Jika ada lembaga internasional yang memiliki hubungan benci tapi cinta dengan Indonesia, maka lembaga itu adalah International Monetary Fund (IMF). Mengapa demikian? Simak selengkapnya berikut ini.
Apa itu IMF?
Dana moneter internasional atau International Monetary Fund (IMF) adalah lembaga keuangan internasional yang bertugas untuk menumbuhkan kerjasama keuangan internasional, menjaga stabilitas keuangan dunia, memfasilitasi perdagangan internasional, menjaga tingkat pengangguran dan menekan kemiskinan.
Ide pendirian lembaga ini pertama kali dicetuskan oleh Henry Dexter White dan John Maynard Keynes sebelum kemudian disetujui oleh 29 negara anggotanya dalam perjanjian Bretton Woods pada tahun 1944. Lembaga ini didirikan bersamaan dengan lembaga keuangan dunia lainnya, yaitu World Bank -Bank Dunia- dengan tujuan untuk mencegah terulangnya The Great Depression. Saat ini, lembaga ini memiliki 190 negara anggota, termasuk di antaranya adalah Indonesia.
Sejarah IMF
Pada dekade 1920-an sampai 1945, negara-negara di dunia mengalami dua kejadian penting, yaitu Perang Dunia 2 dan The Great Depression (zaman Malaise). Dua kejadian penting tersebut membuat perekonomian dunia luluh lantak.
Banyak negara di dunia yang kemudian mengambil kebijakan pembatasan impor demi memulihkan kondisi ekonomi. Batasan impor ini kemudian justru mengakibatkan penurunan nilai tukar mata uang tersebut dan semakin dalamnya krisis yang terjadi.
Hal ini tak luput dari pengamatan para pemimpin dunia saat itu dan ahli ekonomi. Pada tanggal 1 Juli-22 Juli 1944 730 delegasi dari 44 negara di seluruh dunia berkumpul di sebuah daerah bernama Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat. Para delegasi tersebut berkumpul dengan tujuan untuk menentukan sistem nilai tukar mata uang antar negara, pencegahan terhadap devaluasi mata uang negara dan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggotanya.
Hasil utama pertemuan ini adalah Bretton Woods Monetary System. Dalam sistem ini, nilai mata uang dunia dalam perdagangan internasional akan didasarkan pada dolar dengan tingkat rasio pertukaran yang tetap (fixed rate). Adapun dolar sendiri akan didasarkan pada emas yaitu US$ 35 setara dengan 1 ons emas.
Untuk membantu penerapan sistem ini sekaligus membantu negara-negara di dunia pasca perang, konferensi tersebut juga menghasilkan dua lembaga ekonomi besar, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank).
Sistem nilai tukar tetap ala Bretton Woods System kemudian berakhir pada tahun 1971 ketika presiden Amerika Serikat kala itu, Richard Nixon, mengumumkan bahwa nilai dolar tidak lagi terikat dengan emas, sehingga sepenuhnya menjadi mata uang fiat. Setelah sistem ini berakhir, IMF dan Bank Dunia tetap menjadi lembaga keuangan terkemuka di dunia dengan IMF mempromosikan nilai tukar floating -kurs berubah-ubah sesuai permintaan dan penawaran- seperti saat ini.
Tugas IMF
Tugas IMF adalah membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menekan kemiskinan dengan cara memberikan saran dan bantuan keuangan kepada negara anggota yang bersangkutan. Dalam menjalankan tugasnya ini, IMF melakukan 3 hal, yaitu:
- Mengawasi roda perekonomian negara-negara anggota, dan memberikan perkiraan ekonomi, sehingga negara-negara anggota lebih bisa fokus untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
- Memberikan pelatihan dan saran untuk perkembangan ekonomi negara-negara anggota. Pelatihan ini termasuk pelatihan pengumpulan dan analisis data-data ekonomi.
- Memberikan pinjaman likuiditas kepada negara-negara anggota yang membutuhkan.
Lalu, dari mana IMF mendapatkan dana untuk dipinjamkan? Lembaga ini mendapatkan dana dari hasil iuran anggota. Besaran iuran yang diberikan oleh negara anggota ditentukan berdasarkan kapasitas ekonomi negara anggota tersebut. Besaran iuran juga menentukan hak voting di dalam lembaga ini. Ini artinya, negara-negara dengan ekonomi besar, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa memiliki hak voting besar di IMF.
Peran IMF untuk Indonesia
Indonesia adalah negara yang merdeka dalam kondisi ekonomi sulit. Menurut Boediono dalam buku beliau yang berjudul Ekonomi Indonesia (2017), sebagaimana dilansir dari tirto.id, setelah mendapatkan kedaulatan resmi dari Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, Indonesia tetap harus menanggung utang Pemerintah Hindia Belanda, menggaji karyawan eks Belanda selama 2 tahun dan menampung puluhan ribu tentara KNIL.
Hal ini mengakibatkan neraca pembayaran Indonesia defisit sebesar 5,1 miliar rupiah. Maka dari itu, tidak heran jika setelah masa berkonflik dengan Belanda cukup reda, Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno secara resmi menjadi anggota IMF dan Bank Dunia pada tanggal 15 April 1954.
Pada Agustus 1956, Indonesia mendapatkan bantuan dari IMF sebesar USD$ 55 juta. Namun, nyatanya bantuan ini tidak cukup untuk memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia yang benar-benar terpuruk. Hal ini diperparah dengan desakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dulu sempat memegang peran dominan di era Soekarno.
D.N Aidit, pimpinan partai tersebut, mendesak presiden pertama Indonesia tersebut untuk menolak bantuan pinjaman asing. Desakan PKI ini membuahkan hasil. Pada tahun 1963, Presiden Soekarno menolak bantuan IMF dan pada tahun 1963 dan pada puncaknya, pada 17 Agustus 1965, Indonesia menyatakan keluar dari IMF dan Bank Dunia.
Hal ini tidak berlangsung lama. Pasalnya, pada tahun 1967 di bawah pimpinan Presiden Soeharto, Indonesia kembali menjadi anggota dua lembaga keuangan dunia ini. Selama masa orde baru, Indonesia mengalami banyak kemajuan ekonomi meskipun juga diiringi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tingginya KKN ditambah dengan lemahnya sistem perbankan Indonesia saat itu, kemudian menjerumuskan negeri ini ke dalam krisis baru, yaitu Krisis Moneter 1998.
Pada periode Oktober 1997- Januari 1998, setelah berbagai paket kebijakan ekonomi tidak mampu membendung anjloknya nilai tukar rupiah, Presiden Soeharto secara resmi menandatangani Letter of Intent (LoI) yang diterbitkan oleh IMF. Dalam dokumen tersebut, IMF menyatakan setuju memberikan bantuan kepada Indonesia sebesar USD$ 43 miliar secara bertahap selama 3 tahun.
Namun, bantuan dari IMF ini tidak cuma-cuma. Indonesia dituntut untuk memenuhi serangkaian prasyarat, seperti pengetatan sektor moneter, pembenahan sistem perbankan dan pengetatan kebijakan fiskal, termasuk di antaranya adalah pencabutan subsidi BBM dan penutupan 16 bank sakit.
Tak dinyana, efek samping dari prasyarat ini justru membuat Indonesia terjerumus ke dalam krisis yang semakin dalam. Pencabutan subsidi BBM membuat harga barang-barang lain ikut naik, sehingga terjadi gejolak sosial di masyarakat. Di sisi lain, penutupan 16 bank justru membuat nasabah bank-bank lain ketakutan dan menarik uangnya dari bank mereka, akibatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar semakin anjlok, hingga menembus angka 1 dolar setara dengan 16.650 rupiah pada Juni 1998.
Proses pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis 1998 boleh dikatakan tidak instan. Setelah Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, Pemerintah Indonesia di bawah Presiden B.J Habibie, Gus Dur dan Megawati sempat mengajukan pinjaman kembali, sebelum pada akhirnya pinjaman ke IMF tersebut lunas pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2006 (Tirto).