Lompat ke konten
Daftar Isi

Mengenal The Great Depression, Penyebab, & Dampaknya

the great depression

The great depression adalah salah satu penyebab Bandung tidak menjadi ibu kota Hindia Belanda dan Indonesia. Menurut buku Geliat Kota Bandung yang diterbitkan oleh BI Institute, wacana ini muncul ketika seorang ahli kesehatan asal Belanda yang bernama  H.F Tillema menyebutkan bahwa meletakkan ibukota Hindia Belanda di Jakarta atau kota lain di utara Pulau Jawa berpengaruh buruk terhadap kesehatan. Beliau lantas menyarankan untuk memindahkan ibu kota ke Bandung. 

Wacana ini pun diaminkan oleh Gubernur Jenderal Belanda saat itu, sehingga proses pengubahan Bandung untuk menjadi Ibukota Hindia Belanda mulai dilakukan. Banyak fasilitas dibangun, seperti gedung pemerintahan, jalur kereta api, hingga rumah sakit yang memadai. Namun sayangnya, pembangunan ini harus terhenti pada tahun 1929 karena the great depression atau yang juga disebut dengan krisis malaise di Indonesia. 

Menurut buku tersebut, krisis malaise mempengaruhi pembangunan kota-kota besar di dunia, khususnya kota yang mengandalkan industri alat berat. Apa itu krisis malaise dan mengapa dampaknya bisa sampai ke Hindia Belanda (Indonesia)? Simak ulasan selengkapnya berikut ini. 

Sejarah The Great Depression

The great depression adalah krisis ekonomi paling parah sepanjang perekonomian modern. Krisis ini terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1929-1939 dan dampaknya meluas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, krisis ini juga disebut dengan krisis malaise. 

Sebelum memahami sejarah krisis ini, sebaiknya Anda memahami konteksnya terlebih dahulu. Ketika krisis ekonomi ini terjadi, Pemerintah Amerika Serikat menganut sistem ekonomi kapitalis murni dimana peran pemerintah benar-benar dibatasi dan ada pemahaman bahwa ekonomi akan membaik dengan sendirinya. Konteks yang kedua adalah lembaga-lembaga penting, seperti SEC, PBB, Bank Dunia dan IMF ketika krisis ini terjadi. 

Perlu diingat juga bahwasanya resesi berbeda dengan depresi. Depresi adalah resesi ekonomi yang berkelanjutan selama lebih dari 3 tahun, sehingga boleh dikatakan bahwa depresi lebih parah dibandingkan dengan resesi. 

Sejarah The Great Depression

Pada awal dekade 1920-an, perekonomian Amerika Serikat maju pesat. Pada tahun-tahun ini, masyarakat negeri Paman Sam tersebut mulai mengenal pasar modal dan menganggap kalau pasar modal dapat menghadirkan keuntungan yang besar. Akibatnya, masyarakat dari berbagai kalangan mulai membeli saham dan terlibat dalam tindakan spekulasi. 

Menjelang Oktober 1929, produksi barang dan jasa menurun. Hal ini dikarenakan gaji yang rendah membuat daya beli konsumen rendah juga, sehingga banyak hasil produksi yang tidak bisa dibeli oleh masyarakat. Meskipun demikian, harga saham perusahaan-perusahaan tersebut tetap naik. 

Krisis ini pertama kali pecah pada tanggal 24 Oktober 1929. Ketika itu, investor yang khawatir akan adanya penurunan harga saham mulai menjual sahamnya. Akibatnya, ada 12,9 juta saham yang dijual pada hari yang sama. Kekhawatiran ini memuncak 5 hari kemudian pada tanggal 29 Oktober 1929 dimana pada hari ini ada 16 juta lembar saham terjual (History). 

Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, jumlah supply yang terlalu banyak akan mengakibatkan harga turun. Jadi, tidak heran jika harga saham yang semula tinggi sebelum 29 Oktober 1929, anjlok tajam sampai tidak berharga. 

Krisis tidak berhenti di sini. Gaji yang rendah, harga saham anjlok tajam, produksi pertanian yang gagal membuat jumlah pengangguran di negeri Paman Sam meroket dari 4 juta orang pada tahun 1930 menjadi 6 juta orang pada tahun 1931 dan 15 juta orang pada tahun 1932. Dari segi persentase, jumlah pengangguran naik dari 3,2%  pada tahun 1929 menjadi 25% pada tahun 1933. Hal ini berdampak pada kondisi psikologis dan kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian negara juga rendah. 

Krisis di pasar modal merembet ke pasar keuangan. Seiring dengan ketidak percayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi, masyarakat berbondong-bondong menarik uangnya dari bank (bank runs). Hal ini tidak hanya terjadi sekali saja, melainkan terjadi selama 3 tahun berturut-turut dari tahun 1930 hingga 1932. Akibatnya, pada awal 1933 ribuan bank di negeri Paman Sam tersebut mengalami kebangkrutan. Hal ini tentunya membuat krisis semakin parah, mengingat bahwasanya penutupan bank bisa menular pada perekonomian riil.

Penyebab The Great Depression

Meskipun pecah akibat runtuhnya saham-saham di pasar modal (Wall Street), namun para ahli sepakat bahwa pecahnya pasar modal tersebut bukan satu-satunya penyebab the great depression. Banyak faktor-faktor kecil yang turut ambil andil menyebabkan krisis ini. Beberapa penyebab dari krisis ini adalah:

1. Rendahnya permintaan agregat

Ekonom yang menganut paham Keynesian mengidentifikasi penyebab dari krisis ini sebagai rendahnya permintaan agregat baik itu dari sektor swasta maupun dari sektor publik. Dalam ekonomi pasar dipercayai bahwasannya, ketika harga barang dan jasa turun, maka permintaan akan naik, begitu sebaliknya. Masalahnya adalah, ketika gaji rendah, pengangguran tinggi, serta kepercayaan terhadap kondisi ekonomi memburuk, orang tidak akan membeli barang dan jasa meskipun harga barang dan jasa tersebut turun. 

Maka dari itu, tidak heran jika pasca krisis ini terjadi, pemerintah Amerika Serikat menggelontorkan berbagai peraturan baru dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan permintaan agregat, seperti program pembangunan padat karya, peningkatan pajak, peraturan mengenai gaji dan lain sebagainya. 

2. Kesalahan The Federal Reserve

The Federal Reserve atau The Fed adalah bank sentral Amerika Serikat. Menurut Investopedia, sepanjang tahun 1921- hingga krisis ini terjadi, The Fed menerapkan kebijakan moneter ekspansioner. Dalam kebijakan moneter ini, supply uang di pasaran diperbanyak dan suku bunga acuan rendah.  

Caranya adalah dengan mempermudah kebijakan kredit, membuat batasan cadangan minimum (reserve requirement) perbankan dan lembaga keuangan lainnya kecil. Hal ini berakibat pada masyarakat yang meminjam uang besar-besaran dan menggunakannya untuk investasi dengan tanpa memperhatikan fundamental dari investasi tersebut. 

Lambat laun, hal ini membuat pasar saham pecah. Seperti yang telah dijelaskan di atas, pasar saham yang pecah dan penurunan kepercayaan masyarakat berakibat pada penarikan uang mereka di bank. Bank dan lembaga keuangan yang memiliki cadangan minimum sedikit pada akhirnya mengalami “sudah jatuh, tertimpa tangga pula”, kreditor gagal membayar utang dan mereka (bank) ditagih oleh nasabah. 

Hal ini kemudian diperparah dengan The Fed yang pada saat krisis memutuskan untuk memotong money supply atau menerapkan kebijakan moneter kontraktif. Ini artinya, lembaga ini tidak memberikan likuiditas alias bantuan dana kepada bank-bank umum yang beroperasi. Akibatnya, ⅓ dari bank umum yang beroperasi di Amerika Serikat kala itu bangkrut. 

Ahli ekonomi paham monetarist, seperti Milton Friedman dan Ben Bernanke beranggapan bahasanya sebenarnya pada tahun 1929 itu hanya resesi biasa. Namun, karena kesalahan The Fed inilah, resesi yang awalnya biasa menjadi depresi berkepanjangan. 

3. Kebijakan Proteksionisme

Proteksionisme adalah kebijakan pemerintah membatasi perdagangan internasional (khususnya impor) demi melindungi kondisi ekonomi dalam negara.  Namun kebijakan seperti ini harus diterapkan dengan hati-hati. 

Pada masa the great depression (depresi besar), presiden Amerika Serikat kala itu, Herbert Hoover menandatangani pakta yang bernama The Smoot-Hawley Tariff Act of 1930. Pakta ini berisi persetujuan presiden untuk menaikkan bea impor sebesar 20%, padahal sebelumnya bea impor Amerika Serikat sudah tinggi. Maka dari itu, tidak heran jika 1000 orang ahli ekonomi ketika itu tidak menyetujui kebijakan ini.

Idenya sederhana. Produk-produk pertanian dari Eropa lebih murah harganya, sehingga kalau masuk ke Amerika Serikat, akan memperparah harga produk pertanian dari petani dalam negeri, sehingga kenaikan bea impor diharapkan dapat mengurangi jumlah impor. Awalnya, rencana ini hanya akan diimplementasikan untuk produk-produk pertanian saja, namun ternyata sektor lainnya juga ingin dilindungi. 

Pakta ini memang berakibat pada penurunan impor dari $7 miliar pada tahun 1929 menjadi $2,9 miliar pada tahun 1932. Akan tetapi, penurunan impor juga diikuti dengan penurunan ekspor. Baik Keynesian maupun Monetaris percaya bahwa kebijakan ini memperparah dampak depresi besar di seluruh dunia. Tidak hanya Amerika Serikat, kebijakan ini juga mempengaruhi perekonomian negara lain di dunia termasuk di Indonesia. Sebab, akibat dari kebijakan ini, volume perdagangan internasional anjlok hingga 66%. 

4. Mismanajemen di sektor keuangan

Menurut hemat penulis, penyebab lain yang melatarbelakangi adanya krisis ini, khususnya stock bubble pada tahun 1929 adalah adanya mismanajemen pada sektor keuangan. Pada tahun 1933, Ferdinand Pecora diminta pemerintah untuk melakukan investigasi mendalam mengenai penyebab spekulasi di sektor keuangan. 

Hasil investigasi tersebut menyebutkan banyaknya mismanajemen dalam sektor ini. Termasuk diantaranya adalah banyaknya saham yang diterbitkan untuk membayar utang bank dengan kualitas buruk, insider trading, penggelapan pajak oleh para petinggi bank dan lembaga keuangan dan lain sebagainya. 

New Deal

Lalu bagaimana krisis ini berakhir? Meskipun para ahli berbeda pendapat mengenai efisiensinya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan Franklin D. Roosevelt (FDR) yang disebut dengan New Deal, berperan cukup signifikan dalam mengakhiri krisis dan mengubah peran Pemerintah Amerika Serikat terhadap perekonomian hingga kini.

Kebijakan ini berlangsung selama 6 tahun dari 1933-1939. Dalam rentang tahun tersebut, FDR mengesahkan berbagai peraturan, seperti:

  1. The Emergency Banking Act of 1933 untuk membuat sistem perbankan menjadi lebih stabil dan membuat The Fed sebagai lembaga yang independen. 
  2. The Securities Act of 1933 yang kemudian melahirkan SEC ditujukan untuk memperbaiki sistem di pasar modal, sehingga publik menjadi percaya kembali. 
  3. Works Progress Administration (WPA). WPA bisa jadi merupakan salah satu program New Deal yang paling berdampak besar. Dalam program ini, jutaan pengangguran di Amerika Serikat dipekerjakan oleh pemerintah untuk berbagai hal mulai dari menjadi tukang bangunan yang memperbaiki jalan, sampai proyek membuat buku braille. Tujuannya adalah, jika orang-orang punya pekerjaan, kepercayaan dirinya akan meningkat, akan ada pendapatan untuknya, sehingga perekonomian akan berputar kembali. 
  4. The Fair Labor Standards Act (FLSA). Sama seperti WPA, program ini juga digadang-gadang menjadi warisan terbesar New Deal. Dalam FLSA, berbagai kebijakan pro tenaga kerja diperkenalkan, seperti upah minimum, upah lembur, jam kerja maksimal dan lain sebagainya. 

Meskipun berdampak besar, namun banyak pihak yang menganggap bahwa depresi besar benar-benar berakhir ketika Amerika Serikat memutuskan untuk terlibat langsung dalam Perang Dunia ke-2. Alasannya sederhana, kebutuhan jumlah tentara dan logistik perang membuat banyak laki-laki di negeri Paman Sam tersebut tidak lagi menganggur. Bahkan, hal ini berakibat wanita yang sebelumnya hanya bekerja sebagai pekerja domestik mulai dipekerjakan di perusahaan dan pabrik untuk mengisi kekosongan. 

Dampak The Great Depression

The great depression tidak hanya berdampak bagi perekonomian Amerika Serikat tetapi juga pada perekonomian global. 

1. Dampak di Amerika Serikat

Dampak krisis ini untuk Amerika Serikat antara lain:

  1. Kenaikan pengangguran. Pengangguran naik dari 4 juta orang pada tahun 1929 menjadi 6 juta orang pada tahun 1931 dan 15% pada tahun 1932. Artinya, tingkat pengangguran naik dari 3,2% menjadi 25% pada tahun 1933. 
  2. Deflasi. Menurut catatan Bureau of Labor and Statistics, pada periode 1929-1932 indeks harga konsumen (IHK) negeri Paman Sam ini turun hingga 27%. Ini artinya, inflasi yang sudah mendekati 0 berubah menjadi deflasi (harga-harga menjadi negatif) hingga -10. 
  3. Pengurangan jumlah bank umum.  Dilansir dari The Federal Bank of St Louis, sebelum krisis terjadi ada lebih dari 30.000 bank di seluruh Amerika Serikat. Ketika krisis terjadi, jumlah ini menyusut hingga hanya 14.207-an bank yang tersisa pada tahun 1933. Sebagai perbandingan, sebelum krisis moneter tahun 1998 jumlah bank di Indonesia “hanya” 240 unit bank. Krisis 1998 membuat jumlah bank menyusut karena bangkrut atau digabung (merger) menjadi 160-an bank. 
  4. Penurunan ekonomi secara tajam. Dilansir dari Encyclopedia Britannica sepanjang krisis, GDP Amerika Serikat diperkirakan anjlok hingga 30%. Sebagai perbandingan, ketika resesi tahun 2008 lalu, GDP negeri Paman Sam ini “hanya” anjlok 4,6%. 
  5. Munculnya berbagai lembaga dan peraturan baru. Tentu semua orang tidak ingin krisis yang sama terjadi. Oleh sebab itu, Amerika Serikat juga menerbitkan berbagai peraturan dan lembaga yang mencegah hal yang sama terjadi. Misalnya, sejak krisis ini, perusahaan yang ingin listing di New York Stock Exchange (NYSE) harus menyetorkan prospektus terlebih dahulu. Krisis ini juga mendorong munculnya berbagai lembaga keuangan di Amerika Serikat dan dunia, seperti Securities and Exchange Commission (SEC). Lembaga-lembaga yang muncul dalam Bretton Woods Agreement, seperti Bank Dunia dan IMF juga bertujuan supaya krisis yang sama tidak terjadi. 

2. Dampak bagi perekonomian internasional

Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwasanya perdagangan internasional turun hingga 66%. Bagi negara berkembang seperti Hindia Belanda (Indonesia), dampak krisis ini tidak terlalu terasa kecuali pada sektor yang bergantung pada ekspor dan impor, seperti pembangunan kota Bandung pada paragraf pembuka di atas. 

Inggris, sebagai sekutu Amerika Serikat pada Perang Dunia ke-2 juga terkena dampak. Sebelum tahun 1929, negara ini tercatat sudah mengalami perlambatan ekonomi, namun perlambatan ini semakin parah pada awal dekade 1930-an. Hal yang sama terjadi di Paris dan Jerman. 

Depresi besar ini juga mewariskan pelajaran dan teori berharga untuk perekonomian dunia. Depresi ini menjadi bukti adanya kekurangan pada sistem ekonomi pasar dan bahwasanya pasar tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri (invisible hand). Kemudian seiring dengan adanya krisis ini, muncullah teori ekonomi baru yang diusung oleh John Maynard Keynes atau Keynesian. 

Teori ini menyebutkan bahwa pemerintah juga bisa membantu membuat perekonomian supaya lebih stabil dengan kebijakan fiskal. Hingga saat ini, teori J.M Keynes ini masih digunakan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Selain teori ekonomi makro secara umum, krisis ini juga memberikan pelajaran mengenai pentingnya pengaturan pada sistem keuangan. Misalnya, sebelum IPO perusahaan harus menyetorkan prospektus terlebih dahulu untuk diperiksa OJK, pentingnya serikat buruh (labor union), pelarangan insider trading, penetapan UMR dan UMK dan lain sebagainya.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *