Dalam mengatur kondisi ekonomi makro sebuah negara, pemerintah setidaknya menjalankan dua jenis kebijakan, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Meskipun sama-sama bertujuan untuk mengatasi permasalahan ekonomi sebuah negara, namun kenyataannya dua kebijakan ini memiliki scope yang berbeda.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi makro yang menyangkut anggaran penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Adapun kebijakan moneter adalah kebijakan yang menyangkut peredaran mata uang di negara tersebut.
Berikut ini rincian perbedaan antara kebijakan fiskal dan moneter:
1. Regulator
Di Indonesia, otoritas yang mengatur dua kebijakan ini adalah otoritas yang berbeda. Kebijakan fiskal dikelola oleh Kementerian Keuangan dan lembaga-lembaga terkait, seperti Direktorat Jenderal Pajak, sementara kebijakan moneter diatur oleh Bank Indonesia. Meskipun berbeda, namun kedua instansi tersebut tetap harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2. Instrumen
Kebijakan moneter dan fiskal juga memiliki perbedaan dalam hal instrumen (alat dan langkah) yang digunakan untuk mencapai target kebijakan. Berikut ini beberapa instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk menjalankan fungsinya:
- Operasi pasar terbuka (open market policy). Dalam instrumen ini, BI memperjualbelikan surat berharga kepada bank maupun institusi terkait untuk menambah atau mengurangi likuiditas (jumlah uang yang ada di pasaran).
- Kebijakan diskonto, yaitu dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan.
- Cadangan kas minimum (reserve requirement). Bank Indonesia menetapkan persentase tertentu dari total uang nasabah yang disetorkan dalam bentuk simpanan untuk tidak disalurkan lagi menjadi pinjaman (kredit.
- kebijakan kredit selektif. Dalam hal ini, BI menganjurkan bank-bank umum untuk memberikan kredit kepada nasabah secara lebih selektif. Sebab kredit yang diberikan secara sembrono dapat meningkatkan risiko likuiditas bank.
- Imbauan moral.
Selain itu, Bank Indonesia juga menentukan target ekonomi makro, seperti inflasi dan sebagainya. Umumnya, kebijakan Bank Indonesia ini tidak secara langsung berdampak kepada masyarakat, melainkan melalui perantara bank-bank umum terlebih dahulu.
Adapun kebijakan fiskal, dilakukan dengan instrumen yang lebih variatif, seperti meningkatkan pendapatan negara, baik itu dari pajak maupun non pajak, mengurangi pendapatan dengan meningkatkan subsidi, dan berbagai program lainnya.
3. Cara Kerja
Perbedaan selanjutnya antara kebijakan fiskal dan moneter adalah cara dan transmisi kerja. Misalnya, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia membuat kebijakan moneter ekspansif. Caranya adalah dengan menurunkan suku bunga acuan dan memberikan jaminan likuiditas kepada bank umum, sehingga bank umum berani memberikan kemudahan kredit kepada nasabah. Harapannya adalah nasabah banyak mengajukan kredit dan menggunakan uang pinjaman tersebut untuk memutar roda bisnisnya atau membeli barang-barang yang diperlukan.
Di sisi lain, untuk meningkatkan roda perekonomian, kebijakan fiskal bekerja dengan cara berbeda. Misalnya, dengan memotong pajak-pajak tertentu untuk mendorong UMKM berekspansi atau memberikan bantuan langsung tunai dengan harapan bantuan tersebut dapat digunakan untuk membeli barang dan jasa yang dibutuhkan.
4. Peranan
Perbedaan mendasar antara kedua kebijakan ini adalah peranan keduanya dalam mencapai level ekonomi yang ditargetkan. Peran kebijakan moneter adalah mengelola perekonomian dengan mengontrol jumlah uang beredar. Uang beredar dikontrol dengan meningkatkan suku bunga acuan.
Adapun peran kebijakan fiskal adalah mengelola perekonomian dengan mengontrol penerimaan dan belanja pemerintah. Penerimaan pemerintah ini, bisa termasuk pajak, maupun non-pajak, seperti hibah dan retribusi, sedangkan pengeluaran pemerintah termasuk biaya untuk gaji PNS, subsidi, biaya untuk menjalankan program, dan lain sebagainya. Termasuk diantaranya adalah mengelola utang negara baik yang berasal dari luar negeri, maupun dalam negeri.
5. Dampak Terhadap Investasi
Sedikit banyak, dua kebijakan ekonomi makro ini juga dapat mempengaruhi iklim investasi baik itu investasi langsung (FDI dan DDI), maupun investasi tidak langsung (membeli saham atau surat berharga lainnya).
Pajak sebagai instrumen kebijakan fiskal misalnya. Saat ini pendapatan saham dan obligasi adalah salah satu objek Pajak Penghasilan (PPh). Besarannya adalah 0,1% untuk transaksi penjualan saham dan 10% untuk dividen dan kupon obligasi. Sejauh ini, hanya reksa dana yang tidak dikenakan pajak. Pendapatan dari pajak tersebut kemudian akan masuk ke dalam kas negara.
Adapun dampak kebijakan moneter terhadap investasi, seperti perubahan suku bunga acuan terhadap harga dan yield obligasi. Peningkatan suku bunga acuan dapat menyebabkan harga obligasi yang baru terbit lebih tinggi dibandingkan dengan harga obligasi yang terbit sebelumnya. Akibatnya, harga obligasi yang terbit sebelumnya itu turun.
6. Dampak Terhadap Nilai Tukar
Tidak hanya pada instrumen pasar modal saja, kebijakan fiskal dan moneter juga bisa berdampak pada pasar forex (foreign exchange/ valas). Pada pasar forex, peningkatan suku bunga acuan dalam negeri bisa menarik investor atau trader dari luar negeri untuk membeli rupiah dan memasok dolar. Akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar meningkat.
Adapun dampak kebijakan fiskal terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar cenderung tidak langsung. Misalnya, kebijakan peningkatan pajak impor barang-barang mewah PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah), bisa meningkatkan pendapatan negara dari pajak sekaligus, mencegah pengusaha untuk mengimpor barang, sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa stabil.
7. Tantangan
Instrumen dan mekanisme yang berbeda juga membuat tantangan kebijakan moneter dan fiskal yang berbeda pula. Contohnya, kebijakan suku bunga rendah tidak berhasil mendorong konsumsi dan produksi di masyarakat, atau sebaliknya, suku bunga yang tinggi tidak berhasil membuat masyarakat meningkatkan jumlah tabungannya atau jumlah investasinya.
Pada kebijakan fiskal, tantangan ini bisa berupa penerapan kebijakan yang tepat sasaran, Misalnya, penerapan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat dengan harapan dapat meningkatkan daya beli. Seringkali permasalahan yang melingkupi penerapan BLT di lapangan adalah banyaknya masyarakat tidak miskin yang mendapatkan bantuan karena satu dan lain hal, sementara masyarakat miskin tidak. Tentu hal ini akan membuat efektivitas kebijakan fiskal dipertanyakan.
Kebijakan moneter dan fiskal harus digunakan secara melengkapi satu sama lain dan dirumuskan dalam proporsi yang pas. Menurut Troy Segal dalam laman Investopedia, penerapan kebijakan yang tidak pas tidak akan berguna banyak untuk perekonomian. Pada kebijakan fiskal misalnya. Penerapan kebijakan fiskal yang terlalu ekspansioner justru akan meningkatkan inflasi.
Dalam hal kebijakan moneter, Segal mengambil contoh pada kasus the Great Depression dimana The Federal Reserve (bank sentral Amerika Serikat) mencoba menenangkan kondisi ekonomi negara dengan menurunkan suku bunga berharap kalau simpanan akan naik dan deflasi terhenti. Namun nyatanya, kebijakan moneter tersebut tidak berdampak banyak terhadap kondisi ekonomi masyarakat ketika itu.