Lompat ke konten
Daftar Isi

Middle Income Trap: Pengertian dan Cara Mengatasinya

Middle Income Trap

Middle income trap adalah kerangka berpikir yang memahami bahwa suatu negara yang sudah “naik kelas” dari negara miskin menjadi negara menengah akan “lebih susah” untuk naik kelas lagi dari menjadi negara maju.

Bank Dunia membagi negara di duniaberdasarkan pendapatannya ke dalam 4 kategori, yaitu:

  1. Negara miskin (Low-income countries) dengan GNI per kapita kurang dari $1,135 per tahun pada tahun 2022;
  2. Negara menengah kebawah (Lower-middle-income countries) dengan GNI per kapita sekitar $1,136 sampai $4,465 per tahun pada tahun 2022;
  3. Negara menengah ke atas (Upper-middle-income countries) dengan GNI per kapita sekitar $4,466 sampai $13,845 per tahun pada tahun 2022. 
  4. Negara maju (High-income countries) engan GNI per kapita di atas $13,845 per tahun pada tahun 2022. 

Pasca tahun 1945, ada banyak negara yang bisa berpindah dari negara miskin menjadi negara menengah, seperti Indonesia dan Malaysia. Namun, tidak banyak dari negara tersebut yang “bisa naik status lagi” menjadi negara maju. Negara yang susah naik menjadi negara maju inilah yang terjebak dalam Middle income trap atau jebakan kelas menengah. 

Pengertian Middle Income Trap

Seperti yang telah dijelaskan di atas, sederhananya, middle income trap adalah kerangka berpikir yang memahami bahwa suatu negara yang sudah “naik kelas” dari negara miskin menjadi negara menengah akan “lebih susah” untuk naik kelas lagi menjadi negara maju.

Teori ini pertama kali dipopulerkan oleh Gill dan Kharas pada tahun 2007. Dalam penelitian tersebut, Gill dan Kharas menyimpulkan bahwa negara miskin akan melakukan akselerasi produksi negara mereka, sehingga memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Akan tetapi, seiring dengan masuk menjadi negara berkembang, pertumbuhan ekonomi negara yang semula miskin tersebut akan melambat.

Gill dan Kharas juga menyebutkan bahwa dari 101 negara yang mereka teliti di Timur Tengah, Asia Timur maupun di Amerika Latin, hanya 13 diantaranya yang bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah ini. Termasuk diantaranya adalah Korea Selatan dan Jepang. 

Penyebab Middle Income Trap

1. Biaya produksi yang semakin mahal

Negara miskin biasanya adalah negara dengan jumlah sumber daya manusia yang cukup banyak dalam hal populasi dan kaya sumber daya alam yang belum terjamah. Akibatnya, banyak investor yang masuk untuk berinvestasi di wilayah  dengan pendapatan rendah ini. 

Namun, seiring dengan produksi yang meningkat dan perkembangan ekonomi, harga bahan baku, kebutuhan sehari-hari juga meningkat. Akibatnya, gaji dan keseluruhan biaya produksi di daerah tersebut juga akan naik. 

2. Kompetisi di dunia internasional

Kenaikan biaya produksi di sebuah negara yang tidak diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan inovasi, akan membuat negara tersebut “kalah saing” dalam hal investasi asing dari negara berkembang lain atau bahkan dari negara miskin. 

Misalnya, sebuah perusahaan asing X mempertimbangkan untuk membangun pabrik di Indonesia atau di Vietnam yang notabene memiliki kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mirip. Apabila biaya produksi di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan biaya produksi di Vietnam, maka bisa jadi perusahaan tersebut akan memilih Vietnam sebagai destinasi investasi. 

3. Faktor struktural

Tidak hanya masalah ekonomi, masalah sosio politik juga bisa mempengaruhi sebuah negara untuk terjebak dalam jebakan pendapatan menengah ini lebih lama. Misalnya, proses pembuatan akta usaha yang susah dan berbelit bisa membuat investor dalam negeri maupun investor asing enggan untuk berinvestasi. Selain itu, kondisi sumber daya manusia yang rendah juga bisa membuat investor enggan berinvestasi ke suatu negara. 

Cara Mengatasi Middle Income Trap

Pada dasarnya, tidak ada cara tertentu bagi sebuah negara untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah ini. Namun demikian, terdapat beberapa fokus strategi yang sering dijadikan senjata untuk keluar dari jebakan kelas menengah ini, yaitu:

1. Perbaikan kualitas sumber daya manusia

Sumber daya manusia (SDM) yang sehat serta memiliki pendidikan yang baik dapat memberikan dampak eksponensial untuk ekonomi. Tidak hanya bisa menjadi karyawan dengan pendapatan tinggi, kualitas SDM yang baik juga bisa membuat lapangan pekerjaan baru, menyebarkan ilmu pengetahuan dan menjadi pemimpin yang berintegritas. 

Saat ini, Pemerintah Indonesia juga sudah menggalakkan peningkatan kualitas SDM ini dengan meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN untuk berbagai program, seperti beasiswa, perbaikan fasilitas pendidikan dan lain sebagainya. Hanya saja tantangannya adalah bagaimana menerjemahkan pengeluaran untuk pendidikan tersebut dengan kualitas SDM yang dihasilkan.

2. Perekonomian orientasi ekspor

Beberapa negara yang berhasil keluar dari middle income trap adalah negara dengan fokus ekonomi ekspor, seperti Jepang, Singapura dan Korea Selatan. Negara di Asia Timur ini sebelumnya dikenal sebagai daerah dengan sumber daya alam yang minim, sehingga mau tidak mau harus menemukan unique selling point yang bisa dijual ke luar negeri. 

Perekonomian orientasi ekspor setidaknya memiliki 2 manfaat, yaitu meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan membantu menyuplai cadangan valuta asing untuk negara, sehingga bisa membantu menstabilkan nilai tukar. 

Indonesia sendiri saat ini sedang menggalakkan program hilirisasi, khususnya untuk tambang nikel. Pasalnya, sebagai salah satu bahan pokok pembuatan baterai kendaraan listrik di dunia, selama ini nikel dari Indonesia masih dijual dalam bentuk bahan mentah. Program hilirisasi ini bertujuan supaya nikel dari Indonesia dijual ke luar negeri dalam bentuk bahan jadi, sehingga harga jualnya menjadi jauh lebih mahal. 

3. Perbaikan struktural

Ada banyak perbaikan struktural yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia jika ingin menjadi negara maju. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di satu sisi, kemudahan dalam membuka bisnis dan usaha di sisi lain dan pemerataan ekonomi di sisi lain. 

Tidak jarang kemudahan pembukaan bisnis dan lapangan kerja baru tidak disertai dengan adanya peningkatan take home pay atau gaji. Padahal, tujuan dari meningkatkan status dari negara berkembang menjadi negara maju pada dasarnya adalah mengurangi kemiskinan dan bukan menambah tingkat kesenjangan. 

4. Membangun ekonomi dengan lebih bijaksana

Tidak ada negara yang bisa maju dan berpendapatan tinggi apabila fundamental perekonomiannya  goyah. Oleh karena itu, negara menengah yang ingin naik kelas menjadi negara maju harus membangun fondasi perekonomiannya dengan lebih bijaksana. Indikator-indikator penting ekonomi, seperti inflasi, suku bunga acuan, pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan pengangguran serta nilai tukar harus dijaga sebaik mungkin.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *