Sistem pembayaran adalah seperangkat lembaga, aturan dan mekanisme yang berkaitan dengan proses pemindahan dana dari seorang individu maupun badan usaha kepada individu atau badan usaha lain.
Sebagai otoritas moneter di Indonesia, Bank Indonesia bertanggung jawab terhadap kelancaran dan kredibilitas sistem pembayaran (SP) yang ada di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Bank Indonesia No. 23/1999 jo No.3/2004 jo No.6/2009 pasal 8 yang menyebutkan bahwa Bank Indonesia bertugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem ini.
Proses sistem pembayaran di Indonesia sendiri terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap otorisasi, kliring dan settlement. Pada tahap otorisasi, pengguna atau nasabah memberikan otoritas kepada bank yang digunakannya untuk melakukan pembayaran kepada bank lain. Pada tahap kliring, bank yang terlibat dalam pembayaran tersebut akan berinteraksi satu sama lain. Adapun pada tahap settlement atau penyelesaian, bank pembayar harus memberikan kompensasi kepada bank penerima melalui rekening yang mereka miliki di lembaga penyedia kliring.
Lalu, dimana peran Bank Indonesia dalam sistem pembayaran ini? Berikut ini di antaranya:
1. Bank Indonesia Sebagai Regulator Sistem Pembayaran
Bank Indonesia adalah otoritas moneter di Indonesia. Ini artinya, hal-hal yang berkaitan dengan transaksi keuangan, khususnya yang terkait dengan perbankan, harus memiliki izin dari lembaga ini terlebih dahulu. Hal ini karena BI bertanggung jawab atas kelancaran kebijakan moneter.
Dalam perannya sebagai regulator, Bank Indonesia wajib membuat “aturan main” yang harus dipatuhi oleh peserta dan pengguna sistem ini. Contohnya adalah peraturan penggunaan cryptocurrency. Dalam peraturan Bank Indonesia 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran disebutkan untuk tidak diperdagangkan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam sistem ini.
2. Bank Indonesia Sebagai Pengawas
Sebagai pengawas, BI memastikan bahwa sistem pembayaran di Indonesia telah memenuhi 10 prinsip yang ditetapkan oleh Bank for International Settlement. 10 Prinsip tersebut adalah:
- Sistem ini harus memiiki dasar hukum yang kuat.
- Sistem ini harus memiliki aturan dan prosedur yang memungkinkan peserta untuk mengetahui risiko dari transaksi yang mereka lakukan.
- Sistem ini harus memiliki prosedur yang jelas untuk mengatur risiko kredit dan likuiditas.
- Proses settlement harus diselesaikan pada hari yang sama atau paling tidak pada akhir hari.
- Proses settlement harian dalam sistem ini harus dilaksanakan dengan cepat, khususnya jika peserta tidak mampu menyelesaikan satu settlement yang besar.
- Aset yang digunakan dalam proses penyelesaian sebaiknya merupakan aset yang ada di bank sentral. Jikalau tidak, maka seharusnya aset tersebut memiliki risiko kredit dan likuiditas yang kecil.
- Sistem ini harus memiliki tingkat kepercayaan operasional dan keamanan yang tinggi serta harus memiliki sistem penanganan darurat yang cepat.
- Sistem ini harus menyediakan alat pembayaran yang praktis dan efisien untuk perekonomian.
- Sistem pembayaran harus adil dan transparan.
- Pengaturan sistem ini harus efektif, akuntabel dan transparan.
3. Bank Indonesia Sebagai Penyelenggara (Operator)
Sebagai operator, Bank Indonesia bertanggung jawab untuk memastikan bahwa peserta sistem ini mengetahui risiko yang dapat timbul sehubungan dengan keikutsertaan mereka dalam sistem pembayaran di Indonesia. Selain itu, Bank Indonesia juga bertanggung jawab untuk menerima laporan audit internal terkait dengan pelaksanaan sistem ini dari peserta.
Bank Indonesia juga menyediakan infrastruktur fisik dan non-fisik yang dibutuhkan demi kelancaran sistem ini. Infrastruktur tersebut, seperti menyediakan hardware dan software yang dibutuhkan bank-bank umum untuk mengikuti sistem ini, hingga fasilitas help desk yang siap membantu bank-bank umum tersebut mengatasi masalahnya terkait dengan sistem ini.
4. Bank Indonesia Sebagai Pengguna Sistem Pembayaran
Menurut Sheppard (1996), bank sentral sebuah negara tidak hanya bisa berperan sebagai pihak ketiga yang mengatur dan mengawasi sistem ini, tetapi juga sebagai pengguna sistem itu sendiri. Alasannya sederhana, karena untuk masalah operasional, seperti pembayaran gaji pegawai, pembayaran dan penerimaan devisa serta menjalankan program-program kebijakan moneter lainnya, bank sentral membutuhkan sistem ini.
5. Bank Indonesia Sebagai Arbitrator
Ketika terjadi perselisihan antara peserta sistem pembayaran baik itu bank maupun lembaga keuangan lainnya, maka BI akan bertindak sebagai arbitrator. Dalam penyelesaian konflik, arbitrator sedikit berbeda dengan mediator.
Seorang arbitrator bertindak sebagai hakim yang mengontrol dan menentukan hasil perselisihan tersebut. Adapun mediator hanya bertindak sebagai penengah dan pendengar dari segala bukti yang ada, sementara jalannya proses dan hasil dari perselisihan tersebut tetap ditentukan oleh pihak-pihak yang berselisih. Oleh sebab itu, tidak heran jika umumnya pihak yang ditunjuk sebagai arbitrator adalah pihak yang netral tapi memiliki kekuatan hukum yang lebih besar dibandingkan dengan pihak-pihak yang berselisih.
6. Bank Indonesia Sebagai Penyedia Perizinan
Tidak semua bank atau penyedia jasa keuangan bisa beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut harus mengantongi izin dari BI terlebih dahulu. Perusahaan-perusahaan keuangan yang harus mengantongi izin dari BI terkait dengan sistem pembayaran adalah:
- Perusahaan Penyedia Jasa Pembayaran (PJP). Termasuk di antaranya adalah perusahaan payment gateway, perusahaan yang menerbitkan dan mengelola dompet elektronik, bank, perusahaan penyedia jasa remitansi (pengiriman uang dari dan ke luar negeri).
- Perusahaan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP). Termasuk di antaranya adalah perusahaan yang menyediakan jasa kliring, dan penyelesaian akhir dalam sebuah transaksi keuangan.
Lisensi ini penting untuk menjaga keamanan transaksi pembayaran di Indonesia, khususnya transaksi pembayaran digital. Selain itu, juga penting untuk menjaga iklim industri keuangan di Indonesia supaya tetap stabil dan kondusif.
7. Meminimalisir Risiko Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran di Indonesia terus berubah seiring dengan perkembangan teknologi. Di satu sisi, hal ini menguntungkan masyarakat karena membeli barang dan jasa menjadi lebih mudah. Namun di sisi lain hal ini juga memiliki risiko yang berbeda dibandingkan dengan sistem yang digunakan sebelumnya.
Pada zaman digital ini misalnya, salah satu target BI adalah menghapus praktik shadow banking atau praktik pengumpulan dan pemberian pinjaman dari dan ke masyarakat yang di luar praktik perbankan biasa.
Praktik shadow banking seperti ini selain bisa membahayakan masyarakat karena perusahaan penyedia tidak memiliki lisensi, juga bisa membahayakan efektivitas implementasi kebijakan moneter di Indonesia. Maka dari itu, risiko-risiko seperti ini harus dikontrol oleh BI selaku regulator dan operator sistem pembayaran.