Pada tahun 2022 lalu, terdapat sebuah saham yang membagikan dividen super jumbo. Saham tersebut adalah PT Organon Pharma Indonesia Tbk atau SCPI. Pada tahun tersebut, SCPI membagikan dividen sebesar Rp45.000 per lembar. Ini artinya, jika Anda memiliki 100 lembar saham ini, maka Anda akan memperoleh keuntungan total Rp4.500.000.
Namun sayangnya, tidak semua investor bisa mendapatkan keuntungan ini. Pasalnya, SCPI merupakan salah satu saham yang di-suspend oleh BEI sejak tahun 2014. Alasannya adalah, perusahaan ini ingin menjadi perusahaan private kembali setelah lebih dari 20 tahun menjadi perusahaan terbuka.
Tindakan dari SCPI inilah yang disebut dengan go private atau delisting. Pahami selengkapnya mengenai go private dan penyebabnya dengan membaca artikel berikut ini:
Pengertian Saham Go Private
Go private adalah tindakan yang diambil oleh sebuah perusahaan terbuka untuk tidak lagi menjual sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Ini artinya, saham perusahaan publik yang going private tidak bisa dibeli lagi oleh masyarakat umum.
Go private hampir sama dengan delisting. Bedanya adalah go private dilakukan secara sukarela, sementara delisting bisa terjadi karena paksaan dari Bursa Efek Indonesia. Kasus SCPI di atas misalnya, perusahaan sudah mengajukan delisting secara sukarela sejak tahun 2013 namun buntu, sehingga mengakibatkan suspensi sejak tahun 2014.
Sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, keputusan untuk going private harus diputuskan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Lebih lanjut lagi, beberapa peraturan yang diterbitkan oleh Bapepam-LK (kini OJK) menekankan bahwa RUPS tersebut setidaknya harus dihadiri oleh 50% pemegang saham independen dan rencana untuk delisting juga harus disetujui oleh setidaknya 50% pemilik saham independen.
Setelah disetujui dalam RUPS, maka perusahaan wajib membeli sahamnya kembali (buyback saham) dari investor dengan mekanisme tender offer. Menurut Peraturan Bapepam-LK No. IX.F.1, harga penawaran tender ini harus lebih tinggi dibandingkan harga saham tersebut 90 hari sebelum pengumuman atau lebih tinggi dibandingkan dengan penawaran tender yang sebelumnya.
Mengapa Perusahaan Melakukan Go Private?
Sama seperti ketika memutuskan untuk menjual sahamnya di bursa (go public), sebuah perusahaan tentu memiliki alasan untuk going private. Beberapa alasan tersebut adalah:
- Peraturan di bursa terlalu ribet. Untuk menjaga transparansi dan melindungi investor, khususnya investor ritel, bursa saham dituntut untuk membuat peraturan yang ketat, seperti emiten harus membuat laporan keuangan setiap tiga bulan sekali, RUPS harus dilaporkan ke OJK terlebih dahulu dan lain sebagainya. Perusahaan publik yang merasa bahwa peraturan bursa terlalu mengikat bisa memutuskan untuk delisting.
- Pendanaan dari publik sudah tidak diperlukan lagi. Tujuan utama sebuah perusahaan listing di bursa adalah mencari tambahan modal dari masyarakat luas. Namun, ketika pendanaan sudah didapatkan dan perusahaan bisa berkembang pesat, tetap ada kemungkinan perusahaan membeli kembali sahamnya yang beredar di publik dan delisting dari bursa.
- Saham tidak likuid. Beberapa perusahaan memutuskan untuk going private karena tidak banyak investor yang memperjualbelikan saham tersebut di bursa (tidak likuid).
- Merger dengan perusahaan lain. Kebijakan delisting sukarela dari bursa juga bisa disebabkan adanya aksi korporasi berupa merger. Hal ini khususnya apabila perusahaan yang bersatu tersebut sama-sama perusahaan publik, maka salah satunya harus kembali menjadi perusahaan tertutup.
- Lebih fokus pada strategi jangka panjang. Sedikit banyak, opini investor di pasar modal pasti akan diperhatikan oleh perusahaan. Padahal tidak semua investor fokus pada keuntungan jangka panjang. Hal ini ditambah dengan peraturan bursa yang mengikat, mendorong beberapa perusahaan untuk going private.
Konsekuensi Saham Go Private
Selain tidak akan tercatat lagi di Bursa Efek Indonesia, perusahaan yang memutuskan untuk go private juga tidak bisa mendapatkan pendanaan dari publik lagi kecuali perusahaan tersebut melakukan proses relisting (pencatatan ulang). Oleh sebab itu, perusahaan yang ingin melakukan hal ini harus menggodog rencananya masak-masak terlebih dahulu.
Meskipun demikian, dengan going private, bukan berarti perusahaan tidak bisa mendapatkan pendanaan dari pihak ketiga lainnya. Perusahaan masih bisa mendapatkan pinjaman dari bank, investasi dari venture capital hingga investasi dari private equity untuk memperlancar operasinya.
Contoh Saham Go Private
Selain SCPI yang proses delisting-nya terhambat akibat tender offer yang ditawarkannya tidak diterima oleh investor independen, berikut ini beberapa contoh saham yang dengan sukses delisting secara sukarela dari Bursa Efek Indonesia maupun dari bursa luar negeri:
1. PT AQUA Golden Mississippi
Sesuai dengan namanya, PT AQUA Golden Mississippi merupakan perusahaan yang memproduksi air minum dalam kemasan pertama di Indonesia, Aqua. Perusahaan yang didirikan pada tahun 1973 ini sempat tercatat di Bursa Efek Indonesia (dulu Bursa Efek Jakarta) pada tahun 1990.
Setelah diakuisisi oleh secara perlahan oleh Danone sejak tahun 1998, pada tahun 2011 perusahaan ini kemudian resmi delisting secara sukarela. Ketika itu, 5,65% saham perusahaan ini yang masih dimiliki oleh publik, dibeli kembali dengan harga Rp 500.000 per lembar.
2. PT Indosiar Karya Media Tbk
Tentu masyarakat Indonesia sudah tidak asing dengan kanal televisi ikan terbang ini. Indosiar sempat delisting dua kali. Pertama pada tahun 2004, Indosiar yang dulu listing dengan nama PT Indosiar Visual Mandiri Tbk memutuskan untuk delisting, sehingga hanya PT Indosiar Karya Media (IDKM) yang terdaftar di Bursa.
Sembilan tahun kemudian, IDKM juga delisting dari bursa karena perusahaan ini merger dengan SCTV di bawah naungan Grup EMTEK. Ketika itu, investor saham Indosiar ditukar dengan saham SCTV dengan rasio 1 saham Indosiar setara dengan 0,481 saham SCTV.
3. Dell
Salah satu contoh perusahaan luar negeri yang sempat delisting dari bursa dan kemudian terdaftar kembali (relisting) adalah Dell. Perusahaan komputer yang berpusat di Texas, Amerika Serikat ini sempat keluar dari bursa pada tahun 2013 karena penurunan jumlah penjualan PC (dibandingkan dengan smartphone) dan keinginan pendirinya, Michael Dell, untuk lebih fokus pada perkembangan jangka panjang perusahaan, alih-alih jangka pendek saja. Pada Juli 2018, perusahaan ini kemudian kembali terdaftar di New York Stock Exchange dengan kode DELL. Adanya investor publik untuk menambah permodalan perusahaan memang sangat menguntungkan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwasanya sulitnya birokrasi ditambah dengan berbagai alasan lainnya membuat going private menjadi daya tarik tersendiri bagi perusahaan.