Lompat ke konten
Daftar Isi

Mengenal Bubble pada Crypto

bubble crypto

Seperti halnya berbagai instrumen investasi maupun perdagangan lainnya, aset crypto juga memiliki risiko. Salah satu risiko yang perlu diwaspadai oleh investor dan trader adalah crypto bubble.

Beberapa ekonom dan investor terkemuka seperti Warren Buffett, Ray Dalio, Jamie Dimon, Robert Shiller hingga Joseph Stiglitz percaya bahwa cryptocurrency hanyalah bubble.

Apa itu Crypto Bubble

Bubble pada crypto adalah keadaan di mana harga sebuah crypto berada jauh di atas nilai wajarnya. Bubble ditandai dengan harga yang meningkat tajam namun diprediksi akan pecah tiba-tiba.

Banyak media yang menyebut bahwa analis meramalkan harga crypto tertentu, Bitcoin misalnya, mengalami bubble dan segera crash (harga jatuh tajam). Teori-teori semacam ini biasanya mulai menyebar saat harga koin tertentu mengalami tren kenaikan signifikan dan dinilai menjanjikan.

Meskipun memiliki teknologi yang inovatif, meningkatnya popularitas cryptocurrency yang menjanjikan seperti Bitcoin dan Ethereum merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi koin dan token tersebut menarik untuk dikoleksi, namun kenaikan harga yang artifisial dapat menyebabkan bubble mengalami burst (pecah) di masa depan.

Bubble atau Gelembung 

Bubble atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti gelembung (kata benda), atau menggelembung (verba). Secara sederhana, bisa pula diartikan bahwa sesuatu dinilai berlebihan dan menyembunyikan risiko yang tak dapat ditebak. Meskipun terkesan sebagai suatu hal yang menakutkan, nyatanya banyak teknologi baru yang mengalami fase bubble, sebut saja seperti rel kereta, teknologi radio bahkan internet.

Dalam istilah ekonomi, sebuah bubble terjadi ketika harga semacam aset melebihi nilai intrinsiknya. Jadi, bisa dikatakan bahwa bubble merupakan suatu siklus dengan ciri adanya peningkatan nilai di market. Selain itu, ciri yang bisa diketahui dari siklus ini adalah terjadinya crash atau burst, saat harga yang meningkat drastis tersebut, tiba-tiba terkontraksi atau menurun dengan cepat.  

Pada umumnya, bubble dipicu oleh adanya perilaku pasar yang sedang mengalami euforia. Pada siklus bubble ini, suatu produk, komoditas atau aset diperdagangkan dengan harga atau rentang harga yang jauh lebih tinggi dibanding fundamental. Dan pada akhirnya, harga tersebut cenderung mengalami penurunan yang juga tak kalah drastis dan perlu diwaspadai oleh pelaku pasar. 

Bubble di Dunia Cryptocurrency

Ada alasannya jika para ekonom menganggap bahwa cryptocurrency hanyalah salah satu dari siklus ekonomi lain yang terjadi di pasar. Hal ini karena mereka mendasarkan argumennya pada nominal harga atas koin atau aset digital pada umumnya, jauh lebih tinggi daripada nilai sebenarnya (real value). Bahkan, tak sedikiti pula yang menganggap bahwa kebanyakan cryptocurrency tidak punya real value sama sekali alias tidak berharga.

Terlepas dari itu, jika dilihat pada pasar crypto, terlihat ada indikasi bahwa aset memang ada yang mengalami kenaikan harga yang sangat pesat. Setelah rentang waktu tertentu, harga yang melonjak kemudian tiba-tiba terjun bebas. Fase semacam ini mungkin bisa diantisipasi dengan baik oleh investor berpengalaman, namun tidak selalu demikian bagi para pemula yang sering kali berujung pada kerugian besar.

Di dunia cryptocurrency, siklus semacam ini pernah terlihat selama beberapa kali jadi seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi para investor. Bubble atau gelembung crypto yang bisa pecah sewaktu-waktu bisa mendatangkan profit signifikan dengan memanfaatkan momen FOMO dan FUD di pasar. Namun jika Anda tak mampu mengendalikan diri dan berpikir secara jernih, bisa saja Anda yang menjadi korban berikutnya.

Umumnya, bubble dialami oleh shit coin dimana koin yang tidak memiliki harganya naik tinggi meskipun memiliki aspek fundamental yang buruk. Crypto yang memiliki kapitalisasi pasar besar lebih sulit untuk menjadi bubble.

Hal yang Bisa Menjadi Penyebab Crypto Bubble

Untuk dapat mengenali terjadinya momen bubble ini, Anda mungkin perlu menganalisis apa yang menjadi penyebabnya terlebih dahulu. Dengan begitu, Anda bisa memiliki analisis lebih akurat tentang durasi dan harga terbaik yang bisa didapatkan. Selain itu, Anda juga lebih mudah dalam melakukan manajemen resiko atas perdagangan maupun investasi yang dilakukan di pasar.

Pada umumnya, penyebab dari crypto bubble di pasar adalah ketika para investor dan trader menjual aset dengan harga yang lebih tinggi, jauh melebihi kisaran harga pada saat itu. Tujuan dari jual mahal tersebut tentu saja untuk mendapatkan profit yang lebih besar memanfaatkan suatu momen.

Nah, momen yang pernah diketahui dan bisa menjadi contoh pemicu bubble ini antara lain:

Elon Musk dengan Cuitannya

Belakangan ini, salah satu contoh yang dapat memicu terjadinya crypto bubble adalah pernyataan dan sikap dari tokoh terkemuka. Hal ini bisa dilihat dari fenomena cuitan CEO Tesla, Elon Musk yang kemudian mempengaruhi geliat harga salah satu crypto terkemuka, Bitcoin (BTC). 

Awalnya, ia menyatakan bahwa Bitcoin adalah salah satu crypto yang menjanjikan dan memutuskan untuk membeli Bitcoin sejumlah $1,5 miliar. Hal ini kemudian seolah memperlihatkan dukungannya pada Bitcoin yang juga diperkuat dengan pengumuman bahwa perusahaannya akan menerima pembayaran dengan Bitcoin untuk pembelian berbagai produk.

Namun 2 bulan kemudian, Musk membuat cuitan yang mengejutkan bahwa perusahaannya tak lagi menerima pembayaran menggunakan Bitcoin. Bitcoin disebut membawa dampak buruk bagi lingkungan. Ia kemudian memberikan isyarat baru dengan mengalihkan perhatian ke Dogecoin (DOGE), meninggalkan Bitcoin yang kemudian mengalami penurunan harga signifikan.  

Sikap Pemerintah terhadap Crypto

Kilau Bitcoin dan cryptocurrency lain memang menarik perhatian publik hingga mereka berbondong-bondong mencari cara memilikinya dengan cara menambang. Saat aset crypto semakin menunjukkan peningkatan, pemerintah kemudian mengambil sikap dengan alasan melindungi mata uang. Peningkatan posisi crypto pun kemudian tiba-tiba anjlok oleh kebijakan pemerintah tersebut.

Salah satu negara yang menolak penggunaan aset digital ini adalah Tiongkok dengan melarang sejumlah bank dan layanan pembayaran online di wilayahnya menawarkan apa pun yang berbau crypto. Pelarangan ini pun memberikan dampak signifikan mengingat sebagian besar aktivitas penambangan crypto dilakukan di Cina. Mau tidak mau, penambangan harus mencari alternatif lainnya.   

Sayangnya, sikap serupa juga mulai menular ke negara-negara lain. Pelarangan pembayaran crypto juga terjadi di Turki, sementara negara seperti Bolivia, Ekuador, Nigeria dan Aljazair juga melarang mata uang digital. Sikap dari sejumlah pemerintahan negara ini kemudian memaksa Bitcoin dan crypto lainnya mengalami penurunan harga, bahkan sampai ke titik paling rendah.

Crypto Bubble Berbeda dengan Siklus Bubble Lainnya

Jika Anda sudah pernah mengalami fenomena ata siklus bubble ini sebelumnya, mungkin masih ingat dengan momen seperti ikan louhan, batu akik, dan tanaman seperti anthurium dan janda bolong. Ya, komoditas tersebut akan kembali ke harga normal setelah tiba masanya. Lantas apakah crypto bubble juga demikian? 

Besar kemungkinan demikian, namun kapan masanya mungkin tidak mudah untuk diprediksi. Selain itu, ada beberapa aspek yang membedakan antara crypto bubble dengan fenomena lainnya, antara lain:

Stok crypto terbatas

Bitcoin, dan cryptocurrency lain beredar dalam jumlah yang terbatas. Saat ini tercatat sudah 18,6 juta yang sudah ditambang dari total 21 juta Bitcoin tersedia. Sisa koin tersedia ini diperkirakan akan habis ditambang pada 2140 mendatang karena adanya halving day.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pasokan Bitcoin tidak akan bertambah meskipun permintaan terus menunjukkan peningkatan.

Apa yang terjadi pada Bitcoin kemudian membuat cryptocurrency memiliki kriteria seperti halnya aset investasi lainnya. Bisa diibaratkan bahwa koin ini seperti halnya emas.

Dan seperti apakah bubble yang bisa dialami oleh jenis aset semacam ini? Meskipun demikian, harus diakui bahwa salah satu risiko pada Bitcoin adalah terjadinya bubble dalam jangka waktu pendek-menengah.

Umumnya transaksi dilakukan dengan bantuan pihak ketiga

Dari segi sistem, transaksi crypto biasanya dilakukan lewat exchanger crypto dengan order buku. Dengan demikian, kecepatan proses jual beli menyesuaikan dengan harga. Hampir tidak ada aktivitas perang harga antar exchanger. Dengan demikian, jarang sekali ada pihak yang banting harga sampai merusak pasar.

Ada siklus empat tahunan

Jika Anda mengikuti dunia crypto, mungkin masih ingat bahwa mata uang jenis ini pernah mengalami bubble pada tahun 2013, 2017 dan 2021. Selang waktu di antara bubble adalah 4 tahun yang kemudian bisa ditandai sebagai suatu siklus berulang dan selalu menunjukkan peningkatan harga dibanding bubble sebelumnya. Karena dapat diprediksi terjadi tiap 4 tahun sekali, banyak orang yang yakin momen menguntungkan itu pasti terulang kembali. 

Akhir Kata

Istilah bubble tak dapat terelakkan di dunia crypto dengan berbagai teori dan apa yang diperlihatkan di pasar sampai sejauh ini. Harga yang melejit kemudian anjlok dengan cepat masih menjadi ciri khas dari pasar crypto. Namun dengan fundamental yang tepat, bukan tidak mungkin crypto bubble ini hanya salah satu fase sebelum teknologi baru ini diterima.

Pratomo Eryanto

Pratomo Eryanto

Pratomo Eryanto memiliki motto "Investasi tidak harus membosankan". Sebagai penggiat dunia pasar saham, Pratomo memiliki misi meningkatkan literasi finansial masyarakat Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *