Dalam memilih instrumen investasi, ada banyak faktor ekonomi makro yang harus dipertimbangkan investor. Termasuk diantaranya adalah kenaikan harga barang dan jasa secara serentak dan terus menerus atau inflasi.
Meskipun hanya tampak seperti sebuah angka saja, namun inflasi adalah penyederhanaan dari potensi penurunan atau peningkatan daya beli, berhubungan erat dengan suku bunga perbankan dan bisa menjadi salah satu indikator penting sebuah negara bisa masuk resesi. Berikut ini pembahasan lengkap mengenai investasi saat inflasi.
Pengaruh Inflasi Terhadap Investasi
Inflasi adalah salah satu faktor penting yang harus Anda perhitungkan saat memilih instrumen investasi. Hal ini karena keuntungan (return) yang Anda peroleh dari investasi tidak akan berarti apa-apa jika nilai keuntungan tersebut lebih rendah dibandingkan nilai kenaikan harga barang (inflasi).
Misalnya, selama tahun 2022-2023, Anda berinvestasi sebesar Rp1.000.000 di saham dan memperoleh keuntungan sebesar 6% atau sebesar Rp60.000. Ketika itu, uang sebesar Rp1.000.000 dapat dibelikan 200 kg beras.
Jika pada periode yang bersamaan, harga barang-barang naik sebesar 7%, maka Anda perlu uang sebesar Rp1.070.000 untuk membeli beras. Hal ini berarti, bahkan dengan pendapatan investasi, daya beli Anda untuk membeli kebutuhan sehari-hari tetap akan berkurang.
Inflasi yang tinggi biasanya diikuti dengan 2 hal, yaitu meningkatnya suku bunga acuan (BI Rate) dan estimasi keuntungan yang diinginkan oleh investor dari sebuah instrumen investasi. Misalnya, jika sebelumnya Anda ingin mendapatkan keuntungan sebesar 6% dari saham, kini Anda ingin keuntungan setidaknya 8% dari saham supaya nilainya lebih besar dari inflasi. Tapi ingat, semakin besar keuntungan (return), maka semakin besar pula risikonya.
Jenis-jenis Investasi yang Perlu Dihindari saat Inflasi
Berikut ini beberapa instrumen investasi yang perlu dihindari saat inflasi tinggi:
1. Obligasi Fixed Rate Lama
Inflasi yang tinggi sering diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan (BI Rate). Kenaikan suku bunga acuan berakibat pada kupon obligasi baru. Untuk obligasi atau surat utang dengan skema fixed rate, kenaikan BI Rate tidak akan mempengaruhi tingkat kupon yang ditawarkan, sehingga bisa jadi besaran inflasi justru lebih besar dibandingkan kupon.
Misalnya, inflasi pada tahun 2022-2023 meningkat hingga 7% dari yang awalnya hanya 6%. Obligasi FR yang hanya menawarkan kupon 6.5% per tahun tentu tidak lagi akan diminati karena keuntungan obligasi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan inflasi.
Selain mempertimbangkan obligasi baru, Anda juga bisa mempertimbangkan obligasi lama tapi yang menerapkan sistem floating rate yang mana dalam obligasi jenis ini, kenaikan BI Rate juga akan mendorong kenaikan kupon (meskipun dalam beberapa jenis obligasi ada yang dibatasi).
2. Instrumen Investasi Risiko Tinggi
Investasi saat inflasi tinggi juga tidak seharusnya diarahkan ke instrumen dengan risiko tinggi, seperti cryptocurrency, P2P Lending, forex atau bahkan saham growth. Hal ini karena inflasi yang tinggi tidak jarang merupakan tanda atau gejala ekonomi sebuah negara akan memasuki fase resesi.
Kalaupun Anda membeli saham growth (growth stock), pastikan bisnis perusahaan tersebut dapat bertahan di tengah gempuran kenaikan harga bahan baku dan penurunan daya beli akibat inflasi. Potensi risiko tinggi dan resesi ini juga bisa mendorong investor lainnya di pasar untuk beralih dari instrumen tinggi risiko ke instrumen safe haven, sehingga harga instrumen tinggi risiko tersebut justru akan turun.
Instrumen tinggi risiko ini termasuk instrumen yang memiliki kecenderungan keuntungan jangka panjang, seperti saham dan obligasi dengan tenor diatas 5 tahun. Maka dari itu, tidak heran jika investor di kedua instrumen ini beralih ke obligasi negara dengan tenor pendek untuk investasi saat inflasi tinggi.
3. Instrumen Investasi Likuiditas Rendah
Saat inflasi tinggi, sebaiknya Anda juga meminimalisir berinvestasi ke instrumen dengan likuiditas yang rendah (susah dijual). Misalnya, investasi tanah atau rumah, collectibles (seperti action figure) dan lain sebagainya. Hal ini karena jika sudah masuk resesi, instrumen tersebut tidak bisa segera diuangkan.
Harga rumah dan tanah memang cenderung naik, tapi ketika kondisi inflasi sedang tinggi, daya beli masyarakat secara umum akan turun. Akibatnya, masyarakat semakin tidak mampu untuk membeli rumah. Sebagai investor, tentu hal ini akan melukai bisnis Anda.
Hal ini juga termasuk obligasi yang tidak bisa dijual di pasar sekunder. Beberapa jenis obligasi pemerintah seperti ini biasanya dilengkapi dengan fitur early redemption. Hanya saja, untuk menggunakan fitur ini, Anda harus menunggu waktu tertentu terlebih dahulu. Selain itu, fitur ini juga hanya bisa dipakai untuk menjual 50% dari keseluruhan obligasi yang Anda miliki.
Pengambilan keputusan investasi saat inflasi tinggi harus dilakukan dengan hati-hati. Ketika hal ini terjadi, banyak ahli yang menyarankan untuk menurunkan tingkat risiko dengan membeli obligasi bertenor di bawah 5 tahun, saham defensif atau bahkan instrumen investasi safe haven.
Hal ini dengan pertimbangan bahwa tingginya inflasi akan mendorong tingginya suku bunga bank dan adanya potensi resesi. Namun demikian, Anda tetap perlu memilih dan menyeimbangkan portofolio investasi Anda dengan lebih hati-hati.