Dalam perdagangan internasional, biasanya harga barang-barang yang diimpor cenderung lebih mahal dibandingkan barang yang sama tapi merupakan produksi lokal. Hal ini karena adanya biaya transportasi, bea cukai, pajak dan biaya lain-lain.
Misalnya, harga tas buatan China yang dijual di Indonesia cenderung lebih mahal dibandingkan harga tas buatan UMKM di Cibaduyut, Bandung. Produsen tas tersebut harus membayar ongkos kirim tas dari daratan Tiongkok ke Indonesia dan membayar bea cukai di Pelabuhan. Ini tentu berbeda dengan pengrajin tas di Cibaduyut.
Namun, ada kalanya harga barang impor lebih murah dibandingkan dengan harga barang lokal. Hal ini bisa terjadi karena dua hal, yaitu pertama memang biaya produksi barang tersebut di negara asalnya amat sangat murah karena adanya keunggulan komparatif, sehingga dengan tambahan biaya transportasi dan pajak masih lebih murah dibandingkan dengan produk lokal. Kedua, karena negara tersebut sengaja membuat harga barang tersebut di luar negeri lebih murah.
Apabila yang terjadi adalah hal yang kedua, maka negara pengekspor barang tersebut sedang menerapkan politik dumping.
Apa itu Dumping?
Dumping adalah salah satu jenis kebijakan dalam perdagangan internasional. Dalam kebijakan ini, pemerintah negara pengekspor membuat harga barang yang diekspor relatif lebih murah dibandingkan dengan harga barang tersebut di dalam negerinya sendiri.
Misalnya, Korea Selatan mengekspor handphone ke Indonesia. Di pasar domestik Korea, handphone tersebut dijual dengan harga 1.337.336 won atau sekitar Rp15.000.000. Alih-alih lebih mahal karena adanya pajak dan ongkos kirim, handphone tersebut justru dijual dengan harga Rp10.000.000 atau 880.000 won di Indonesia. Ini artinya, pemerintah Korea Selatan memberlakukan politik dumping atas produk handphone tersebut.
Hukum Dumping
World Trade Organization (WTO) selaku organisasi perdagangan dunia sebenarnya tidak melarang adanya politik dumping ini. Namun, sebagian besar negara termasuk Indonesia menganggap bahwa dumping merupakan praktik perdagangan yang tidak adil dan dapat mengancam kesejahteraan produsen lokal.
Umumnya, negara-negara di dunia membatasi praktik dumping dengan 3 jenis kebijakan, yaitu tarif, pembatasan kuota atau volume impor dan menandatangani kebijakan perdagangan khusus antar negara.
Indonesia sendiri telah merumuskan kebijakan anti dumping dalam beberapa peraturan. Termasuk diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2006 tentang kepabeanan.
Dalam peraturan tersebut, pemerintah menegaskan adanya bea masuk khusus untuk barang-barang yang disinyalir menjadi objek politik dumping. Misalnya, dicurigai barang-barang tersebut mendapatkan subsidi khusus dari pemerintah negara asalnya atau dicurigai harga ekspor-nya lebih rendah dibandingkan dengan harga domestik-nya.
Jenis-Jenis Dumping
Secara garis besar, politik dumping dapat terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
- Sporadic dumping
Sporadic dumping adalah kebijakan penetapan harga ekspor yang lebih rendah dengan tujuan dapat menjual produk yang diekspor dengan cepat, sehingga stok produk tersebut di pasar domestik bisa habis. Sesuai dengan namanya, dumping jenis ini bersifat sporadis dan sementara.
- Persistent dumping
Kebalikan dari jenis yang pertama, persistent dumping adalah politik dumping yang dilakukan secara terus menerus demi menguasai pangsa pasar negeri tujuan dalam jangka panjang.
- Predatory dumping
Predatory dumping adalah kebijakan dumping yang ditujukan untuk memenangkan persaingan ekspor di negara tujuan. Ketika pesaing sudah keluar dari pasar negara tersebut, maka negara pelaku jenis dumping ini perlahan-lahan akan meningkatkan harga jual produknya.
Tujuan Dumping
Politik dumping umumnya diterapkan oleh sebuah negara karena tujuan-tujuan berikut:
- Menghabiskan stok barang.
Ada kalanya stok barang yang ada di sebuah negara menumpuk, sehingga politik dumping diperlukan supaya barang tersebut lebih mudah terjual ke pasar luar negeri dan tidak menjadi sunk cost.
- Menguasai pangsa pasar luar negeri.
Dumping acap kali juga diterapkan supaya negara pengekspor dapat menguasai pasar produk tersebut di negara pengimpor baik dari pesaing asal negara lain atau dari domestik negara pengimpor itu sendiri.
- Mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Seiring dengan dikuasainya pangsa pasar luar negeri, maka potensi keuntungan yang diperoleh oleh negara pengekspor juga semakin besar.
Dampak Positif Politik Dumping
Bagi eksportir
Dampak positif utama dari politik dumping adalah meningkatnya potensi pendapatan negara (devisa) dari perdagangan internasional. Hal ini karena dengan adanya harga yang murah, importir dari negara tujuan bisa membeli barang dalam jumlah banyak, khususnya apabila barang tersebut dibutuhkan untuk bahan baku usaha atau tidak ditemukan di negara tujuan.
Ketika ekspor meningkat, maka dampaknya juga terasa pada sektor moneter maupun sektor riil. Di sektor moneter, hal ini bisa berakibat pada penguatan nilai tukar mata uang negara tersebut, sedangkan di sektor riil, hal ini bisa berakibat pada peningkatan jumlah tenaga kerja sektor barang yang diekspor.
Bagi importir
Bagi importir, kebijakan dumping dapat membuat biaya yang dibutuhkan untuk mengimpor barang akan lebih murah. Jika barang-barang impor tersebut adalah barang bahan baku, maka kebijakan ini bisa menurunkan biaya produksi.
Dampak Negatif Politik Dumping
Bagi eksportir
Politik dumping bisa jadi menguntungkan, tetapi keuntungan tersebut harus dibayar dengan biaya besar. Biaya utama dari politik dumping adalah subsidi. Ketika harga barang sengaja dibuat lebih murah di pasar luar negeri, maka mau tidak mau pemerintah negara pengekspor harus memberikan subsidi kepada produsen barang tersebut, atau kalau tidak, produsen akan merugi.
Apabila subsidi diberikan secara terus menerus dan hasil politik dumping tersebut belum tampak, maka pemberian subsidi tersebut dapat berdampak negatif pada keuangan negara. Hal ini akan semakin parah apabila negara tujuan mengetahui kebijakan dumping tersebut dan menaikkan tarif bea masuk atau memotong kuota impor maksimal.
Bagi importir
Bagi negara pengimpor barang, kebijakan dumping dari luar negeri bisa mematikan iklim bisnis dalam negeri. Khususnya apabila barang yang diimpor dari luar negeri tersebut merupakan barang yang sama atau mirip dengan barang yang diproduksi dalam negeri.
Misalnya, Indonesia mengimpor tas dari China. Jika harga tas dari China lebih murah dibandingkan harga tas dari Cibaduyut, maka lambat laun warga Indonesia akan lebih sering membeli tas dari China dibandingkan dari Cibaduyut. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka ini berakibat pada matinya produsen tas dari Bandung tersebut. Selain itu, ketergantungan terhadap produk impor juga tidak baik untuk kondisi makroekonomi dalam jangka panjang karena pelemahan nilai tukar.
Contoh Dumping
Pada April 2023 lalu, Indonesia melayangkan permintaan pembentukan panel diskusi di WTO untuk menjembatani perselisihan antara Indonesia dan Uni Eropa atas kebijakan anti-dumping yang diterapkan oleh UE terhadap produk pelat baja putih asal negeri ini.
Meskipun pemerintah Indonesia menyadari bahwa kebijakan anti-dumping diterapkan untuk melindungi industri domestik negara-negara UE, namun pemerintah menilai bahwa penerapan kebijakan anti-dumping tersebut menyalahi aturan perdagangan internasional.