Salah satu faktor yang menentukan keuntungan investasi adalah kondisi ekonomi terkini dan bagaimana pemerintah serta pemangku kebijakan terkait menanggapi kondisi ekonomi tersebut. Dovish dan Hawkish adalah dua jenis sikap pemangku kebijakan moneter, alias Bank Sentral dalam menghadapi perubahan kondisi ekonomi.
Sebelum memahami makna keduanya, alangkah lebih baik jika Anda tahu terlebih dahulu dua jenis kebijakan moneter. Kebijakan moneter atau kebijakan yang diambil oleh Bank Sentral terdiri dari dua jenis, yaitu kebijakan moneter kontraktif dan ekspansif.
Kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan Bank Sentral yang meningkatkan suku bunga acuan demi menghalau inflasi, sementara kebijakan moneter ekspansif adalah kebijakan Bank Sentral yang menurunkan suku bunga untuk menggeliatkan ekonomi. Dovish dan Hawkish adalah dua istilah yang terkait dengan dua jenis kebijakan moneter ini.
Pengertian Hawkish
Hawkish berasal dari kata hawk yang berarti elang. Dalam konteks kebijakan moneter, hawkish digunakan untuk mewakili anggota dewan gubernur Bank Sentral yang cenderung memprioritaskan tingkat inflasi yang rendah, alih-alih pertumbuhan ekonomi.
Apabila sikap para hawkish ini disetujui oleh forum, maka Bank Sentral umumnya akan mengambil kebijakan moneter kontraktif dengan meningkatkan suku bunga demi menekan inflasi. Diharapkan, dengan suku bunga acuan yang meningkat, banyak orang yang akan mengurangi konsumsi (termasuk konsumsi kredit) dan memilih menyimpan uangnya di bank. Akibatnya, jumlah uang yang beredar di masyarakat menurun dan inflasi kembali rendah.
Pengertian Dovish
Dovish berasal dari kata dove yang berarti merpati. Dalam konteks kebijakan moneter, dovish digunakan untuk mewakili anggota dewan gubernur Bank Sentral yang cenderung memprioritaskan pertumbuhan ekonomi alias tingginya kegiatan ekonomi dibandingkan menjaga inflasi supaya tetap rendah.
Apabila sikap para dovish ini disepakati oleh forum, maka Bank Sentral akan membuat kebijakan moneter ekspansif dengan menurunkan suku bunga acuan. Harapannya adalah, dengan suku bunga acuan yang lebih rendah masyarakat akan berani mengambil pinjaman bank dan tidak menyimpan uang dalam jumlah terlalu banyak di lembaga tersebut, sehingga roda ekonomi berputar kembali.
Kelebihan dan Kekurangan Kebijakan Hawkish
Inflasi dan suku bunga merupakan dua indikator ekonomi moneter yang harus dijaga dengan baik dan tidak boleh berlebihan. Inflasi -kenaikan harga barang-barang secara simultan- adalah hal yang wajar dalam ekonomi. Inflasi acapkali disebabkan oleh tingginya jumlah uang beredar karena pertumbuhan ekonomi.
Namun jika kelewat tinggi, inflasi justru dapat menekan daya beli masyarakat. Misalnya, akibat kenaikan harga Pertalite dari 7.500 menjadi 10.000 membuat dulu uang 10.000 sudah dapat 1,15 liter Pertalite, kini hanya bisa mendapat 1 liter. Jika kenaikan harga bensin ini tidak terkendali, maka lama-lama daya beli masyarakat menurun dan masyarakat tidak ada yang bisa beli bensin lagi.
Suku bunga juga merupakan indikator ekonomi makro yang harus dijaga. Suku bunga acuan yang rendah, akan mengakibatkan banyak masyarakat berani meminjam uang ke bank, dengan demikian roda ekonomi berputar kembali. Namun, roda ekonomi yang berputar sangat cepat akan menyebabkan inflasi yang tinggi.
Sebaliknya, peningkatan suku bunga memang diharapkan dapat membuat masyarakat menyimpan uangnya di bank, sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat serta inflasi akan menurun. Akan tetapi, kalau kebijakan kenaikan suku bunga (hawkish) ini dipertahankan terlalu lama, ekonomi jadi lesu karena masyarakat tidak berani mengembangkan bisnisnya melalui pinjaman.
Dovish vs Hawkish: Lebih Baik Yang Mana?
Forum gubernur Bank Sentral (dalam kasus Indonesia adalah Bank Indonesia) harus membela dovish (kebijakan moneter ekspansif) atau hawkish (kebijakan moneter kontraktif) sesuai dengan kondisi ekonomi yang sedang berlaku. Penulis sendiri menyukai analogi penerapan kebijakan moneter dengan obat untuk ekonomi negara.
Sebagaimana obat, kebijakan moneter juga harus menggunakan resep dan dosis yang pas sesuai dengan kebutuhan negara pada waktu tertentu. Dalam konteks kebijakan moneter, dosis yang pas ini juga termasuk periode penggantian strategi atau kebijakan terkait. Sebab, dalam beberapa kasus, strategi dovish atau hawkish yang diterapkan secara berlebihan justru akan membuat negara tersebut masuk ke dalam krisis lainnya.
Contohnya adalah kebijakan quantitative easing (QE) yang diterapkan oleh The Federal Reserve (Bank Sentral di Amerika Serikat) ketika krisis finansial tahun 2008-2012 dan ketika pandemi covid19. Baik ketika krisis finansial maupun pandemi, suku bunga acuan Amerika Serikat (Federal Funds Rate) nyaris menyentuh angka 0.
Quantitative easing (QE) adalah kebijakan pembelian kembali obligasi pemerintah oleh Bank Sentral demi menambah jumlah uang yang beredar di pasaran, menekan suku bunga (dovish), dan pada akhirnya menggeliatkan roda perekonomian kembali.
Pada kasus quantitative easing (QE) gelombang pertama sampai ketiga (tahun 2008-2012), The Fed berhasil memulihkan kembali ekonomi Amerika Serikat. Hal ini ditandai dengan inflasi yang mulai naik dan tingkat pengangguran yang berkurang.
Akibatnya, keringanan suku bunga perbankan di negeri Paman Sam tersebut mulai dicabut pada tahun 2013. Dalam literatur lain, pencabutan keringanan suku bunga ini juga disebut dengan istilah tapering. Ini artinya, secara garis besar pada tahun 2008-2012 The Fed menerapkan strategi yang memihak dovish, sementara pada tahun 2013 hingga sebelum pandemi, lembaga keuangan terkemuka dunia ini menerapkan strategi hawkish.
Hal ini sedikit berbeda dengan kebijakan quantitative easing (QE) saat pandemi covid19. The Fed mulai menerapkan kebijakan ini untuk mempertahankan ekonomi Amerika Serikat dari dampak covid pada 15 Maret 2020. Namun, kebijakan ini harus segera dikurangi atau dicabut pada tahun 2022 akibat inflasi tinggi yang menyerang ekonomi negeri adidaya tersebut pada paruh awal tahun ini.
Meskipun tidak sampai menyentuh angka 0 juga, Bank Indonesia pernah melakukan strategi dovish (menurunkan suku bunga) ketika pandemi covid19. Sebelum pandemi, BI7DRR (suku bunga acuan Indonesia) berada pada level 4,75%, sebelum akhirnya turun bertahap hingga 3,5%. Nilai BI7DRR aik kembali secara bertahap untuk menanggapi pulihnya ekonomi negeri ini pasca covid19 dan menanggapi faktor-faktor ekonomi global. Per Oktober 2022, BI7DRR telah kembali ke level 4,75%.
Kesimpulan
Kebijakan moneter dovish dan hawkish harus dipilih sesuai dengan kondisi ekonomi yang berlaku. Sederhananya apabila ekonomi sedang krisis, maka strategi dovish dibutuhkan untuk memutar kembali roda perekonomian. Akan tetapi kalau dirasa roda perekonomian bergerak terlalu cepat, sehingga inflasi tinggi, maka strategi hawkish diberlakukan untuk mengerem pertumbuhan ekonomi tersebut.