Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Ekonomi Positif?

Ekonomi positif

Tahukah Anda, bahwasanya banyak program studi ekonomi di berbagai kampus di Indonesia menuntut adanya kemampuan matematik dan statistik yang cukup kuat? Maka dari itu, tidak heran jika banyak kampus yang memberikan peluang lebih besar untuk mahasiswa baru dengan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) saat SMA, dibandingkan dengan mahasiswa baru dengan latar belakang IPS untuk masuk jurusan ini meskipun, lulusan IPS sudah dibekali dengan mata pelajaran ini sebelumnya. 

Hal ini bisa terjadi karena banyak kampus yang ingin membekali mahasiswanya dengan pendekatan ekonomi positif dengan berbasis data. Tujuannya adalah supaya lulusan kampus tersebut mampu memberikan rekomendasi kebijakan yang tidak hanya berbasis norma atau teori saja, melainkan juga berbasis data.

Pengertian Ekonomi Positif

Ekonomi positif adalah perspektif ekonomi dengan menggunakan pendekatan yang objektif berbasis data terkini. Berbeda dengan ekonomi normatif, pertanyaan yang harus dijawab pada pendekatan ini adalah “bagaimana kondisi ekonomi saat ini?”. 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti diharuskan untuk melakukan investasi dengan mengumpulkan dan mengolah data terkini. Hasil investigasi tersebut kemudian digunakan untuk merumuskan kebijakan, solusi atau strategi untuk memperbaiki kondisi ekonomi kedepannya. 

Asumsi dasar yang digunakan dalam pendekatan ini adalah asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan mereka akan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang mereka dapatkan. Perilaku rasional berdasarkan informasi itu contohnya, seperti apabila Anda lebih suka apel dibandingkan jeruk, dan lebih suka jeruk dibandingkan jambu, maka Anda akan lebih suka apel dibandingkan jambu. 

Sejarah ekonomi positif dapat ditelusuri hingga pertengahan abad ke-19. Ketika itu dua ilmuwan asal Inggris, John Stuart Mill dan John Neville Keynes percaya bahwasanya, penggunaan data, logika dan metodologi penting dalam analisis ekonomi. 

Pemahaman ini kemudian dibawa lebih lanjut oleh Milton Friedman, seorang ilmuwan Amerika Serikat, pada tahun 1950-an. Pada essay yang beliau terbitkan pada tahun 1953, Friedman menyebutkan bahwa tujuan dari ekonomi positif adalah untuk menyediakan hasil analisis yang valid dan bermakna untuk membangun prediksi perekonomian yang tepat, teruji dan cocok dengan data empiris. Dengan demikian, hasil dari kebijakan pemerintah akan memiliki risiko pertentangan yang rendah, sehingga para pemangku kebijakan dan ahli dapat menentukan kebijakan terbaik untuk perekonomian kedepannya. 

Cara Kerja Ekonomi Positif

Dalam ekonomi positif, analisis dilakukan dengan menarik hubungan sebab dan akibat. Misalnya, perluasan area Tempat Pembuangan Akhir di daerah A membuat harga rata-rata rumah di daerah A menurun sekian persen.

Hubungan sebab dan akibat tersebut kemudian disederhanakan menggunakan model statistik yang didasarkan pada asumsi tertentu. Misalnya dengan asumsi bahwa perluasan pembangunan TPA akan meningkatkan polusi udara di daerah A, sehingga permintaan perumahan di daerah tersebut menurun dan harganya juga menurun. Asumsi ini tidak hanya dibangun berdasarkan perkiraan saja, melainkan dengan teori ekonomi yang berlaku dan penelitian-penelitian sebelumnya.

Adapun mengenai model, model yang acap kali digunakan adalah regresi linier. Dalam menggunakan metode ini, peneliti dituntut untuk tetap mengakui bahwasanya bisa jadi analisis yang mereka gunakan tidak sepenuhnya mewakili kondisi di lapangan. Hal ini mengingat bahwasanya model hanya merupakan penyederhanaan kondisi di lapangan. 

Kesimpulan kemudian ditarik dari hasil analisis tersebut. Kesimpulan para peneliti mengenai ekonomi positif ini kemudian dapat diuji oleh peneliti lainnya maupun pihak yang berkepentingan. Maka dari itu, tidak heran jika banyak peneliti dengan objek penelitian ekonomi positif yang sama namun memiliki hasil analisis yang berbeda. 

Contoh Ekonomi Positif

Penetapan Upah Minimum Regional (UMR) selalu menjadi topik hangat dalam perekonomian Indonesia. Banyak masyarakat yang menilai bahwa kenaikan standar gaji (UMR) tidak sesuai dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Statement masyarakat ini merupakan contoh dari ekonomi normatif karena bersifat subyektif dan tidak berdasarkan data. 

Baik atau buruknya peningkatan UMR akan menjadi studi ekonomi positif apabila ada penelitian secara menyeluruh yang menganalisis dampak kenaikan UMR terhadap pertumbuhan atau daya beli masyarakat secara keseluruhan. Kesimpulan dari hasil analisis ini tidak bersifat absolut dan bisa dikritisi oleh penelitian lainnya. 

Contoh lainnya adalah asumsi bahwa menempuh pendidikan yang lebih lama atau fasilitas pendidikan yang lebih baik dapat memperbaiki kondisi perekonomian sebuah keluarga atau bahkan sebuah negara. Pernyataan ini akan tetap menjadi pernyataan ekonomi normatif apabila tidak disertai dengan penelitian yang memadai. 

Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai dampak pendidikan terhadap perekonomian sudah pernah dilakukan oleh ilmuwan Harvard bernama Esther Duflo pada tahun 2001. Pemenang nobel ekonomi tersebut menyebutkan bahwa pembangunan 61.000 SD INPRES pada zaman orde baru berhasil meningkatkan ekonomi masyarakat Indonesia sebesar 6,8-10,6%. Hasil penelitian Duflo ini kemudian menjadi salah satu literatur penelitian serupa baik di dalam maupun di luar negeri. 

Pro dan Kontra Ekonomi Positif

Kelebihan:

  1. Berbasis data. Akibatnya, ekonomi positif bersifat relatif objektif, mudah diverifikasi dan diuji ulang. 
  2. Memberikan kemampuan kepada pemangku kebijakan untuk membuat kebijakan yang tepat guna. Dengan data yang terus diperbaharui, ekonomi positif memungkinkan pemerintah atau otoritas pemangku kebijakan lainnya untuk menghasilkan kebijakan dan strategi ekonomi yang lebih tepat guna. Selain itu, karena sifatnya yang bisa diverifikasi, ekonomi positif juga memungkinkan pihak terkait untuk melakukan evaluasi yang diperlukan. 
  3. Memberikan peluang kepada individu untuk mengambil keputusan ekonomi yang lebih logis. Misalnya, dengan hasil penelitian yang memprediksi bahwa akan ada perlambatan ekonomi di tahun 2023, individu dapat segera mempersiapkan diri sedari dini dengan menambah kapasitas dana darurat. 

Kekurangan

  1. Manusia tidak sepenuhnya rasional. Ada kalanya emosi mempengaruhi keputusan ekonomi seseorang. Contohnya, Anda jatuh cinta dengan wanita penggemar jambu, maka Anda bisa saja rela membeli atau memakan jambu dihadapan wanita tersebut, meskipun sebenarnya Anda tidak suka. 
  2. Ekonomi bukan ilmu pasti. Meskipun banyak aspek matematis dan statistik, namun ilmu ekonomi masih merupakan bagian dari ilmu sosial. Akibatnya, tidak ada solusi atau konklusi yang sifatnya pasti. Contohnya misalnya, potensi terjadinya krisis ekonomi bisa jadi akan meningkatkan permintaan obligasi pemerintah di Amerika Serikat. Namun, karena satu dan lain hal, potensi krisis ekonomi bisa jadi tidak berdampak sama pada permintaan obligasi di Indonesia. 
  3. Tidak ada satu solusi untuk semua. Bisa jadi kebijakan ekonomi pemerintah suatu negara didasarkan pada fakta dan data. Namun, kebijakan hasil ekonomi positif tersebut bisa jadi tidak memiliki dampak yang sama untuk semua lapisan masyarakat. Oleh sebab itu, data dan fakta ekonomi sebuah daerah harus tetap diperbaharui dan dijaga validitasnya, supaya hasil kebijakan ekonomi terus membaik dari waktu ke waktu.
Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *