Lompat ke konten
Daftar Isi

Apa itu Stagflasi?

Stagflasi

Dalam pembahasan mengenai inflasi, dapat disimpulkan bahwa umumnya kenaikan harga barang secara serentak (inflasi) yang terkontrol merupakan pertanda kalau kondisi ekonomi sedang baik. Logikanya adalah ketika kondisi ekonomi sedang baik, banyak masyarakat yang mendapatkan pekerjaan dan digaji layak. Akibatnya, daya beli mereka meningkat, sehingga mengerek harga barang-barang kebutuhan harian (demand-pull inflation). 

Namun dalam beberapa kasus, seperti saat krisis 1998 atau the Great Depression, inflasi yang tinggi justru dibarengi dengan kemunduran ekonomi yang cukup parah. Dalam teori ekonomi, kondisi anomali ini disebut dengan stagflasi. 

Pengertian Stagflasi

Stagflasi adalah kondisi ekonomi dimana harga barang dan jasa naik tinggi (inflasi), tapi pertumbuhan ekonomi melambat dan pengangguran meningkat. Adanya stagflasi akan menyulitkan pemangku kebijakan untuk menentukan kebijakan yang pas, sebab kebijakan yang bertujuan untuk menurunkan inflasi justru bisa memperparah ekonomi. 

Mengapa demikian? Hal ini karena umumnya untuk menahan laju inflasi, suku bunga perbankan dinaikkan. Harapannya, masyarakat akan lebih banyak menabung dan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Akan tetapi kalau yang terjadi adalah stagflasi, peningkatan suku bunga justru akan membuat masyarakat semakin menderita. Alasannya adalah, industri tidak bisa membayar utang bunga bank yang terlalu tinggi, sementara masyarakat umum tidak punya uang yang siap untuk ditabung. 

Istilah stagflasi pertama kali diperkenalkan oleh Iain Norman Macleod, seorang politisi Inggris pada tahun 1965. Sebelum Macleod memperkenalkan istilah ini, inflasi dan perlambatan ekonomi (resesi) dianggap berbanding terbalik (kalau inflasi tinggi, maka ekonomi tidak resesi begitu pula sebaliknya). Namun pasca tahun 1970, nyatanya negara-negara maju banyak yang mengalami kondisi ini. 

Penyebab Stagflasi

Penyebab stagflasi hingga kini masih belum pasti. Namun demikian, berikut ini beberapa faktor yang pernah menyebabkan fenomena ini terjadi di masa lalu:

1. Supply shock

Supply shock adalah fenomena terjadinya perubahan mendadak dan tajam terhadap salah satu faktor produksi. Faktor ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1970-an ketika negara-negara anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) mengembargo ekonomi negara-negara barat akibat dukungan negara-negara tersebut terhadap Israel. 

Karena komoditas yang harganya naik tajam adalah minyak mentah yang notabene dibutuhkan untuk BBM dan banyak kebutuhan industri lainnya, otomatis biaya produksi barang dan jasa di negara-negara barat juga meningkat. Akibatnya, banyak tenaga kerja yang di-PHK demi memotong anggaran perusahaan. 

2. Buruknya kebijakan ekonomi

Faktor lain yang dituding menjadi penyebab adanya stagflasi adalah kebijakan ekonomi yang buruk. Dalam hal ini, penerapan kebijakan fiskal dan moneter yang tidak pas dari segi waktu dan praktek dapat menyebabkan adanya stagflasi. 

3. Perubahan standar mata uang dari fixed rate ke floating rate

Pada saat yang bersamaan dengan embargo negara-negara timur tengah terhadap negara-negara barat, Amerika Serikat di bawah Presiden Richard Nixon memutuskan untuk mengubah standar mata uang dari fixed rate berdasarkan emas sebagai patokan (gold standard), menjadi floating rate

Ini artinya, satu dolar tidak lagi harus setara dengan sejumlah emas tertentu, melainkan nilai satu dolar disesuaikan dengan permintaan dan penawaran mata uang tersebut di pasaran. Banyak ahli yang menyebutkan hal ini menjadi salah satu penyebab adanya stagflasi. 

Dampak Stagflasi Pada Perekonomian

1. Ketidakpastian ekonomi 

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwasanya kondisi stagflasi dapat membuat pemangku kebijakan ekonomi, baik itu kebijakan fiskal maupun moneter kebingungan untuk menentukan “resep” kebijakan yang pas. Mereka dituntut untuk membuat sebuah paket kebijakan yang dapat menurunkan inflasi, tetapi juga bisa mendorong daya beli masyarakat. 

2. Penurunan produktivitas nasional

Rendahnya daya beli masyarakat dan inflasi yang tinggi akan memberikan dampak domino bagi industri. Di satu sisi, perusahaan akan kesulitan untuk mendapatkan konsumen, tapi di sisi lain biaya produksi terus meningkat. Akibatnya adalah, perusahaan terpaksa memutuskan hubungan kerja dengan sejumlah besar karyawan. 

3. Penurunan investasi

Pendapatan perusahaan yang menurun serta kondisi ekonomi yang tidak pasti akan membuat investor baik dalam maupun luar negeri berpikir dua kali sebelum membeli saham di sebuah negara. Akibatnya, nilai rata-rata investasi di sebuah negara mengalami penurunan. 

Contoh Stagflasi

Contoh utama stagflasi terjadi pada tahun 1970-an di Amerika Serikat. Seperti yang telah disebutkan di atas, hal ini bisa terjadi karena adanya kombinasi antara supply shock karena embargo OPEC, perubahan standar mata uang dan kebijakan ekonomi yang buruk. 

Pada awal dekade 1970-an, Gross Domestic Product (GDP) negeri Paman Sam tersebut turun selama 5 kuartal berturut-turut. Berkebalikan dengan GDP, kenaikan harga minyak mendorong inflasi naik hingga dua kali lipat pada tahun 1973. Kenaikan harga minyak dan inflasi ini kemudian juga mengakibatkan melonjaknya jumlah pengangguran hingga 9%. 

Indonesia juga disebut-sebut pernah mengalami fase ini pada tahun 1998. Ketika itu, Bank Indonesia memutuskan untuk mengubah sistem nilai tukar rupiah terhadap dolar dari yang awalnya fixed rate, menjadi floating rate karena minimnya devisa untuk “menalangi”. Akibatnya, nilai tukar rupiah pun jatuh, sehingga inflasi nyaris tembus 77% khususnya untuk barang-barang impor dan pada saat yang bersamaan GDP turun hingga -13%. 

Cara Menghadapi Stagflasi

Selain karena faktor penyebab utamanya masih belum jelas, tidak menutup kemungkinan penyebab stagflasi di setiap negara berbeda. Oleh sebab itu untuk menghadapi fenomena ini, pemangku kebijakan dituntut untuk mengidentifikasi penyebab utama stagflasi di negerinya sendiri terlebih dahulu. 

Baru kemudian jika penyebabnya sudah diketahui, pemerintah dan Bank Indonesia dapat menyusun dan menerapkan kebijakan ekonomi makro yang tepat guna. Tujuannya adalah supaya perbaikan pada satu indikator ekonomi tidak melemahkan indikator ekonomi yang lain. 

Adapun bagi masyarakat, stagflasi adalah fase untuk mengencangkan ikat pinggang dan kembali ke alam. Tingginya harga barang dan jasa, serta tingginya pengangguran mau tidak mau membuat masyarakat harus menghemat dan menyusun kembali rencana keuangannya. 

Salah satu cara mengencangkan ikat pinggang dengan tanpa memperburuk kondisi fisik dan psikis adalah dengan kembali ke alam. Misalnya, untuk menghemat pembelian cabai atau bumbu dapur, masyarakat bisa mulai menanam Tanaman Obat Keluarga (TOGA) secara mandiri di rumah baik itu di tanah maupun dengan sistem hidroponik. Contoh lainnya, alih-alih menggunakan minyak goreng yang mahal, masyarakat bisa beralih menggunakan briket atau kayu sebagai bahan bakar. 

Meskipun merupakan fenomena yang cukup jarang terjadi, khususnya di Indonesia, namun bukan berarti negeri ini bisa bebas dari risiko stagflasi global. Akan tetapi, hal ini tidak berarti kalau masyarakat Indonesia tidak bisa menghadapinya.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Farichatul Chusna aktif sebagai penulis artikel ekonomi, investasi, bisnis, dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *