Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Private Placement?

private placement

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah private placement di pasar modal Indonesia cukup sering diperbincangkan. Pasalnya, Salim Group, salah satu konglomerasi terbesar di negeri ini diberitakan akan membeli salah satu saham dengan mekanisme ini. Apa yang dimaksud dengan private placement dan apa pengaruhnya terhadap pasar saham secara keseluruhan? Berikut ini pembahasannya.

Pengertian Private Placement

Private placement adalah kegiatan penerbitan saham baru oleh perusahaan yang mana saham baru tersebut hanya akan ditawarkan kepada investor-investor terpilih. Dalam Bahasa Indonesia, private placement juga dikenal dengan istilah Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD). 

Sesuai dengan namanya, emiten yang menerbitkan saham menggunakan mekanisme ini tidak akan memberikan hak memesan kepada investor lama atau menjualnya di bursa terlebih dahulu, melainkan langsung menawarkannya kepada investor-investor terpilih. Investor-investor terpilih ini umumnya adalah investor individu besar, seperti Anthony Salim atau investor institusi besar, seperti bank atau perusahaan lainnya. 

Perbedaan Private Placement, Right Issue dan IPO

Emiten di Bursa Efek Indonesia bisa menerbitkan saham dan menjualnya dengan berbagai cara. Apabila saham yang diterbitkan oleh perusahaan tersebut lantas bisa diperjualbelikan secara bebas di bursa, maka proses penerbitan saham tersebut disebut dengan initial public offering (IPO)

Setelah IPO, tidak jarang perusahaan ingin menambah supply sahamnya di bursa dengan menerbitkan saham baru. Nah, dalam hal ini perusahaan memiliki dua opsi yaitu memberikan hak memesan kepada investor lama terlebih dahulu (right issue) atau langsung menawarkannya kepada investor-investor tertentu (private placement). 

Pengaruh Private Placement Terhadap Harga Saham

Kebijakan ini berpengaruh terhadap psikologi investor, khususnya investor lama emiten tersebut. Pasalnya, dengan penerbitan saham baru, porsi kepemilikan mereka terhadap perusahaan tersebut akan berkurang, sehingga pembagian keuntungan per saham (EPS) bagi mereka juga berpotensi turun (terdilusi).

Misalnya, investor A memiliki saham sebanyak 1000 lembar pada emiten B. Ketika jumlah saham beredar dari emiten B hanya 10.000 lembar, maka investor A secara otomatis memiliki 10% saham B. Namun karena perusahaan tersebut menerbitkan saham baru sebanyak 90.000 lembar (total 100.000 lembar), maka kini investor A hanya memiliki 1% saham B.

Lalu bagaimana dengan earning per share (EPS). Katakanlah pendapatan emiten B sebesar Rp1.000.000 selama 2 tahun berturut-turut. Pada tahun pertama, jumlah saham B yang beredar adalah 10.000 lembar, sehingga setiap saham berhak mendapatkan keuntungan Rp100 dan investor A mendapatkan keuntungan sebesar Rp100.000. Akan tetapi karena penerbitan saham baru, kini uang Rp1.000.000 harus dibagi ke 100.000  lembar saham, sehingga kini per saham hanya kebagian untung 10 rupiah, dan keuntungan investor A turun jadi Rp10.000. 

Dalam mekanisme right issue, hal ini ditangani dengan adanya hak memesan saham terlebih dahulu dengan harga khusus. Dengan demikian, investor lama masih berpotensi untuk memiliki porsi kepemilikan saham yang sama dengan sebelumnya. Akan tetapi, pada mekanisme private placement, hak tersebut tidak mereka dapatkan. 

Akibatnya, tidak jarang harga saham akan turun setelah perusahaan menerbitkan saham baru dengan mekanisme ini. Hal ini disebabkan banyaknya investor lama yang menjual sahamnya karena tidak yakin kalau harga saham tersebut akan tetap stabil dalam jangka panjang. 

Mengapa Perusahaan Melakukan Private Placement?

Sama seperti right issue maupun IPO, penerbitan saham melalui mekanisme ini juga bertujuan untuk menambah modal perusahaan supaya operasional bisnis perusahaan tersebut dapat berjalan lancar. Namun demikian, ada beberapa karakteristik khusus yang bisa jadi menjadi motif sebuah perusahaan untuk menerbitkan saham melalui mekanisme ini. 

Karakteristik pertama, biaya administrasi dan proses yang dibutuhkan untuk melakukan private placement terbilang lebih murah dibandingkan IPO. Dengan demikian, perusahaan bisa menghemat uang untuk dialokasikan ke berbagai pengeluaran lainnya. 

Karakteristik kedua adalah, private placement sengaja dilakukan oleh perusahaan untuk menggaet investor-investor kelas kakap yang belum berinvestasi di perusahaan tersebut. Dengan demikian, perusahaan bisa jadi berpeluang untuk mendapatkan akses arus kas yang lebih lancar di masa depan. 

Contoh Private Placement Saham

Sepanjang tahun 2022 ini terdapat beberapa perusahaan yang melakukan Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD), salah satunya adalah PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Perusahaan pertambangan milik Bakrie Group ini diberitakan menerbitkan saham baru sebanyak 2 miliar saham. 

Saham ini akan dijual seharga Rp120 per lembar dan targetnya akan terkumpul senilai 24 triliun rupiah atau sekitar US$ 1,6 miliar dengan kurs dollar sebesar Rp15.000. Dana hasil PMTHMETD ini rencananya akan digunakan untuk pembayaran utang PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang). 

Apakah Private Placement Berdampak Buruk Bagi Investor?

Bagi investor lama bisa jadi adanya penerbitan saham baru terasa kurang menyenangkan . Sebab, penerbitan efek baru tersebut akan membuat porsi kepemilikan sahamnya terdilusi. Apalagi jika penerbitan efek baru tersebut tidak memberikan hak pemesanan terlebih dahulu.

Akan tetapi, adanya Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) alias private placement ini tidak selalu berdampak buruk bagi investor saham, khususnya investor jangka panjang. 

Sebab, tidak menutup kemungkinan uang yang terkumpul dari hasil penerbitan efek baru tersebut akan digunakan untuk membiayai proyek strategis perusahaan, sehingga kedepannya dapat menghasilkan keuntungan untuk investor juga. Belum lagi fakta bahwa mendatangkan investor besar ke dalam jajaran pemilik saham perusahaan dapat membuat aliran kas perusahaan tersebut lebih lancar. 

Oleh sebab itu, investor dianjurkan untuk mengetahui tujuan penerbitan efek baru tersebut terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk tetap memegang (hold) atau menjual sahamnnya. Jika sekiranya proyek yang dikembangkan perusahaan tersebut dapat mendatangkan keuntungan dalam jangka menengah hingga jangka panjang, maka tidak masalah jika investor memegangnya. 

Informasi mengenai tujuan bisnis perusahaan saat menerbitkan efek baru ini dapat dicek di prospektus yang mereka terbitkan ketika right issue atau dapat diakses di berbagai laman berita dan aplikasi trading saham terbaik jika yang terjadi adalah private placement. Up to date dengan berita-berita kebijakan perusahaan seperti ini juga merupakan salah satu kunci kesuksesan investor.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *