akan meningkat, sehingga “harga atau kursnya” juga akan meningkat. Sebaliknya, kalau Anda melakukan ekspor, Anda akan mendapatkan uang negara lain yang siap ditukarkan dengan rupiah, sehingga permintaan rupiah naik, begitu pula dengan kurs-nya. 

Oleh sebab itu, semakin besar selisih antara ekspor dan impor (disebut dengan neraca perdagangan surplus), maka semakin kuat pula nilai mata uang sebuah negara, begitu pula sebaliknya. 

2. Tingkat suku bunga acuan

Ekspor dan impor tidak menjadi satu-satunya transaksi keuangan Indonesia dengan luar negeri. Saat ini, warga negara asing atau lembaga asing juga bisa menanamkan modalnya di Indonesia baik secara langsung maupun tidak dan keluar masuknya investor asing ini juga menyebabkan perubahan nilai tukar rupiah. 

Misalnya kalau ada perusahaan luar negeri yang ingin membangun pabrik di Indonesia, perusahaan tersebut harus menukar uang yang mereka gunakan dengan rupiah. Akibatnya, permintaan dan kurs rupiah  terhadap mata uang terkait juga meningkat. Begitu pula sebaliknya. 

Salah satu cara yang sering digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk menarik investor luar negeri ini adalah dengan meningkatkan suku bunga acuan. Sederhananya, jika suku bunga acuan Indonesia (BI7DRR) lebih tinggi daripada suku bunga acuan Amerika Serikat (The Federal Funds Rate), maka banyak investor akan berbondong-bondong menjual dollar dan menukarnya dengan rupiah. Akibatnya, permintaan dan kurs rupiah terhadap dolar akan meningkat, begitu pula sebaliknya. 

3. Kondisi sosial politik dalam negeri

Namun demikian, investor asing tidak hanya akan memperhatikan suku bunga saja, apalagi jika mereka ingin menjadi investor langsung di negeri ini. Faktor lain yang menjadi penentu adalah kondisi sosial politik Indonesia. 

Jika kondisi sosial politik Indonesia sedang kurang baik, misalnya banyak demo, aksi terorisme atau sekedar tidak menentu akibat tahun politik, maka bukan tidak mungkin investor asing akan berpikir dua kali sebelum berinvestasi ke Indonesia atau bahkan menarik investasinya dari negeri ini. Sama seperti suku bunga, penarikan investasi asing juga dapat menyebabkan kurs rupiah tertekan. 

4. Faktor eksternal 

Faktor eksternal juga bisa membuat kurs rupiah terdepresiasi. Misalnya, kenaikan suku bunga the Fed di Amerika Serikat bisa menyebabkan banyak investor menjual rupiah dan membeli dolar. Investor juga bisa keluar dari pasar Indonesia dan berinvestasi di negara dengan skala ekonomi yang lebih besar dan mapan apabila terjadi ketidakpastian kondisi ekonomi global. 

Dampak Depresiasi Mata Uang

1. Penurunan impor

Ketika kurs rupiah menurun terhadap dolar atau mata uang asing lainnya, maka biaya untuk mengimpor barang dari negara tersebut jadi lebih mahal. Akibatnya, jumlah impor mengalami penurunan. 

Misalnya, biaya untuk mendapatkan lisensi penyiaran drama korea adalah sebesar 13.000.000 won per episode. Ketika nilai tukar won terhadap rupiah masih 1:12, maka perusahaan Indonesia yang ingin menayangkan Kdrama harus membayar Rp156.000.000 per episode. Namun jika kurs rupiah terhadap won melemah menjadi 1:13, maka untuk mendapatkan 1 episode, perusahaan harus membayar Rp169.000.000 (13.000.000 x 13). 

2. Peningkatan ekspor

Berbeda dengan impor, nilai ekspor justru akan meningkat. Hal ini karena jika nilai tukar rupiah menurun, harga barang-barang Indonesia akan tampak lebih murah di pasar internasional. 

Misalnya, Indonesia mengirimkan TKI ke luar negeri dengan standar gaji minimum per bulan sebesar Rp15.000.000. Ketika 1 dolar sama dengan 15.000, maka perusahaan yang menggunakan jasa TKI harus membayar 1.000 dollar setiap bulannya. Namun ketika kurs rupiah terhadap dolar turun menjadi 16.000, maka uang yang harus setiap bulan dibayarkan oleh perusahaan menjadi 937,5 dollar saja, sehingga peluang perusahaan luar negeri tersebut mempekerjakan TKI kembali atau membeli barang dari Indonesia akan semakin besar. 

3. Peningkatan beban utang luar negeri

Sama halnya dengan impor, kalau rupiah terdepresiasi, maka semakin banyak nilai rupiah yang dibutuhkan untuk membayar utang luar negeri dengan nilai yang sama. Contoh, Anda memiliki utang dalam bentuk dolar Amerika Serikat sebesar 1.000 USD, ketika kurs dolar terhadap rupiah sama dengan 15.000, maka Anda bisa melunasi utang tersebut hanya dengan Rp15.000.000, tapi kalau rupiah melemah menjadi 16.000, maka Anda perlu uang 16.000.000 untuk melunasinya. 

Contoh Depresiasi Mata Uang

Indonesia pernah mengalami fenomena depresiasi mata uang terburuk sepanjang masa pada tahun 1998. Ketika itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar anjlok lebih dari 2.300 per 1 dolar hingga menembus 15.000 untuk 1 dolar hanya dalam beberapa bulan saja. 

Ini artinya, jika saat itu Anda memiliki utang luar negeri sebesar 1.000 USD, pada bulan Juni 1997 (saat masih 2.300), Anda hanya perlu uang Rp2.300.000 untuk melunasinya, tapi pada awal 1998, nilai ini akan membengkak menjadi Rp15.000.000. 

Dalam beberapa tahun ini, kurs rupiah terhadap dolar juga sering terdepresiasi dan bahkan juga sering menembus angka Angka Rp15.000. Namun bedanya adalah, penurunan nilai tukar kali ini masih disokong dengan kondisi fundamental yang baik, sehingga tidak menimbulkan krisis sebagaimana pada tahun 1998.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *