Lompat ke konten
Daftar Isi

Quantitative Easing (QE): Pengertian, Cara Kerja, Dampak

quantitative easing

Percayakah Anda kalau ada satu fase di dalam perekonomian dunia suku bunga acuan sebuah negara turun hingga mendekati 0%? Secara tidak langsung hal ini berarti, jika Anda meminjam uang ke bank Rp1.000.000, maka Anda juga harus mengembalikan sebesar Rp1.000.000 di masa depan. 

Hal ini pernah terjadi pada perekonomian Amerika Serikat saat krisis keuangan tahun 2007-2008. Kala itu, suku bunga acuan Negeri Paman Sam tersebut menyentuh titik terendahnya sepanjang sejarah, yaitu 0,25%. Fenomena ini kemudian terjadi lagi ketika pandemi Covid19 lalu. Ini artinya, jika Anda meminjam uang Rp1.000.000 di bank negara tersebut, Anda hanya wajib menambahkan Rp25.000 saat uang tersebut dikembalikan. 

Kebijakan penurunan suku bunga ini disebut dengan quantitative easing. Meskipun tampak bagus karena itu artinya kreditur hanya perlu membayar bunga dalam jumlah sedikit, namun kebijakan yang satu ini tidak bisa diterapkan sembarangan. Mengapa demikian? Simak ulasannya berikut ini:

Pengertian Quantitative Easing (QE)

Quantitative easing (QE) adalah salah satu kebijakan moneter. Dalam kebijakan yang satu ini, bank sentral seperti Bank Indonesia akan membeli surat berharga pemerintah yang ada di pasaran (kebijakan pasar terbuka/ open market policy) untuk menurunkan suku bunga acuan dan meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat. 

Quantitative easing biasanya diterapkan ketika kondisi darurat saja, alias kondisi ketika kebijakan moneter konvensional lainnya tidak memberikan efek yang diinginkan. Misalnya, saat krisis keuangan tahun 2008 atau saat krisis akibat pandemi Covid19 yang lalu. Ketika kondisi ekonomi sudah membaik, maka bank sentral akan menjual surat berharga kembali untuk menaikkan suku bunga perbankan. 

Cara Kerja Quantitative Easing

Cara kerja kebijakan ini adalah seperti ini:

  1. Bank sentral akan membeli kembali surat berharga yang sebelumnya sudah dibeli oleh instansi termasuk bank umum. 
  2. Harapannya adalah, uang hasil buyback tersebut dapat digunakan oleh bank umum untuk cadangan aset yang likuid. 
  3. Dengan demikian, bank dapat menurunkan suku bunga pinjaman dan memberikan pinjaman kepada nasabah dengan kontrak dan bunga yang lebih mudah. 
  4. Akibatnya, suku bunga kredit menurun dan harapannya akan semakin banyak masyarakat yang meminjam ke bank karena bunga yang murah. 
  5. Semakin banyak masyarakat yang meminjam ke bank, maka roda ekonomi akan kembali berputar. 

Jika roda ekonomi sudah kembali berputar sebagaimana mestinya, bank sentral akan menjual kembali surat berharga ke pasaran untuk mengurangi jumlah likuiditas bank umum. Kebijakan pengurangan likuiditas pasca QE ini disebut dengan tapering

Contoh Quantitative Easing

Meskipun kebijakan ini sudah banyak diterapkan di berbagai belahan dunia, namun tidak dapat dipungkiri kalau penerapan quantitative easing di Amerika Serikat adalah contoh yang baik mengenai bagaimana teori ini bekerja. 

Sepanjang perekonomian modern, The Federal Reserve alias bank sentral Amerika Serikat melakukan kebijakan ini sebanyak dua kali. Pertama saat krisis keuangan tahun 2008 dan saat pandemi Covid19. Keduanya terjadi ketika suku bunga acuan negara adidaya tersebut menyentuh level 0,25%. 

Pada saat the Great Recession 2008, The Fed yang kala itu dipimpin oleh Ben Bernanke menaikkan cadangan asetnya hingga 4 triliun dolar Amerika Serikat untuk menyediakan likuiditas tambahan ke bank-bank umum di negara tersebut selama periode 2009-2014.

Adapun saat pandemi Covid19 3 tahun lalu, lembaga ini meningkatkan jumlah 700 miliar dolar Amerika Serikat dan per tahun 2021, menyerap 56% surat berharga negara yang sebelumnya diterbitkan. Tujuannya tentu saja adalah supaya masyarakat kembali meminjam uang di bank dan bank tidak ragu untuk memberi pinjaman, sehingga ekonomi kembali berputar. 

Lalu, apakah kebijakan moneter yang satu ini memiliki dampak nyata? Ya. Para ahli sepakat kalau kebijakan quantitative easing berperan dalam memperbaiki ekonomi Amerika Serikat pasca krisis keuangan tahun 2008. Hanya saja memang, dampak dari kebijakan ini tidak bisa diperkirakan secara pasti. 

Tujuan Dari Quantitative Easing

Tujuan utama dari quantitative easing adalah memutar kembali roda perekonomian yang sedang lesu. Dengan tingkat suku bunga yang mendekati nol dan bank-bank umum yang “tetap percaya diri” untuk meminjamkan uang, maka diharapkan masyarakat awam mau meminjam uang ke bank. 

Uang pinjaman dari bank tersebut kemudian dapat digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari atau membuka bisnis baru atau menghidupkan bisnis lama yang mati akibat resesi. Dengan demikian, roda ekonomi berputar kembali sebagaimana mestinya. 

Berkaca dari kasus Amerika Serikat pasca krisis finansial tahun 2008 yang “baru sembuh” dari krisis pada tahun 2014, dapat disimpulkan bahwa dampak dari QE ini bisa saja tidak langsung terlihat. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun supaya masyarakat pelan-pelan bisa kembali meminjam ke bank dan menggunakan uang pinjaman tersebut dengan lebih bijaksana dibandingkan dengan yang sebelumnya. 

Dampak dan Risiko Quantitative Easing

Penulis pribadi menyukai ungkapan kalau quantitative easing itu sama seperti obat-obatan. Obat-obatan harus diberikan dalam dosis yang pas oleh dokter (dalam hal ini bank sentral), supaya pasien (negara yang sedang sakit) bisa sembuh. Tapi, kalau obat tersebut diberikan atau dikonsumsi berlebihan, maka pasien bisa mengalami banyak efek samping. 

Adapun efek samping dari quantitative easing adalah:

1. Credit crunch

Pada fase awal penerapan QE, tidak menutup kemungkinan kebijakan ini akan mengakibatkan fenomena bernama credit crunch. Credit crunch adalah fenomena menumpuknya uang di bank atau di lembaga keuangan lainnya karena institusi keuangan tersebut takut untuk meminjamkan uang kepada nasabah. 

Perlu diingat bahwasanya pada krisis 2008, banyak nasabah yang gagal membayar utangnya. Jadi, wajar saja ketika QE diterapkan bank masih takut untuk memberikan pinjaman. Akibatnya, banyak uang menumpuk di cadangan kas bank tersebut. 

2. Inflasi

Inflasi adalah hal yang terjadi kalau QE tidak diterapkan dengan pas. Dalam hal ini, bank umum sudah tidak takut untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat, sebaliknya masyarakat juga cukup percaya diri untuk meminjam ke bank. Akibatnya, jumlah uang yang beredar di masyarakat jadi lebih banyak dan roda ekonomi berputar lebih cepat dibandingkan dengan yang diperkirakan. 

Hal inilah yang terjadi di Amerika Serikat pasca Covid19. Berbeda dari kondisi pasca krisis keuangan 2008 yang butuh waktu 5 tahun, QE saat Covid19 sudah dicabut setelah 2 tahun saja. Bahkan, sepanjang tahun 2022, suku bunga The Fed naik hingga 4,25% untuk “memerangi inflasi yang sempat menembus angka 9%”. 

3. Penurunan nilai tukar

Sederhananya, kalau suku bunga acuan sebuah negara nyaris 0%, tentu sedikit investor atau trader luar negeri akan berinvestasi pada mata uang negara tersebut. Akibatnya, nilai tukar mata uang tersebut dengan mata uang lain di dunia akan menurun. 

Bagi eksportir, ini artinya mereka bisa menjual komoditasnya dengan harga yang lebih murah dan bersaing. Namun bagi importir, hal ini bermakna mereka harus mengeluarkan uang tambahan akibat kenaikan harga. 

Pencabutan kebijakan quantitative easing ini disebut dengan tapering. Baik penerapan QE maupun tapering di Amerika Serikat dapat berdampak pada ekonomi negara lainnya, termasuk Indonesia. Hal ini karena kenaikan suku bunga The Fed akan memancing investor atau trader untuk kembali membeli dolar dan menjual mata uang lain, termasuk rupiah. 

Akibatnya, nilai rupiah terdepresiasi. Maka dari itu, jangan heran jika kenaikan suku bunga The Fed juga akan memancing Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan dalam negeri.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *