Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Ekonomi Perang? Pengertian dan Tujuannya

Ekonomi Perang

Pernahkah Anda mendengar istilah ekonomi perang? Yup! Masa perang atau konflik tidak hanya membutuhkan tenaga manusia yang kuat saja untuk menghadapi musuh di medan perang, tetapi juga membutuhkan alokasi sumber daya ekonomi yang mumpuni supaya negara dapat bertahan dalam menghadapi masa konflik tersebut. 

Misalnya pada masa penerapan ekonomi komunis sepenuhnya di China, banyak sumber daya manusia yang dialokasikan oleh negara untuk bekerja di pabrik-pabrik baja maupun alat berat lainnya. Hasil produksi pabrik-pabrik ini nantinya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan di medan perang. 

Pengertian Ekonomi Perang 

Dilansir dari Investopedia, ekonomi perang atau War Economy adalah pengaturan seluruh kapasitas produksi dan distribusi sebuah negara ketika masa perang atau konflik. Pengaturan ini dibutuhkan karena saat masa-masa konflik, sebuah negara membutuhkan berbagai penyesuaian di dalam negeri supaya bisa bertahan atau bahkan menang melawan negara lawan. 

Berbagai penyesuaian ekonomi dilakukan dalam ekonomi perang. Namun umumnya, penyesuaian kebijakan ekonomi ini difokuskan pada hal-hal yang mendukung perang, seperti peningkatan anggaran keamanan dan pertahanan, alokasi tenaga kerja untuk pabrik-pabrik yang mendukung perang, hingga perekrutan tentara baru untuk memenuhi kebutuhan sumber daya di medan perang. 

Strategi Ekonomi Perang

Dalam menyesuaikan kondisi ekonomi saat perang, negara bisa melakukan strategi sebagai berikut:

1. Alokasi tenaga kerja untuk kebutuhan perang

Ketika sedang mengalami perang dengan negara lain, sebuah negara membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar supaya bisa bertahan. Tenaga kerja jumlah besar ini tidak hanya akan dipekerjakan sebagai tentara, tetapi juga tenaga medis, manajemen sumber daya pertahanan dan lain sebagainya. 

Bahkan menurut history.com, tingkat pengangguran di Amerika Serikat pada masa Perang Dunia 2 turun hingga mencapai 1,2%. Ini artinya jika penduduk AS waktu itu adalah 1 juta jiwa, maka hanya ada 1.200 orang yang menganggur. 

Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun-tahun yang sebelumnya. Pada periode 1929-1943, tingkat pengangguran di negeri Paman Sam tersebut bahkan sempat mencapai 25% (1 dari 4 orang tenaga kerja menganggur) akibat The Great Depression. 

2. Pelibatan tenaga kerja wanita untuk perang

Dalam sejarahnya, perang dunia ke-2 merupakan masa penting dalam meningkatkan keterlibatan wanita dalam dunia kerja. Sederhananya, jika laki-laki dituntut untuk menjadi garda terdepan dengan menjadi tentara, mau tidak mau wanita harus menjadi tulang punggung keluarga, sehingga tidak heran jika pada masa ini banyak wanita yang bekerja di pabrik-pabrik yang memproduksi barang penting untuk perang, menjadi tenaga medis atau bahkan menjadi tentara itu sendiri. 

Dilansir dari London School of Economics, diperkirakan ada sekitar 800.000 tentara perempuan di tubuh tentara Rusia, jumlah tenaga kerja wanita di industri pertahanan Amerika Serikat naik hingga 456% dan lebih dari 2,2 juta wanita di Inggris bekerja di industri-industri penting. 

Di Indonesia sendiri, pada masa penjajahan Jepang terdapat korps perempuan Fujinkai. Anggota Fujinkai tidak hanya bertugas untuk membantu tentara yang sedang berperang di garis belakang, seperti mendistribusikan makanan, pertolongan pertama dan lain sebagainya. Namun, korps tentara wanita ini juga dilatih sebagaimana tentara pada umumnya untuk berjaga-jaga ketika situasi mendesak. 

3. Peningkatan jumlah pajak

Perang tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia yang besar, tetapi juga modal yang besar baik itu untuk menurunkan tentara di medan perang atau untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak. Maka dari itu, tidak heran jika pemerintah menggunakan segala cara untuk meningkatkan pendanaan untuk perang. 

Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah dengan meningkatkan jumlah pajak yang dibebankan kepada perusahaan-perusahaan dalam negeri. Jika hal ini tidak memungkinkan, maka beberapa cara lain yang kini juga banyak dilakukan oleh negara-negara yang sedang berkonflik adalah dengan mengalihkan pendapatan yang sebelumnya untuk keperluan lain menjadi untuk keperluan perang, mencari pendanaan dari luar negeri baik itu dalam bentuk utang atau hibah hingga penerbitan surat berharga pemerintah (obligasi). 

4. Memaksimalkan kinerja di bidang pertanian dan perkebunan

Pertanian dan perkebunan adalah sektor penting untuk mendukung usaha perang, sebab hasil dari kedua sektor ini dibutuhkan untuk menyuplai tenaga bagi tentara, menyuplai bahan pelumas untuk mesin-mesin perang dan lain sebagainya. Maka dari itu tidak heran jika pada masa perang, petani dan pekebun tidak diwajibkan untuk bergabung dalam korps tentara dan bahkan supply bahan-bahan yang mendukung pertanian berusaha dijaga dengan baik oleh pemerintah. 

Namun demikian, hal ini juga mendulang dampak negatif bagi petani dan pekebun. Sebab, sebagian hasil pertanian dan perkebunan mereka harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya (biasanya lebih murah dibandingkan dengan harga pasaran). 

5. Kebijakan rasioning

Rasioning atau rationing adalah kebijakan pembagian sumber daya sesuai dengan alokasi tertentu. Kebijakan ini diterapkan dalam masa perang sebab dalam masa-masa ini pemerintah membutuhkan sumber daya yang besar untuk memenuhi kebutuhan perang. 

Misalnya pemerintah memerintahkan 70% dari hasil BBM dalam negeri untuk keperluan perang, sementara 30% sisanya untuk masyarakat. Untuk menjaga supaya ekonomi tetap stabil, pemerintah lalu menerapkan kebijakan rationing tambahan, misalnya dengan mengatur supaya mobil yang sama hanya bisa mengisi BBM tiga hari sekali. 

6. Penutupan peluang perdagangan internasional

Jika sebuah negara yang berperang memiliki sumber daya penting untuk perang dan biasanya menggunakannya untuk ekspor, maka ketika perang, ekspor tersebut harus dihentikan. Tujuannya adalah supaya sumber daya penting tersebut dapat dialokasikan untuk kebutuhan perang dalam negeri. 

Misalnya, Indonesia adalah salah satu eksportir batubara terbesar di dunia. Batubara diperlukan sebagai bahan pembangkit listrik dan bahan bakar otomotif. Ketika Indonesia sedang berperang dengan negara lain, maka bukan tidak mungkin ekspor batubara dari negeri ini akan dihentikan. 

Contoh Ekonomi Perang

Contoh nyata ekonomi perang di Indonesia terjadi pada masa Penjajahan Jepang pada tahun 1942-1945. Sebagai negara dengan penduduk yang relatif tidak banyak, Jepang menekankan penggunaan sumber daya manusia dari negara-negara, jajahan termasuk Indonesia untuk membantu melawan tentara sekutu. Selain korps wanita Fujinkai, di Indonesia hal ini juga diwujudkan dengan terciptanya Pembela Tanah Air (PETA), Keibodan (pasukan keamanan) dan Seinendan (tenaga militer muda). 

Tidak sumber daya manusia, sumber daya alam Indonesia juga difokuskan untuk kebutuhan perang. Misalnya, 30% hasil panen harus diserahkan kepada penjajah, 30% untuk desa dan 40% baru untuk petani. Produksi beberapa komoditas ekspor Indonesia saat itu juga dihentikan karena dinilai tidak memiliki manfaat yang signifikan untuk perang. 

Kalah menjadi abu, menang menjadi arang, peperangan tidak hanya merugikan pihak yang kalah, tetapi juga pihak yang menang. Ketika pihak yang kalah acap kali harus membayar ganti rugi, pihak pemenang juga harus menghadapi perlambatan ekonomi, termasuk ketika perang telah usai, pihak pemenang tetap harus memperbaiki banyak pondasi ekonomi.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *