Lompat ke konten
Daftar Isi

10 Contoh Perusahaan Go Public Terbesar di Indonesia

Contoh Perusahaan Go Public Terbesar di Indonesia

Tidak seperti perusahaan private yang masyarakat harus mengira-ngira seberapa besar perusahaan ini, Salah satu keuntungan menjadi perusahaan go public atau perusahaan yang telah listing di Bursa Efek Indonesia adalah publik tahu seberapa besar perusahaan Anda. Hal ini tentunya akan meningkatkan brand awareness produk perusahaan Anda di mata masyarakat luas. 

Dalam konteks pasar modal, besar kecilnya sebuah perusahaan tidak diukur berdasarkan jumlah aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut, tetapi melalui sebuah matriks yang bernama kapitalisasi pasar atau market capitalization (market cap). 

Dalam hal ini, market cap dihitung dengan cara mengalikan harga saham perusahaan dengan jumlah saham perusahaan yang beredar. Semakin besar market cap, maka semakin besar pula sebuah perusahaan. 

Perusahaan juga tidak bisa serta merta mendapatkan market cap yang besar ketika pertama kali listing di bursa. Sebab, market cap yang besar (apa lagi yang konsisten) sangat erat kaitannya dengan tingkat kepercayaan publik terhadap perusahaan tersebut. Maka dari itu, biasanya perusahaan dengan market cap yang besar dan konsisten, masuk ke dalam kategori saham blue chip. 

Berikut ini 10 contoh perusahaan go public yang memiliki jumlah kapitalisasi pasar terbesar di pasar modal Indonesia:

1. Bank Central Asia (BBCA)

Bank Central Asia alias BCA adalah salah satu perusahaan perbankan di BEI yang konsisten memiliki nilai kapitalisasi pasar besar. Perusahaan yang kini dimiliki oleh Group Djarum tersebut tercatat memiliki nilai market cap sebesar 1.087,902 triliun rupiah. 

Hal ini dapat dimaklumi sebab, harga saham berkode BBCA ini mencapai lebih dari 8.700 per lembar dan memiliki saham yang beredar sejumlah 2.914.546.140 lembar. Selain itu, perusahaan yang listing di BEI sejak tahun 2000 ini juga dikenal sebagai perusahaan perbankan dengan kualitas pelayanan terbaik. 

Bank BCA menunjukkan laporan keuangan dengan hasil mixed pada September 2022. Secara individual, laba perusahaan ini menurun dari 24 triliun pada September 2021 menjadi 23 triliun pada September 2022. Namun secara komprehensif (dihitung dengan data anak perusahaan), laba mengalami peningkatan dari 23,8 triliun rupiah menjadi 24 triliun rupiah pada periode yang sama. 

2. Bank Rakyat Indonesia (BBRI)

Perusahaan go public terbesar kedua di Indonesia juga diisi oleh perusahaan perbankan. Saham perusahaan perbankan BUMN yang sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka ini tercatat dijual dengan harga 4.590 per lembar dan memiliki kapitalisasi pasar senilai lebih dari 688 triliun. 

Sedikit berbeda dengan BCA, lini bisnis BRI cenderung menekankan pada pinjaman mikro (microfinance). Maka dari itu, tidak heran jika perusahaan ini memiliki lebih dari 4.000 kantor cabang dan lebih dari 30 juta nasabah. 

Seiring dengan perbaikan ekonomi Indonesia pasca covid19, maka membaik pula kondisi keuangan perusahaan ini. Tercatat pada triwulan ketiga tahun 2022, BRI berhasil membukukan laba sebesar 39 triliun rupiah atau naik lebih dari 10 triliun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2021 lalu.

Meskipun mencatatkan peningkatan laba yang cukup besar, namun perubahan harga saham perusahaan ini relatif stabil sepanjang tahun 2022. Saham BBRI dijual seharga Rp4.160 per lembar pada Januari 2022 dan kini dijual seharga Rp4.590. Ini artinya, kenaikan harga sahamnya hanya kurang dari 10% sepanjang tahun. 

3. Bank Mandiri (BMRI)

Masih dari sektor keuangan, Bank Mandiri atau BMRI menjadi perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Tercatat ketika tulisan ini dibuat, saham perusahaan perbankan hasil penggabungan 5 bank kecil pasca krisis moneter ini dijual dengan harga di atas Rp10.000 per lembar dan memiliki nilai kapitalisasi pasar sebesar 466 triliun rupiah.

Pada triwulan ketiga tahun 2022, Salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini tercatat memiliki laba hingga 26 triliun rupiah. Nilai ini lebih tinggi 8 triliun apabila dibandingkan dengan laba BMRI pada September tahun 2021. 

Kenaikan laba yang cukup tajam ini mendorong kenaikan harga saham perusahaan ini juga. Pada Januari 2022, saham BMRI dijual dengan harga sekitar Rp7.000 per saham. Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang Januari-November 2022, harga saham BMRI naik sekitar Rp3.000 per lembar atau lebih dari 40%. 

4. Telkom Indonesia (Persero) (TLKM)

Beranjak dari sektor keuangan, posisi ke-4 diisi oleh perusahaan BUMN yang bergerak di bidang telekomunikasi, yaitu Telkom. Sama seperti BRI, perusahaan ini juga didirikan sejak sebelum Indonesia merdeka, atau lebih tepatnya pada tahun 1882 ketika telepon banyak digunakan oleh perusahaan di Hindia Belanda pada waktu itu. Pemerintah Indonesia lantas menasionalisasi perusahaan ini pada tahun 1945 dan menjadikannya perusahaan milik negara. 

TLKM mulai listing di Bursa Efek Indonesia pada tahun 1995 hingga mencapai saham berstatus blue chip sekarang ini. Tidak hanya di BEI, Telkom juga sudah listing di New York Stock Exchange dengan kode TLK pada tahun yang sama. kini 52.09% saham perusahaan tersebut dimiliki oleh Pemerintah RI dan 47% sisanya dimiliki oleh masyarakat secara luas. 

Sepanjang tahun 2022, harga saham TLKM relatif stabil. Hal ini dibuktikan dengan saham perusahaan ini dijual dengan harga 4.180 per lembar pada awal tahun dan hanya mengalami penurunan sebesar 150 rupiah selama 11 bulan ke level harga 4.030 rupiah. 

Senada dengan pergerakan harga saham sepanjang tahun, laba Telkom juga menunjukkan penurunan antara September 2022 dan September 2021 meskipun pada saat yang sama pendapatan kotor menunjukkan peningkatan. Pada September 2021, perusahaan pelat merah ini membukukan laba sebesar 25,6 triliun rupiah, sementara pada September 2022, labanya menurun menjadi 22,8 triliun rupiah.

5. GoTo Gojek Tokopedia (GOTO)

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk atau GOTO adalah salah satu perusahaan teknologi terbesar di Indonesia. Perusahaan ini merupakan gabungan antara dua perusahaan startup teknologi yang menjadi market leader di bidangnya masing-masing, yaitu GoJek di bidang ride hailing dan Tokopedia di bidang online marketplace.

Baik Tokopedia maupun GoJek adalah aplikasi yang telah diunduh oleh lebih dari 100 juta pengguna di Google Play Store. Jumlah unduhan ini saja sudah sedikit banyak membuktikan tingkat kepercayaan masyarakat dengan kedua lini bisnis utama GOTO ini. Maka dari itu, tidak heran jika IPO perusahaan ini sangat dinanti-nantikan pada April 2022 lalu.

Meskipun digadang-gadang menjadi perusahaan teknologi terbesar di Indonesia, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hingga kini perusahaan ini masih belum bisa mencatatkan keuntungan. Bahkan, menurut berita terakhir pada 18 November 2022, perusahaan ini merumahkan 1.300 atau sekitar 12% dari karyawannya. 

6. Bayan Resources (BYAN)

Bayan Resources adalah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batubara di Kalimantan Timur dan Selatan. Perusahaan yang didirikan oleh Low Tuck Kwong pada tahun 1973 ini mulai listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2008. 

Seiring dengan meningkatnya harga batubara di pasar dunia, tidak heran jika sepanjang tahun 2022 harga saham perusahaan yang satu ini naik dari Rp26.000 per lembar menjadi Rp92.000 per lembar. Dengan harga saham sebesar itu, PT Bayan Resources memiliki nilai kapitalisasi pasar lebih dari 306 triliun rupiah. Tingginya harga saham ini juga membuat perusahaan dengan kode saham BYAN ini menjadi salah satu saham dengan harga termahal di BEI. 

Peningkatan harga saham ini rupanya juga diikuti dengan peningkatan pendapatan dan laba perusahaan. Pada September 2022, BYAN mencatatkan pendapatan dan laba masing-masing sebesar 3 miliar dan 1,7 USD. Baik pendapatan maupun laba ini naik lebih dari 2 kali lipat apabila dibandingkan dengan pendapatan dan laba perusahaan pada September 2021 lalu. 

7. Chandra Asri Petrochemical (TPIA)

Perusahaan Go Public dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar ke-7 di Indonesia adalah Chandra Asri Petrochemical atau TPIA.  Sesuai dengan namanya, perusahaan ini memproduksi berbagai bahan kimia yang dibutuhkan oleh industri, seperti Ethylene, Propylene, Polyethylene and Polypropylene dan banyak lainnya. 

Perusahaan ini didirikan oleh Peter F, Gontha, salah satu mantan komisaris Garuda, dan Prajogo Pangestu. Perusahaan yang mulai listing di BEI pada tahun 2008 ini tercatat memiliki kapitalisasi pasar sebesar 50,8 triliun. Nilai ini menurun seiring dengan penurunan harga saham dan keuntungan perusahaan ini pada triwulan kedua dan ketiga tahun 2022. 

Menurut laporan keuangan TPIA, pada triwulan ketiga tahun 2022, perusahaan ini mengalami kerugian sebesar 74,8 ribu USD, sementara sahamnya menurun dari 7.200 per lembar pada Januari 2022 menjadi 2.350 per lembar ketika tulisan ini dibuat (November 2022).

8. Unilever Indonesia (UNVR)

Salah satu saham perusahaan FMCG terbesar di Indonesia, Unilever, menjadi perusahaan go public dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar ke-8. Unilever adalah perusahaan yang memproduksi berbagai merk barang kebutuhan sehari-hari, seperti Pepsodent, Sariwangi, Pond’s, Sunlight dan masih banyak lainnya. 

Sempat mengalami bearish trend selama beberapa tahun, saham UNVR mulai menunjukkan kenaikan harga yang cukup signifikan sejak April 2022. Ketika itu, harga saham perusahaan yang didirikan pada tahun 1933 ini naik dari sekitar Rp3.500 menjadi lebih dari Rp4.800 per lembar. Saat tulisan ini dibuat, saham UNVR dijual dengan harga 4.550 per lembar. Dengan nilai ini, maka nilai kapitalisasi pasar UNVR mencapai 173 triliun rupiah.

Dari segi keuangan, pendapatan dan laba perusahaan asal Belanda ini relatif stabil meskipun fluktuatif. Apabila dibandingkan, penjualan perusahaan ini pada triwulan 3 setiap tahunnya selalu berkisar antara 30 triliun sampai 33 triliun rupiah, sementara labanya berkisar antara 4-8 triliun. 

9. Bank Negara Indonesia (BBNI)

Kembali ke sektor finansial, kini Bank Negara Indonesia atau Bank BNI menjadi perusahaan go public dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar ke-9. Saham perusahaan perbankan pelat merah yang berdiri pada tahun 1946 ini dijual dengan harga 9.175 per lembar. 

Sama seperti perusahaan yang bergerak di bidang perbankan yang lain, harga saham, pendapatan dan laba Bank BNI pun meningkat seiring dengan perbaikan ekonomi Indonesia pasca covid19. Sepanjang tahun 2022, harga saham perusahaan ini naik dari Rp6.700 per lembar menjadi lebih dari Rp9.000 per lembar. 

Sementara itu, dari segi pendapatan dan laba hingga triwulan 3 tahun ini, BNI berhasil membukukan nilai pendapatan dan laba masing-masing sebesar 39 triliun dan 16,9 triliun rupiah. Jumlah pendapatan ini naik hingga 2 triliun rupiah, sementara laba-nya naik hingga 7 triun rupiah dibandingkan dengan September tahun 2021 lalu.

10. Sumber Alfa Trijaya (AMRT)

Jika Unilever adalah produsen produknya, maka PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk alias Alfamart adalah penampung dan penjualnya. Yup! PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk adalah perusahaan yang menaungi dua retail store chain besar di Indonesia, yaitu Alfamart dan Alfamidi. 

Perusahaan yang dimiliki oleh salah satu orang terkaya di Indonesia, Djoko Susanto ini, tercatat memiliki 17.000 toko di seluruh Indonesia (kecuali Sumatera Barat dan beberapa kabupaten). Tidak hanya melayani pembelian barang-barang kebutuhan sehari-hari, Alfamart juga berekspansi dengan menyediakan pembelian berbagai produk digital, seperti pulsa, paket data, voucher game dan lain sebagainya. 

Dengan inovasi tersebut, maka tidak heran jika pendapatan dan laba Alfamart meningkat dari 42 triliun dan 876 miliar rupiah pada Juni 2021 menjadi 47 dan 1,2 triliun rupiah pada Juni 2022. Peningkatan pendapatan dan laba ini lantas diikuti dengan peningkatan harga saham dari yang awalnya sebesar Rp1.230 per lembar pada awal tahun 2022, menjadi lebih dari Rp2.700 per lembar pada November 2022. 

Nah, itu tadi 10 contoh perusahaan go public dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Meskipun merupakan faktor penting, namun kapitalisasi pasar tidak seharusnya menjadi satu-satunya penentu yang membuat investor tertarik untuk membeli sebuah saham. 

Sebab, data kapitalisasi pasar di atas bisa berubah sewaktu-waktu. Apalagi jika mengingat bahwasanya bulan November dan Desember adalah salah satu “peak season” pembelian saham di Indonesia karena adanya window dressing. Alangkah baiknya jika investor membeli saham tidak hanya berdasarkan nilai market capitalization-nya saja, tetapi juga berdasarkan analisis fundamental dan teknikal yang telah dilakukan secara matang.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *