Laman berita Kompas pada tanggal 18 November 2022 lalu memberitakan kalau Kemenaker menetapkan kenaikan UMR pada tahun 2023 maksimal adalah 10%. Di satu sisi kebijakan ini pro dengan kebutuhan masyarakat mengingat harga barang kebutuhan sehari-hari terus meningkat seiring dengan peningkatan harga BBM.
Namun di sisi lain, hal ini berarti pembengkakan biaya gaji bagi perusahaan dan pengusaha. Apalagi ada potensi terjadinya resesi pada tahun 2023. Dengan kondisi seperti ini, bukan tidak mungkin pengusaha justru melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Apabila hal ini terjadi, maka akan ada peningkatan pengangguran siklis (cyclical unemployment).
Pengertian Pengangguran Siklis
Pengangguran siklis adalah pengangguran yang terjadi akibat perubahan siklus ekonomi. Selain cyclical unemployment, pengangguran jenis ini juga sering kali disebut dengan pengangguran konjungtur.
Sama seperti bisnis, kondisi perekonomian negara juga memiliki siklus naik (boom, ekspansif) atau turun (resesi, kontraktif). Pengangguran jenis ini umumnya terjadi ketika perekonomian sebuah negara sedang mengalami resesi.
Ketika sedang terjadi resesi ekonomi, jumlah permintaan terhadap produk sebuah perusahaan akan menurun, sehingga terjadi penurunan pendapatan. Untuk mengontrol hal ini, perusahaan umumnya akan memotong faktor biaya, termasuk biaya gaji dengan memutuskan hubungan kerja dengan sejumlah karyawan. Para karyawan yang terkena PHK inilah yang disebut dengan pengangguran siklis.
Meskipun naik turunnya kondisi perekonomian itu sendiri merupakan hal yang wajar, namun apabila penurunan ekonomi (resesi) dibiarkan berlarut-larut dengan tanpa pengamanan berarti dari pemerintah, bukan tidak mungkin resesi akan berujung kepada depresi.
Dalam resesi, pertumbuhan ekonomi bisa -0,3% sampai -5,1%, namun pada depresi, pertumbuhan ekonomi bisa 14,7%-38,1%. Artinya, depresi ekonomi merupakan hal yang lebih parah dibandingkan resesi.
Contoh Pengangguran Siklis
1. Pengangguran siklis di Amerika Serikat
Sebagai negara dengan perekonomian maju di dunia, Amerika Serikat memiliki data tingkat pengangguran yang bisa ditelusuri hingga terjadinya krisis 1929. Menurut data yang disampaikan oleh The Balance Money, ketika krisis tersebut terjadi, tingkat pengangguran naik dari 3,2% pada tahun 1929 hingga 8,7% pada tahun 1930.
Puncaknya, pada tahun 1933, tingkat pengangguran di negeri Paman Sam tersebut naik hingga menjadi 24,9%. Ini artinya 1 dari 4 orang tenaga kerja di Amerika Serikat tidak memiliki pekerjaan. Hingga kini, rasio tersebut masih merupakan rasio pengangguran tertinggi di Amerika Serikat.
Meskipun tidak setinggi saat the Great Recession, namun lonjakan jumlah pengangguran di negeri Paman Sam tersebut pada tahun 2008-2009 dan 2020 juga besar akibat adanya krisis finansial dan resesi akibat pandemi covid19. Saat krisis finansial, tingkat pengangguran naik dari 5% pada tahun 2007 menjadi 9,9% pada tahun 2009. Adapun ketika pandemi, tingkat pengangguran naik dari 3,6% pada Desember 2019 menjadi 14,7% pada April 2020.
2. Pengangguran siklis di Indonesia
Tidak hanya Amerika Serikat, Indonesia pun mengalami peningkatan jumlah pengangguran siklis baik ketika krisis moneter tahun 1998 maupun ketika resesi saat pandemi covid19. 24 tahun silam, tingkat pengangguran di negeri ini meningkat dari 4,69% pada tahun 1997 menjadi 6,36% pada tahun 1999.
Rasio pengangguran ini bahkan lebih rendah jika dibandingkan saat covid19. Dengan banyaknya lockdown di berbagai kota di Indonesia, banyak perusahaan yang tidak bisa beroperasi sehingga terpaksa merumahkan pegawainya. Akibatnya, tingkat pengangguran naik dari 5,23% pada bulan Agustus 2019 menjadi 7,07% pada bulan Agustus 2020.
Menjelang tahun 2023 tidak menutup kemungkinan rasio ini akan naik kembali setelah turun menjadi 5,86% pada Agustus 2022 lalu. Sebab, beberapa perusahaan teknologi ternama, seperti GoTo telah merumahkan sebagian karyawannya akibat tekanan dari perekonomian internasional.
Penyebab Pengangguran Siklis
Pengangguran siklis umumnya disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat. Inflasi yang naik terlalu tajam akan membuat daya beli masyarakat dan perusahaan akan tertekan. Bagi masyarakat, penurunan daya beli ini akan membuat mereka mengencangkan ikat pinggang dan hanya membeli kebutuhan pokok saja.
Bagi perusahaan, dampaknya ada dua. Pertama, sikap masyarakat yang hanya akan membeli kebutuhan pokok membuat permintaan produk perusahaan (terutama kebutuhan tersier) akan menurun. Kedua, kenaikan harga barang kebutuhan pokok akan membuat tenaga kerja meminta kenaikan gaji. Akibatnya, biaya gaji yang harus dibayarkan oleh sebuah perusahaan akan meningkat.
Untuk mengatasi hal ini, perusahaan perlu melakukan pemotongan biaya baik itu dengan mengurangi jumlah produksi, maupun dengan mengurangi jumlah tenaga kerja. Akibatnya, banyak tenaga kerja yang harus dirumahkan.
Umumnya, perusahaan akan menunggu dan mengamati ekonomi makro terlebih dahulu sebelum mulai merumahkan karyawan. Tujuannya adalah untuk memperkirakan apakah resesi yang akan terjadi parah atau tidak. Tidak jarang ketika gelombang pemecatan terjadi, kondisi ekonomi makro sudah mengalami resesi.
Dampak Negatif dari Pengangguran Siklis
Variabel ekonomi makro dan mikro adalah variabel yang saling berhubungan satu sama lain. Meskipun disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat, pengangguran siklis juga bisa menyebabkan penurunan daya beli menjadi lebih parah.
Sebab dengan kehilangan pekerjaannya, seseorang akan mengurangi pengeluarannya pula. Oleh karena itu apabila dibiarkan berlarut-larut tanpa intervensi yang berarti dari pemerintah, pengangguran siklis ini bisa memperburuk resesi yang ada.
Jumlah pengangguran di Amerika Serikat pada tahun 1933 pernah menyentuh angka 24,9% bukan tanpa alasan. Menurut banyak pihak, hal ini salah satunya diakibatkan oleh keengganan Presiden Amerika Serikat pada saat itu, Herbert Hoover, untuk melakukan intervensi ekonomi.
Menurut Hoover sebagaimana banyak masyarakat Amerika Serikat pada saat itu yang menganut perekonomian pasar sebebas-bebasnya, pasar (market) akan “menyembuhkan” dirinya sendiri, sehingga intervensi pemerintah harus pada level minimum. Namun, perkiraan Hoover salah, ekonomi negeri Paman Sam tersebut justru terus memburuk dari tahun 1929-1923.
Franklin Delano Roosevelt (FDR) yang menjadi presiden setelah Hoover melakukan kebijakan yang sebaliknya. Program New Deal yang dirilisnya, tidak hanya meningkatkan intervensi pemerintah dalam perekonomian supaya ekonomi negara tersebut bisa bangkit dari krisis, tetapi juga membentuk pemahaman baru mengenai bagaimana ekonomi makro dan peran pemerintah dalam ekonomi harus dijalankan.
Cara Mengatasi Pengangguran Siklis
Sederhananya, peningkatan pengangguran konjungtur atau siklis dapat direm dengan cara memberlakukan kebijakan ekonomi ekspansif. Langkah pertama, pemerintah dapat menurunkan suku bunga acuan dan meringankan proses pembayaran kredit supaya perusahaan bisa mendapatkan cash flow tambahan untuk bisnis mereka.
Apabila kebijakan moneter ekspansif ini kurang cukup, pemerintah dapat melakukan kebijakan fiskal ekspansif. Kebijakan fiskal ekspansif relatif lebih lambat diterapkan, karena pemerintah perlu mengajukan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) kepada DPR terlebih dahulu.
Program kebijakan fiskal ekspansif ini bisa terwujud dalam banyak bentuk, seperti menggelontorkan Bantuan Langsung Tunai (BLT), program kerja padat karya, diskon pajak dan lain sebagainya.