Lompat ke konten
Daftar Isi

BI Rate: Pengertian, Fungsi, dan Cara Kerjanya

BI rate

Setidaknya terdapat dua lembaga utama yang bertugas untuk mengelola kondisi perekonomian Indonesia. Dua lembaga tersebut adalah Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Kementerian Keuangan bertugas untuk merumuskan kebijakan fiskal, sementara Bank Indonesia (BI) bertugas untuk merumuskan kebijakan moneter.

Bank Indonesia berbeda dengan bank-bank umum di negeri ini. Lembaga independen ini tidak memberikan pinjaman kepada masyarakat secara langsung, melainkan mengelola kebijakan moneter dengan menyediakan fasilitas simpanan dan pinjaman untuk bank-bank umum tersebut. 

BI juga menerbitkan suku bunga yang disebut dengan BI rate atau kini disebut dengan BI7DRR. Simak apa itu BI rate dan apa bedanya dengan bunga bank pada umumnya dengan membaca artikel berikut:

Apa itu BI Rate?

BI rate adalah suku bunga yang diterapkan oleh Bank Indonesia kepada bank-bank umum atau lembaga keuangan yang memiliki Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Berbeda dengan suku bunga bank biasa, suku bunga BI ini juga menjadi cerminan dari kebijakan moneter yang diterapkan oleh otoritas tersebut. 

Suku bunga ini ditetapkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setelah melakukan rapat setiap bulannya. Penentuan ini didasarkan pada kondisi perekonomian Indonesia dan internasional yang sedang atau diperkirakan akan terjadi. Maka dari itu, tidak heran jika nilai BI Rate terus berubah sesuai dengan kondisi perekonomian. 

Cara Kerja BI Rate di Sistem Perbankan

Terdapat banyak faktor yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam menentukan BI rate, termasuk di antaranya adalah perkiraan inflasi, kondisi perekonomian nasional maupun internasional. Dilansir dari Macro Economic Dashboard, ketika ada kenaikan BI rate, maka keuntungan yang bisa diperoleh bank-bank umum yang memiliki SBI dan menyimpan dananya di BI juga akan meningkat. 

Misalnya, ketika BI rate naik dari 4% menjadi 5%, maka keuntungan bank umum yang menyimpan uang sebesar Rp1.000.000.000 di BI naik dari Rp40.000.000 menjadi Rp50.000.000. Akibatnya, bank umum tersebut akan memperbanyak jumlah “simpanannya” di BI. 

Hal ini umumnya diikuti dengan kenaikan suku bunga produk bank-bank umum, mulai dari tabungan biasa hingga deposito. Ketika bunga simpanan dan kredit naik, diharapkan masyarakat akan lebih tertarik untuk menabung dan enggan untuk mengambil kredit. Dengan demikian, jumlah uang yang beredar di masyarakat dapat dikendalikan, begitu pula dengan inflasi. 

Namun demikian, proses transmisi kebijakan ini membutuhkan waktu untuk berjalan secara efektif. Sebab walau bagaimanapun, bank umum memiliki kendali penuh atas besaran suku bunga yang mereka terapkan, sehingga tidak jarang kenaikan atau penurunan BI rate tidak segera ditanggapi dengan perubahan suku bunga perbankan ke arah yang sama. 

Perbedaan BI 7 Day Repo Rate dan BI Rate

Pada 19 Agustus tahun 2016 lalu, BI Rate secara resmi digantikan oleh BI 7 Day Repo Rate (BI7DRR). Meskipun sama-sama suku bunga acuan yang digunakan sebagai instrumen kebijakan moneter, namun keduanya memiliki mekanisme yang berbeda. 

BI rate memiliki jangka waktu 12 bulan. Ini artinya, bank umum yang “membeli” SBI pada 1 Januari 2023 baru bisa “mencairkan” SBI tersebut pada tanggal 1 Januari 2024 (tepat satu tahun). Di sisi lain, BI7DRR memiliki jangka waktu 7 hari dan kelipatannya (14 hari, 21 hari). Akibatnya, bank-bank umum dapat memperjualbelikan SBI yang mereka miliki dengan lebih cepat, sehingga transaksi keuangan antar bank lebih cepat, begitu juga dengan transmisi kebijakan moneter. 

Namun, hal ini juga memiliki kekurangan. Umumnya, suku bunga yang ditawarkan oleh BI7DRR lebih rendah dibandingkan dengan BI rate. Hal ini karena tenor yang lebih pendek mengakibatkan risiko yang bisa timbul dalam jangka panjang lebih bisa dikendalikan. 

Fungsi BI Rate

1a. Sebagai instrumen kebijakan moneter

Sebagai instrumen kebijakan moneter, salah satu tujuan penetapan suku bunga acuan ini adalah untuk menghambat laju inflasi. Inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa secara serentak dalam periode waktu tertentu bisa disebabkan oleh tingginya permintaan barang dan jasa oleh masyarakat. 

Dengan meningkatkan nilai BI rate dan suku bunga perbankan secara umum, diharapkan masyarakat lebih banyak menabung, alih-alih membeli barang dan jasa, sehingga jumlah uang yang beredar dan bisa digunakan masyarakat untuk transaksi juga akan berkurang. Pada akhirnya, laju inflasi juga bisa direm. 

Sebaliknya, jika yang terjadi adalah deflasi (penurunan harga barang dan jasa secara serentak), suku bunga BI akan turun dan bank umum akan diberi bantuan likuiditas, sehingga masyarakat akan berani mengambil kredit dan bank umum juga berani memberikan kredit. 

2. Sebagai instrumen untuk mengontrol nilai tukar

Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar merupakan hal yang esensial untuk ekspor impor dan pengelolaan utang luar negeri. Jika nilai tukar rupiah melemah, ekspor bisa jadi terasa lebih kompetitif di pasar internasional, namun biaya untuk impor dan biaya untuk melunasi utang luar negeri juga akan lebih mahal. 

Bank Indonesia bertugas untuk mengontrol nilai tukar ini. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan BI Rate. Sederhananya, jika BI Rate naik, maka investasi di Indonesia akan tampak lebih menguntungkan bagi investor asing dibandingkan di negara lainnya. Akibatnya, banyak investor asing menukar dolar dengan rupiah, sehingga rupiah menguat atau tidak turun terlalu tajam. 

3. Sebagai patokan keuntungan investasi

Suku bunga acuan BI juga bisa dijadikan sebagai patokan keuntungan investasi. Sederhananya, jika BI rate naik, maka ada kemungkinan suku bunga investasi deposito juga naik. Pada saat yang bersamaan, ada kemungkinan harga obligasi yang telah terbit sebelumnya turun karena orang-orang lebih memilih investasi di deposito dibandingkan dengan memegang obligasi yang sudah lama.

Sama halnya dengan saham. Saham adalah instrumen investasi dengan risiko tinggi. Sebaliknya deposito adalah instrumen investasi dengan risiko rendah. Maka dari itu, jika suku bunga acuan naik, maka individu dengan profil risiko moderat atau konservatif bisa menjual sahamnya dan menabung deposito. Akibatnya, harga saham menurun. 

Suku bunga BI juga bisa menjadi acuan penetapan kupon obligasi yang baru terbit. Sebab supaya kompetitif, kupon obligasi yang baru terbit sebaiknya lebih tinggi daripada suku bunga BI dan deposito. 

Investor juga bisa menggunakan indikator ini untuk memperhitungkan potensi keuntungan investasi. Caranya adalah dengan menjadikannya sebagai discount rate pada persamaan kriteria investasi, seperti NPV atau WACC. 

Pada akhirnya, fungsi BI rate adalah sebagai instrumen yang digunakan untuk menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. BI dituntut untuk bisa menyesuaikan pergerakan BI rate (BI7DRR) secara presisi sesuai dengan kondisi ekonomi yang berlaku. Sebab, menurut pengalaman Amerika Serikat, penerapan suku bunga acuan yang kurang pas dengan kondisi ekonomi lambat laun bisa mengantarkan negara dalam sebuah resesi.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *