Ketika mendengar kata China, apa yang ada di dalam benak Anda? Salah satu negara dengan wilayah terluas di dunia? Salah satu mitra dagang Indonesia? Atau impor kereta cepat? Tahukah Anda bahwasanya negeri yang juga disebut dengan negeri Tiongkok ini 50 tahun silam bukan negara maju seperti saat ini?
Dalam sejarahnya, China memang sempat menjadi kerajaan yang disegani di Asia. Bahkan sebuah pepatah Arab kuno menyebutkan bahwa “Belajarlah sampai negeri China”. China juga sempat menjadi aliansi Soviet dan Korea Utara dalam Perang Korea tahun 1950-1953. Namun, ekonomi negeri tirai bambu ini tidak selamanya baik dan berjaya. Pada tahun 1958-1962, negeri ini sempat dilanda bencana kelaparan hebat yang menewaskan jutaan hingga belasan juta orang (jumlah tidak pasti).
Lalu, bagaimana negara ini bisa berkembang menjadi negara maju seperti sekarang? Simak penjelasannya berikut ini:
Sejarah Ekonomi China
Sebelum era Mao
China adalah salah satu bangsa tertua di Asia. Sejarah bangsa ini bahkan bisa ditelisik hingga sebelum Masehi. Indonesia sendiri pada masa kerajaan sudah sering berinteraksi dengan pedagang, pelaut atau bahkan negarawan dari negeri ini.
Bahkan, beberapa manuskrip yang ditemukan di China menjadi penguat aspek sejarah tertentu di Indonesia, seperti manuskrip yang ditulis I-tsing seorang biksu yang belajar agama Buddha di Sriwijaya. Selain kunjungan keagamaan, beberapa kerajaan di Indonesia juga merupakan mitra dagang kerajaan di China. Barang-barang yang diperdagangkan seperti emas, perak, beras dan rempah-rempah dan mengimpor sutra, porselen dan lain sebagainya.
Tidak hanya dengan negara-negara tetangga, seperti Indonesia, China juga melakukan perdagangan dengan negara-negara barat. Komoditas utama negeri ini adalah teh dan salah satu importir utama teh adalah Inggris.
Pada abad ke-19, ekspor teh ke Inggris yang besar membuat ketidakseimbangan perdagangan antara kedua negara tersebut. Hal ini kemudian di atas oleh Inggris dengan cara menumbuhkan opium (marijuana) di Bengal, India dan menjualnya ke China.
Sebagaimana marijuana pada umumnya, opium menimbulkan banyak kemudharatan. Akibatnya, pemerintah China (waktu itu kerajaan Qing) memutuskan untuk menutup perdagangan opium dari Inggris. Sebagai respon, Inggris kemudian mendeklarasikan Perang Opium (Opium War) yang pertama pada 1839-1842 dan Perang Opium ke-2 pada 1856-1860.
Kekuatan militer Inggris (dan Perancis pada Perang Opium yang ke-2) yang lebih superior membuat tentara Qing kalah pada perang ini. Salah satu akibat dari kekalahan ini adalah penguasaan Hongkong oleh Inggris, pelemahan legitimasi politik Kerajaan Qing secara umum dan apa yang disebut dengan “Century of Humiliation” atau seratus tahun penghinaan nasional.
Pada era Mao Zedong (1949-1976)
Pelemahan legitimasi politik kerajaan Qing berimbas pada ketidakstabilan politik negeri tersebut. Pada 1860-1949, kondisi sosial politik dan ekonomi negara ini carut marut entah karena revolusi pada tahun 1912, hingga karena penjajahan Jepang. Salah satu akibat dari ketidakstabilan politik ini adalah lepasnya Taiwan dari China daratan pada tahun 1949.
Pada tahun ini pula, Mao Zedong atau yang juga disebut dengan Mao Tse Tung naik sebagai pimpinan Partai Komunis China. Mao yang seorang Marxis mengubah ekonomi China berdasarkan paham komunis yang dipahaminya.
Pada masa ini, target utama Mao adalah meningkatkan industrialisasi di China dengan menggunakan prinsip ekonomi komunis, seperti setiap sumber daya dimiliki oleh pemerintah, pemerintah menentukan harga barang dan jasa serta target produksi dengan perdagangan internasional yang sangat dibatasi. Semua hal ini ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga sistem ini juga disebut dengan sistem ekonomi “planned economy”.
Untuk mewujudkan cita-cita ini, Mao pada tahun 1958 menerbitkan program “The Great Leap Forward”. Dalam program ini, semua lahan pertanian dijadikan milik negara dan dibagikan secara merata kepada petani, pembangunan irigasi pertanian besar-besaran dan alokasi tenaga kerja berlebih dari sektor pertanian ke sektor manufaktur.
Sayangnya, program ini justru gagal total. Pada tahun 1959-1961, China justru mengalami musibah kelaparan nasional dengan perkiraan jutaan hingga puluhan juta orang meninggal hanya dalam waktu dua tahun. Penyebabnya adalah penurunan jumlah produksi pertanian akibat relokasi tenaga kerja, pemusnahan burung pipit yang dianggap hama, berbagai bencana alam dan meningkatnya jumlah populasi di negara Tiongkok tersebut.
Produksi produk manufaktur juga tidak sebesar yang diperkirakan. Mayoritas hasil produksi baja China pada masa ini adalah baja dengan kualitas buruk yang tidak bisa digunakan untuk apapun. Hal ini diperparah dengan sistem birokrasi terpusat yang membuat pemerintah-pemerintah daerah menutupi adanya krisis kelaparan dan jeleknya kualitas hasil baja ini.
Pada masa ini pemerintah China memperkirakan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi di China adalah sebesar 6,7% per tahun. Akan tetapi beberapa peneliti menyebutkan kemungkinan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata negara ini pada masa ini adalah sekitar 4,4% per tahun (Every CSR Report)
Era Deng Xiaoping dan seterusnya
Deng Xiaoping naik ke puncak kekuasaan di China pada tahun 1979 atau 3 tahun setelah Mao meninggal. Berbeda dengan Mao yang idealis dalam berpolitik, Deng adalah orang yang pragmatis. Oleh sebab itu, dalam masa kepemimpinannya, banyak perubahan-perubahan ekonomi fundamental yang diciptakan. Diantaranya:
- Petani boleh menjual hasil pertaniannya ke pasar. Berbeda dari zaman Mao, pada zaman Deng petani boleh menjual sebagian hasil pertaniannya ke pasar dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Akibatnya, produksi setiap lahan pertanian meningkat dan bencana kelaparan bisa dihindari.
- Pembangunan special economic zone (SEZ). Pada masa ini, China juga lebih terbuka pada investasi asing. Hal ini dibuktikan dengan dibukanya beberapa kota untuk investasi asing, seperti Shenzen dan Shanghai. Pengelolaan investasi di kota-kota ini juga diberikan kepada pemerintah lokal. Hal ini berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang mengatur ekonomi harus dari pemerintah pusat.
Hanya saja, Deng juga memastikan bahwa interaksi dengan investor asing ini tidak menimbulkan “penghinaan” sebagaimana pada perang opium seratus tahun sebelumnya dengan meminta investor asing untuk tunduk pada peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah China.
- China kembali menerapkan “tes CPNS”. Tes CPNS sebenarnya sudah ada di China sejak masa kerajaan kuno. Namun sistem ini dihapus pada tahun 1905. Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, sistem ini kembali diberlakukan karena memberikan kesempatan masyarakat berdasarkan kemampuan intelektualnya untuk menjadi orang dengan ekonomi lebih baik.
- Penerapan sistem hukou. Sistem administrasi China kuno lain yang kembali diterapkan pada masa pemerintahan Deng Xiaoping adalah Hukou. Dalam sistem ini, seseorang hanya bisa terdaftar sebagai penduduk di satu daerah saja supaya bisa mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah, mulai dari fasilitas kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya, Sistem ini diterapkan untuk memperlambat proses migrasi domestik antar daerah di negara tersebut.
- Privatisasi perusahaan milik negara dan kelonggaran perusahaan swasta. Pada masa pemerintahannya, Deng juga membuka pintu lebar-lebar untuk warga China yang ingin membuka bisnis pribadi baik itu pada level UMKM maupun besar. Tidak hanya itu, Deng juga menyetujui privatisasi perusahaan milik negara (BUMN) yang kemudian terjadi secara gradual.
- Dual-price system. Jika pada masa pemerintahan Mao, perusahaan tidak bisa memproduksi produk diatas kuota yang ditetapkan oleh pemerintah dengan harga pemerintah, maka pada masa Deng hal ini diperbolehkan tapi menggunakan dua harga yang berbeda. Perusahaan boleh memproduksi barang dan jasa di atas target, tapi sebagian dijual ke pemerintah dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagian boleh dijual ke pasar menggunakan harga pasar.
- Republik Rakyat China (PRC) menjadi anggota organisasi-organisasi besar dunia. Seiring dengan terbukanya ekonomi China terhadap investor asing, negeri ini juga mulai mendaftar sebagai anggota organisasi-organisasi besar di dunia seperti Bank Dunia dan IMF (1980), dan pada akhirnya WTO pada tahun 2001.
- One child policy. Barangkali kebijakan Deng Xiaoping yang paling kontroversial adalah kebijakan yang satu ini. One child policy adalah kebijakan satu keluarga satu anak yang diterbitkan oleh pemerintah pada masa Deng pada tahun 1980. Kebijakan ini bertujuan untuk menahan peningkatan jumlah populasi di China setelah serangkaian program pada dekade 1970-an terbukti kurang efektif. Dalam kebijakan ini, keluarga yang ingin memiliki anak lebih dari 1 harus membayar denda.
Kebijakan ini berdampak luas pada demografi China hingga kini, mulai dari penurunan jumlah populasi, perbandingan antara jumlah wanita dan laki-laki yang timpang dan lain sebagainya. Program ini kemudian dihapuskan pada tahun 2015 dan bahkan pada tahun 2021 lalu pemerintah China berbalik mendorong masyarakat untuk memiliki 2 orang anak dengan berbagai insentif.
Akibat dari serangkaian program ini, diperkirakan rata-rata pertumbuhan ekonomi China sepanjang tahun 1979 hingga saat ini adalah sebesar 10%. Tidak hanya itu, sejak tahun 2010 China juga menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia menggeser posisi Jepang menurut GDP. Bahkan diperkirakan pada tahun 2023 ini China menjadi negara dengan GDP purchasing power parity (GDP PPP) terbesar di dunia.
Pergeseran sistem ekonomi ini juga membuat berbagai pihak meragukan status China sebagai negara komunis-sosialis. Namun, pihak pemerintah negara ini sendiri mengukuhkan bahwa hingga saat ini China masih merupakan negara sosialis meskipun dengan caranya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan intervensi pemerintah yang kuat dalam perekonomian, jumlah BUMN yang masih banyak dan fakta bahwa negara tersebut masih dikelola oleh satu partai saja.
Adapun hubungannya dengan Indonesia, China merupakan salah satu mitra dagang utama negeri ini. Menurut data BPS, pada tahun 2022 jumlah ekspor dan impor Indonesia dari dan ke China masing-masing adalah sebesar 65.839,3 Juta USD dan 17.176,7 juta USD. Indonesia mengekspor batubara, minyak kelapa sawit dan minyak mentah, besi dan baja serta kayu dan produk hasil kayu, sementara China mengirimkan berbagai produk elektronik, mesin, produk kimia dan tekstil ke Indonesia.
Faktor Utama Kesuksesan Ekonomi China
Apabila dilihat dari pembahasan di atas, maka berikut ini beberapa faktor yang membuat ekonomi China sukses berkembang dalam 4 dekade terakhir:
1. Kepemimpinan yang kuat
Berbeda dengan Indonesia yang berganti presiden setiap 5 tahun sekali, China dipimpin oleh presiden yang bisa memiliki tenure pemerintahan yang lebih lama. Selain Mao yang memerintah dari dekade 1940-an hingga 1976, Deng Xiaoping juga memerintah dari 1978 sampai 1989 dan Xi Jinping (presiden China saat ini) memimpin dari 2013 hingga kini.
Kelebihan figur pemimpin yang kuat seperti ini adalah, pertama investor sudah bisa memperkirakan kebijakan ekonomi negara tersebut di masa depan. Kedua, stabilisasi sosial politik lebih terjamin. Meskipun demikian, kelebihan yang kedua ini sering mengorbankan kebebasan pendapat dan demokrasi.
2. Keterbukaan ekonomi (openness)
Sama seperti Korea Utara, sebelum tahun 1979 China juga merupakan negara tertutup. Seiring dengan keterbukaan negara tersebut terhadap investasi asing, tentunya dengan kebijakan investasi yang tepat dan tegas, negara ini berhasil menjadi destinasi investasi asing utama. Investasi asing ini kemudian menimbulkan efek trickle down yang pada akhirnya mengembangkan ekonomi masyarakat bawah di negara tersebut.
3. Adaptasi nilai-nilai leluhur
Dari berbagai program Deng Xiaoping di atas, beberapa diantaranya diambil dari program-program administrasi kerajaan China kuno. Sejak zaman kerajaan, masyarakat China juga menghargai pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa penting bagi generasi baru untuk mempelajari sejarah dan mengambil nilai-nilai penting dari sejarah tersebut.
Selain nilai-nilai ini, karakteristik yang juga budaya bagi masyarakat China adalah sifat tekun, hemat dan memiliki disiplin yang tinggi. Nilai-nilai budaya luhur inilah yang membuat sumber daya manusia di China memiliki nilai plus dibandingkan negara maju lainnya.
4. Industrialisasi dengan perencanaan yang cermat
Industrialisasi atau perpindahan pusat ekonomi negara dari sektor agraris menjadi manufaktur memang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Namun dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses industrialisasi ini harus dilaksanakan dengan perencanaan yang cermat dan matang, supaya tercipta keseimbangan antara sektor manufaktur dan agraris.
Tantangan Ekonomi China
1. Masalah demografis
Apa yang menjadi dampak dari kebijakan satu anak (one child policy)? Yup! Masalah demografis. Kebijakan satu keluarga satu anak memang berhasil memperlambat peningkatan populasi di China. Akan tetapi seiring dengan perkembangan ekonomi di negara tersebut, kini China juga membutuhkan lebih banyak anak muda untuk menyokong ekonominya di masa depan.
Maka dari itu, tidak heran jika pemerintah negara ini kini mendorong masyarakatnya untuk memiliki anak lebih dari satu. Namun kini masyarakat China justru enggan memiliki anak lebih dari satu karena tingginya biaya hidup di negara tersebut.
2. Krisis di sektor properti dan infrastruktur
Salah satu potensi bisnis di negara berkembang dan memiliki penduduk dalam jumlah banyak seperti China dan Indonesia adalah sektor properti dan infrastruktur. Sektor ini menjadi penopang ekonomi China selama bertahun-tahun. Akan tetapi sejak pandemi covid19, dominasi sektor ini mulai goyah.
Hal ini pertama, karena sektor properti dan infrastruktur umumnya dibiayai menggunakan utang yang mana hal ini berarti peningkatan suku bunga acuan akan menyulitkan developer untuk membayar utangnya. Kedua, tingkat kenaikan harga properti tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Akibatnya, permintaan di pasar properti juga lesu.
Ketiga, infrastruktur juga menjadi salah satu program pemerintah di banyak negara berkembang. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ekonomi, biasanya infrastruktur sudah mapan, sehingga banyak negara berkembang yang berubah menjadi negara maju, seperti China justru bingung harus berinvestasi pada sektor apa lagi untuk memutar roda perekonomiannya.
3. Masalah lingkungan
Pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam 4 dekade terakhir berdampak buruk bagi kondisi lingkungan di China. Masalah lingkungan ini terbilang menyeluruh, mulai dari polusi udara, air, hingga deforestasi. Bahkan, negara ini menjadi peringkat 120 dari 180 negara di Environmental Performance Index (EPI).
Dalam 10 tahun terakhir ini, pemerintah negara ini telah mencoba untuk mengambil langkah serius mengatasi masalah ini, mulai dari penandatanganan Paris Climate Accord hingga proyek pembangunan stasiun udara di 360 kota pada tahun 2012-2014 untuk merekam dan menyampaikan informasi kualitas udara secara real time kepada masyarakat supaya masyarakat bisa melakukan langkah preventif terhadap penyakit.
Selain tiga masalah di atas, China juga menghadapi masalah ketimpangan ekonomi. Memang, dalam 4 dekade terakhir pasca pembukaan negeri ini, Tiongkok telah mengangkat 800 juta orang keluar dari garis kemiskinan.
Akan tetapi, saat ini tingkat ketimpangan ekonomi negeri tirai bambu ini masih terbilang tinggi. Menurut data dari Bank Dunia, indeks gini negara ini mencapai 46,6% pada tahun 2021 atau jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang berada pada poin 37,9% pada tahun yang sama.